Para politisi pintar sekali memanipulasi.
Salah satu cara manipulasi paling gampang adalah dengan membikin batasan ‘ini lho kita’ dan ‘kita ini bukan mereka.’ Sesudah membikin batasan itu, mereka akan akan membikin pemisahan.
Setelah ada pemisahan, akan dibakarlah kebencian dengan ‘mereka’ itu.
Para politisi ini entah dalam wujud sebagai agamawan, dosen, peneliti, budayawan, ataupun lainnya.
Perhatikanlah statemen tentang reklamasi Teluk Benoa ini. Ia datang dari mulut seorang “agamawan” yang mewakili sebuah organisasi agama.
Kalau Saudara tekun memperhatikan kasus ini, Saudara akan tahu alangkah persisnya argumen yang disampaikan oleh agamawan ini dengan argumen dari pihak pengusaha Tommy Winata lewat PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).
Mereka ingin menimbun Teluk Benoa dengan alasan ‘Bali harus memiliki daya saing pariwisata.’ Mereka yang anti-reklamasi itu adalah ‘antek asing’ karena asing takut disaingi.
“Kemungkinan adanya penolakan terhadap revitalisasi Teluk Benoa ini datangnya dari luar negeri, meraka takut disaingi, terutama Singapura dan Malaysia. Mereka ingin revitalisasi di Teluk Benoa batal, biar tidak ada saingan. Saya lihat nampaknya seperti itu,” kata I Ketut Wiana, Ketua Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat.
Bali harus menyaingi Singapura dan Malaysia. Bali harus punya sirkuit Formula I sebagai ‘atraksi wisata.’ Kalau perlu, Bali harus punya Disneyland, Universal Studio, Esplanade….
Benar demikian? Sungguh menyedihkan bila agamawan yang seharusnya berdiri di garda depan untuk membela kepentingan umatnya harus berdiri di garda depan kepentingan modal.
Dasar dari pemikiran reklamasi ini adalah ‘tidak ada daya saing pariwisata Bali.’ Argumen yang dasarnya adalah ‘Bali tidak laku lagi dijual.’
Ya, Bali direndahkan sedemikian rupa hanya sebagai bentuk komoditas belaka. Apakah yang lebih rendah jika orang mendudukkan Anda tidak lebih dari sekadar komoditas?
Persis di sinilah titik berpikir agamawan yang saya kutip di atas. Tidak ada sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa orang datang ke Bali karena Bali itu sendiri. Bahwa Bali bukanlah Singapore, bukan Maldives, bukan Hongkong, atau tempat-tempat destinasi wisata yang lain itu.
Sekalipun tidak suka, saya akan mengikuti cara berpikir mereka yang sesungguhnya sangat merendahkan martabat itu. Pemodal dan antek-anteknya selalu mengatakan bahwa Bali tidak memiliki ikon pariwisata yang memadai.
Cobalah pikirkan, mengapa orang datang ke Roma? Ke Praha? Ke Paris? Ke New York? Bukankah orang datang karena karakter dari tempat-tempat ini yang tidak mereka jumpai di tempat lain? Bukankah mereka justru melarang pembangunan yang akan merusak karakter dari daerah ini?
Sungguh, cara berpikir dan pemujaan total para agamawan ini terhadap modal sangat membuat saya sedih. [b]