Arsa, putra sulung saya, mulai beranjak remaja. Bulan depan usianya 13 tahun.
Dari sisi akademis, anak saya yang didiagnosis autism spectrum disorder (ASD) ini, bukan bright child. Bukan tidak cerdas, namun kemampuan baca-tulis-hitung-nya 4 atau 5 tahun lebih ‘rendah’ dari teman seusianya.
Jadi dalam hal ini sebaiknya tidak berasumsi semu bahwa semua individu autistik pasti cerdas kayak Temple Grandin. Atau malah jangan-jangan ada orang tua yang berharap anak autisnya bisa kayak Einstein nanti.
Ya, yang luar biasa cerdas juga ada. Tapi anak autistik yang underachiever atau slow learner juga tak kalah banyaknya.
Sejak tahu kemampuan akademis Arsa hanya dasar (basic), saya tak berharap banyak ia mampu belajar sampai universitas atau nantinya bekerja sebagai orang kantoran. Walau sempat terpikir kalau punya ijazah asyik juga ya. Maksudnya ikut kejar paket gitu.
Tapi, sesudah itu, ijazahnya untuk apa?
Ujung-ujungnya saya belajar realistis. Toh, IMHO, untuk bisa hidup di atas kakinya sendiri seseorang tak perlu kuliah atau bekerja kantoran.
Untuk bisa hidup di atas kakinya sendiri seseorang tak perlu kuliah atau bekerja kantoran.
Karenanya saya mulai fokus untuk menelusuri apa kelebihannya. Dan itu harus bermula dari tahu apa yang disukainya. Jujur itu bukan hal mudah. Karena Arsa belum mampu mengekspresikan apalagi soal passion-nya.
Pernah Arsa menunjukkan ketertarikan pada memasak. Tapi saya melihat ia memang suka segala aktivitas di dapur termasuk suka menyalakan kompor (pfiuhhh bahaya banget yah). Itu saja. Bila sudah menguasai menumis sayur misalnya, ya ia akan saklek dengan urutan-urutannya. Tidak ada eksplorasi lebih jauh.
Ketertarikan Arsa yang kemudian menyita perhatian saya berkaitan dengan kesukaannya pada handicraft. Dari awal belajar gunting, tempel, meronce, dan lain-lain, tangannya memang trampil. Detail dan rapi pula karena ia cenderung perfeksionis.
Ini terkait dengan motorik halus, yang untuk sebagian anak autistik masih menjadi hambatan besar. Arsa sebaliknya. Ia lemah di motorik kasar. Tidak terampil berolahraga (kecuali renang) dan belum bisa bersepeda sampai saat ini.
Saya pun mulai ingin mengeksplorasi motorik halus ini. Mulailah saya membeli kertas dengan pola gambar yang sudah ada lubang-lubang kecil untuk menjahit.
Arsa suka sekali mengerjakannya. Mulai menggambar mobil, buah-buahan, rumah, dan lain-lain.
Dari kertas, mulailah saya eksplor kemampuannya untuk bisa menjahit di kain strimin. Mula-mula tulisan namanya. Biar mudah saya beri titik-titik pake spidol. Dan mulailah Arsa di dunia jahit menjahit dan sulam menyulam ini.
Di Rumah Belajar Autis Sarwahita tempatnya sekolah, Arsa memang dikenal yang paling trampil menjahit dengan detail, rapi, dan cepat dibanding teman-temannya yang lebih trampil melukis atau mewarnai. Pernah ia beserta seorang temannya mengerjakan (paling banyak) boneka jari untuk anak-anak penderita kanker.
Saya jadi makin termotivasi untuk mendorongnya berkarya di dunia jahit menjahit ini.
Akhirnya beberapa bulan lalu saya memberanikan diri membingkai karya-karya Arsa yang telah selesai 4-5 tahun lalu. Ada yang diperjelas atau ditambah ini itu sebelumnya. Lalu memberanikan diri (nekat malah) mempostingnya di Facebook saya.
Neneknya Arsa yang pesimis. Siapa juga yang mau beli karya sulam seperti itu. But she’s wrong.. Responnya ternyata luar biasa. Empat dari lima karya yang dipasang langsung booked dan sold. Malah ada beberapa yang order lagi.
Dimulailah perjalanan saya melatih Arsa berwirausaha. Mula-mula saya yang keluar modal dulu untuk membelikan kain dan melengkapi aneka warna benang. Setelah itu saya browsing gambar, membantu menjiplak, memberi titik-titik, trus membawa ke tempat bingkai plus jadi marketingnya di Facebook dan beberapa aplikasi instant messenger (chat).
Menjahit buat Arsa kayak candu.
Ia dengan senang hati melakukannya. Seperti melepas stress menurut saya. Arsa menjadi lebih tenang dan berkonsentrasi saat proses.
Ada teman yang sempat bertanya, ”Arsa ga capek ya jahit terus?” Saya bilang justru kalau tidak tahu mau melakukan apa Arsa mulai menguliti bekas luka gigitan nyamuk atau mem’bongkar’ jahitan baju. Destruktif banget ya? Tangannya terlalu ‘iseng’ bila tidak diberdayakan.
Sekarang Arsa pakai uangnya sendiri untuk membeli benang dan memproses pesanan.
Nah, di perjalanan saat order Arsa silih berganti, seorang teman penggiat acara untuk anak berkebutuhan khusus (terutama autis) Bogor yaitu Ade Soviany tiba-tiba menghubungi dan menyatakan Arsa boleh mengikuti pameran di acara Festival Anak Istimewa, Deklarasi Bogor ramah ABK pada 22-24 April 2016 di Botani Square Bogor. Acara yang bermula dari ide komunitas ini kemudian bersambut dukungan dari Pemerintah Kota Bogor.
Sungguh kejuatan yang menyenangkan. Mulailah kami bersiap.
Kali ini saya juga mau Arsa tak cuma menjahit. Karena lahir di Bali dan satu-satunya anak Bali di festival ini, kami putuskan mengambil gambar Barong, anak Bali dan layangan Janggan serta tas bersulam dari bahan kain Bali.
Arsa juga membaca dan menuliskan makna dari gambar-gambar tersebut. Saya yang browsing sih dari berbagai media.
Barong diselesaikan dalam waktu kurang lebih setengah bulan. Rare Angon dan layangan Janggan dalam waktu seminggu lebih. Adapun tas berbahan kain Bali sulamannya sudah dibuat sejak tahun 2011 hanya ditambah sana sini saja sebagai pemanis.
Bangga? Iya..
Karena sulaman bertemakan budaya Bali ini tingkat kesulitannya tinggi. Ada manik-manik. Ada yang memakai flanel untuk gigi Barongnya, untuk layangan Janggan dan awan-awannya. Tapi ternyata Arsa mampu mengerjakannya.
Waktu mau buat framenya ada yang sempat bertanya. Senangnya saat pemilik toko frame bilang, “Ini dijahit lho ya. Sama putranya ibu ini. Dia autis tapi trampil sekali..”
Senangnya ada yang mengapresiasi. Karena si pemilik toko tahu bagaimana perkembangan sulaman Arsa dari waktu ke waktu.
Yahh, jalan kami masih panjang. Bermimpi dan berdoa suatu saat Arsa bisa mandiri mengerjakan semua tahapan ini termasuk memesan frame dan mengupload ke page Facebooknya dia, yang akan saya buat dan jadi hadiah saat ulang tahun dia bulan depan. Plus mulai mengumpulkan modal untuk makin memperdalam ketrampilannya, termasuk mengajarkan Arsa menggunakan mesin jahit dan membordir.
Saya percaya Arsa saja yang masih daydreaming, masih teriak-teriak, masih terus belajar pemahaman dan meningkatkan kemampuan berkomunikasinya, ternyata BISA! Berarti teman-temannya yang lain harusnya juga BISA.
Ayo, Ayah Bunda. Dorong dan berdayakan anak-anak ini hingga mereka punya bekal untuk mandiri nanti. [b]
Luarbiasa Bu Ivy, Arsa semakin tumbuh menjadi pribadi yang hebat