Ketika rencana reklamasi Teluk Benoa belum jelas nasibnya, mendadak muncul rencana lain, reklamasi Bandara Ngurah Rai.
Terkait dengan rencana reklamasi dalam pengembangan Bandara Ngurah Rai seluas kurang lebih 537.000 m2 yang akan dilakukan oleh PT Angkasa Pura I, Dewan Daerah WALHI Bali, Suriadi Darmoko menegaskan rencana tersebut tidak layak lingkungan karena melanggar hukum.
Hal ini disampaikan saat WALHI Bali menghadiri undangan rapat komisi penilai AMDAL Pusat yang diadakan di Hotel Ramanda Bintang Bali Resort, Kuta, Kamis (22/03). Undangan rapat tersebut berkaitan dengan telah diterimanya dokumen Addendum ANDAL, RKL-RPL rencana pengembangan fasilitas Bandara Ngurah Rai Tuban. Rapat tersebut berlangsung lebih dari 4 jam dan WALHI Bali membeberkan argumentasi kritis dalam rapat tersebut.
Direktur WALHI Bali, I Made Juli Untung Pratama menjelaskan, undangan rapat komisi penilai AMDAL pusat tidak disertai dengan dokumen yang lengkap. Dalam surat undangan yang ditujukan kepada WALHI Bali, Angkasa Pura I hanya melampiri 1 (satu) set dokumen addendum ANDAL. Padahal, menurut pandangannya, dokumen ANDAL terdahulu dan dokumen ANDAL addendum merupakan satu kesatuan.
Tidak diberikannya dokumen secara penuh, menurutnya pelibatan publik dalam rapat tersebut hanya formalitas semata. “Atas hal tersebut, maka disinyalir bahwa pelibatan publik dalam pembahasan addendum ANDAL hanya formalitas dan tidak memberikan hak kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam rangka memberikan perlindungan lingkungan hidup melalui konsultasi AMDAL,” jelasnya.
Suriadi Darmoko menjelaskan, Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah mengatur bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang yang melaksanakan reklamasi wajib memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan. Terkait dengan rencana reklamasi yang akan dilakukan oleh PT. Angkasa Pura I, pihaknya tidak menemukan adanya izin lokasi reklamasi yang seharusnya dijadikan dasar untuk pembahasan addendum ANDAL Angkasa Pura I.
“Mengingat di dalam addendum ANDAL tidak ditemukan dokumen izin lokasi yang telah dimiliki oleh pihak pemrakarsa sebagai syarat untuk pembahasan AMDAL, maka tidak berlebihan jika kami meminta agar pembahasan rencana reklamasi di dalam addendum ANDAL ini harus dihentikan karena melanggar hukum,” tegasnya.
Pihaknya juga menjelaskan, Izin lokasi dapat diberikan sepanjang berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Pengaturan mengenai izin lokasi wajib berdasarkan RZWP-3-K ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) UU 1/2014 tentang Perubahan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Izin lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan wajib diatur dalam peraturan daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (5) UU 27/2007. Fakta hukumnya sampai saat ini Provinsi Bali belum memiliki Perda RZWP-3-K. Atas dasar tersebut, izin lokasi untuk rencana reklamasi oleh Angkasa Pura I tidak bisa diterbitkan karena sampai saat ini Perdas RZWP-3-K belum ditetapkan.
“Pemanfaatan wilayah perairan pesisir dengan cara reklamasi untuk pengembangan Bandara Ngurah Rai tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Baik peraturan perundang-undangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan peraturan mengenai perijinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.
Tidak hanya bertentangan dengan peraturan tersebut, lebih lanjut Suriadi menjelaskan jika perencanaan reklamasi seluas total kurang lebih 537.000 m2 tersebut juga melanggar Rencana Induk Bandara (RIB) yang telah disahkan oleh Kementerian Perhubungan. “Di dalam RIB tahun 2010 yang telah ditetapkan Kementrian Perhubungan, tidak ada rencana untuk melakukan reklamasi seluas 537.000 m2tersebut, oleh karena itu rencana reklamasi yang hendak dilakukan oleh PT. Angkasa Pura I tersebut justru melanggar RIB yang telah mereka buat sendiri. Hal itu dapat dijadikan alas hukum untuk menghentikan rencana reklamasi tersebut,” paparnya.
Lebih jauh, Suriadi menjelaskan bahwa reklamasi Bandara Ngurah Rai, berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Ia pun menerangkan, reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai menyebabkan timbulnya kerugian budaya dan kerugian negara. Kerugian budaya seperti contohnya hilangnya Pura Cedok Waru, Pantai Segara, Kuta bahkan menyebabkan pura tersebut dipindah sampai 3 (tiga) kali akibat pembangunan runway Ngurah Rai.
Kerugian negara contohnya Pemprov Bali mengeluarkan biaya untuk melakukan pembangunan pengamanan pantai Bali Beach Conservation Project pada 2003-2007. Atas dasar tersebut, ia menjelaskan agar Angkasa Pura I tidak mengulang kesalahan yang sama. “Fakta-fakta yang ada seharusnya sudah cukup untuk menjadi pijakan agar PT Angkasa Pura I tidak mengulang kesalahan yang sama. Jadi jangan memaksakan reklamasi yang pada akhirnya justru akan merugikan banyak pihak baik secara ekonomi maupun lingkungan hidup,”jelasnya.
Dalam rapat tersebut, Untung langsung menyerahkan nota protes atas rencana reklamasi dalam pengembangan Bandara Ngurah Rai yang ditulis dalam surat nomor 02/ED/WALHI-BALI/III/2018 tertanggal 22-03-2018. Surat tersebut langsung diserahkan kepada pimpinan rapat Ir, Ary Sudijanto, MSE selaku Sekretaris Komisi Penilai AMDAL Pusat. [b]