Teks dan Foto Luh De Suriyani
Lembaga pemerintah, termasuk provinsi Bali, harus siap menerapkan keterbukaan informasi publik menyusul telah disahkannya Undang-undang UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). UU yang menjamin menjamin hak warga negara untuk terlibat dalam pengelolaan informasi publik ini akan efektif diberlakukan pada Mei 2010. Namun hingga saat ini lembaga pemerintah terkesan belum siap menerapkan UU ini.
Desakan tersebut muncul dalam diskusi bertema UU KIP, Mendorong Warga Menggunakan Haknya Atas Informasi Publik di Denpasar Jumat ini. Diskusi yang dilaksanakan Sloka Institute, Lembaga Pengembangan Media, Jurnalisme, dan Informasi ini diikuti sekitar 25 wartawan dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bali.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar Rofiqi Hasan UU KIP sebenarnya langkah maju untuk mendukung kebebasan pers. Sebab UU ini memberikan jaminan tidak hanya pada wartawan tapi juga pada publik atau warga umum untuk mengakses informasi terkait kepentingan publik. Meski demikian, di tingkat lapangan wartawan masih susah mendapatkan informasi dari lembaga pemerintah.
“Kadang pejabat saling lempar tanggung jawab kalau diminta data,” kata wartawan TEMPO tersebut. Menurut Rofiqi, penyebab lain susahnya wartawan mengakses informasi dari lembaga pemerintah adalah karena pejabat pemerintah belum sepenuhnya tahu tentang UU Pers maupun UU KIP ini.
Untuk itu, tambah Rofiqi, pemerintah harus mulai membuat standar kerja yang jelas terkait dengan teknis penerapan UU KIP ini. Misalnya dengan menentukan siapa yang berhak memberikan informasi, apa saja jenis informasi yang bisa disampaikan pada publik, dan seterusnya. Dengan demikian ketika UU KIP mulai diterapkan secara efektif, pemerintah sudah siap.
Wayan “Gendo” Suardana, Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali juga menekankan hal yang sama. Menurut mantan Ketua PBHI Bali ini, UU KIP merupakan kemajuan bagi kebebasan informasi di Indonesia.
Gendo, panggilannya, mengatakan UU KIP jauh lebih berat tantangannya karena berhadapan dengan kultur birokrat. “Kulturnya kan minta dilayani bukan melayani publik. Implementasinya akan bertabrakan dengan kultur informasi,” ujarnya.
Karena itu, ia mengharap tim seleksi Komisi Informasi Bali nantinya yang memilih anggota Komisi Informasi terdiri dari bergam latar belakang termasuk aktivis keterbukaan informasi dan jurnalis. “Tidak hanya tim ahli pemerintah saja,” pinta Gendo.
Demikian juga anggota Komisi Informasi Daerah Bali harus terdiri dari berbagai unsur. Misalnya dari lima anggotanya, satu unsur pemerintah, lainnya jurnalis, akademisi, dan aktivis kebebasan informasi.
Bali dikabarkan menjadi salah satu dari sembilan daerah di Indonesia yang akan segera membentuk Komisi Informasi Publik. Namun, belum ada informasi yang disosialisasikan soal ini.
Tugas komisi ini sangat penting. Selain membuat klasifikasi jenis informasi publik, komisi ini juga berperan menengahi sengketa antara badan publik dengan masyarakat.
Komisi Informasi ini bermarkas di tingkat pusat serta provinsi. Jika diperlukan, komisi ini juga bisa dibentuk di tingkat kota/kabupaten. Komisi tingkat pusat terdiri dari tujuh komisioner dan tingkat daerah diisi oleh lima orang.
UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang isinya menyatakan bahwa lembaga publik, termasuk di dalamnya adalah lembaga pemerintah, wajib memberikan informasi pada pengguna informasi yang memohon informasi tersebut (Pasal 7). Pada prinsipnya, UU No 14 tahun 2008 ini berfungsi menjamin hak warga untuk terlibat dalam pengelolaan informasi publik.
Pasal 3 UU KIP menyatakan fungsi UU ini. Misalnya menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik, dan seterusnya. Wartawan sebagai bagian dari publik tentu dijamin oleh UU ini ketika mencari informasi ke lembaga pemerintah. [b]