Belakangan ini energi masyarakat habis meributkan hal tidak penting.
Salah satu isu yang hangat itu, misalnya, adalah persoalan patung. Selain isu itu, zona kebhinekaan yang sejak republik ini diresmikan menjadi jalan hidup dan pedoman diranah perbedaan dan kemajenukan.
Dalam perspektif lain ibarat sebuah kanvas putih seorang seniman memberikan sentuhan warna beragam. Artinya keindahan dari unsur perbedaan yang ada akan membawa keharmonisan. Kebudayaan dan seni yang tersebar saentro negeri sangat beragam dan unik. Di situ keistimewaan nusantara.
Paham-paham anti kebhinekaan merumuskan berbagai cara untuk mencabik-cabik keutuhan kebhinekaan. Kita sudah melihat kejadian tersebut yang dilakukan paham garis keras baik via televisi, media atau sosial media. Perkembangan teknologi media dan informasi sangat mudah dikonsumsi dengan berbagai fiturnya, mengizinkan mengakses perform atau tampil dalam sekala besar lebih jauh dari itu dan tak terbayangkan.
Napak nilas kebhinekaan sudah ada sejak zaman Majahpahit dicetuskan. Warisan tersebut diimplementasikan sebuah negara yang merdeka yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, apa daya dengan kemajuan teknologi dimanfaatkan dan bahkan tidak terbayang sebelumnya memiliki daya persuasi sangat tinggi, yang akhirnya mampu memberikan pengaruh sangat signifikan didalam kehidupan bermasyarakat.
Fenomena seperti ini sudah makin tidak terkontrol dan terkendali.
Keblablasan cendurung mementingkan ego demi mewujudkan keinginan di mana sudah terjalin dan menghargai sebuah kebersaman di atas perbedaan. Manusia seperti ini bebal terhadap budaya dan belum dikatakan dewasa menyikapi persoalan yang terjadi.
Ambruknya moralitas pagar nilai kebangsaan menciptakan aroma pergerakan mengubah ideologi yang sudah dicetuskan. Persuasi adalah jalan mereka melakukan gerakan perlawanan yang tidak sepaham. Biarkan suasana semakin gaduh, di sanalah mereka merasakan riak-riak ceria.
Reaksi masyarakat menyikapi persoalan itu mencari jalan keluar ibarat benang yang sudah kusut dirapikan lagi. Reaksi masyarakat negeri kepulauan menolak idealisme dan realitas kultural baru yang menenggelamkan idealisme pedoman berbangsa dan bernegara di bawah panji kebhinekaan.
Informasi yang sudah dikomsumsi via sosial media terkadang tidak ada nilai kebenaran alias hoax. Dia menggiring pikiran yang didesain sangat apik dan kesan sehingga terkesan teranianya dan dramatis. Keangkuhan yang diperlihatkan mereka terus menerbarkan kebencian tetap memelihara dan melestarikan situasi seperti ini.
Kekacuan identitas diri semakin gelap mata meninggalkan produk-produk kultural kita belakangan ini rentan kerapuhan pada ujungnya bermutu rendah. Persoalan runyam tatkala keutuhan sudah ditolak dan sengaja membiarkan diri masuk situasi signifikan yang baru. Keberanian diri menolak modus-modus sifat radikalisme harusnya dibentuk masa mengejar ilmu.
Radikalisme memperkuatkan diri masuk dalam dunia pendidikan. Dan masing-masing kita saat ini, tengah menyusun diri dari keretakan atau puing-puing benang kusut itu. Sangat bersyukur segala bencana ideologi yang tak berkesudahan menerpa negeri majemuk sebagain besar terbangun emosi untuk melakukan perlawanan dengan cara lebih santun dan mendepankan kultural lama.
Penjelasan mereka tentang ideologi yang baru tentang masalah Ketuhanan, bentuk pemerintahan yang berbasis yang mereka inginkan menenui jalan buntu. Kemungkinan Tuhan menginginkan kebhinekaan tetap utuh hingga zaman temporer.
Apa yang dilakukan pemuda di Nusa Penida sebagai gambaran melihat situasi yang semakin kacau menggerogoti nilai kebhinekaan?
Merespon situasi tersebut, Sekaha Teruna Eka Putra, Desa Pakraman Batumulapan melakukan gerakan walalupun terlihat kecil tapi memberikan vibrasi semangat kemerdekaan dipancarkan. Laut adalah sumber dari segala kehidupan menjadi tempat lokasi mereka melakukan perfomance tentang nilai dasar kebhinekaan.
Langit dan laut nan biru menjadi sangsi aksi yang mereka lakukan. Kultural budaya Bali pembalut aksi mereka, hal ini sebagai bentuk nilai kebudayaan menjadi dasar pembentukan kepribadian seseorang.
Sudah sering kita melihat dilayar kaca atau media maupun sosial media bebal terhadap budaya bahkan kejang-kejang melihat suatu hasil karya cipta baik itu seni, budaya serta kultural kedaerahan. Nilai kerendahan seni tidak responsif secara detail menilai sesuatu bernama budaya.
Silang pendapat menilai sebuah seni atau budaya tertentu tidak menemukan titik terang, satu sisi ada yang ngotot dan satu sisi lagi berdasarkan nilai ketuhanan. Membersihkan serpihan bebal tentang sebuah kebhinekan dan mengerucut pada budaya sebaiknya lebih memahami diri sendiri.
Bukankah sejarah negeri ini pula yang memberitahu kita, mengapa bangsa lain atau komunitas global memberikan apresiasi bahkan salut tentang kebendaharaan budaya kita? Sungguh ironi memang kalau bisa divisualkan mungkin Garuda akan meneteskan air mata melihat anak bangsa tidak menghargai dan mengapresiasi pedoman kebhinekaan. Kaki Garuda sangat gemeteran ingin segara mencengkram aksi radikalisme.
Coba lihat pendahulu kita memperjuangkan negeri ini dengan darah bahkan nyawa. Masak kita dengan mudah diadu dengan saudara sendiri. [b]