Teks dan Foto Anton Muhajir
Tulisan di spanduk itu sangat jelas. “STOP BUDAYA AMPLOP! Jurnalis Hanya Butuh Informasi.”
Satu per satu Pejabat Hubungan Masyarakat (Humas) instansi di Bali, bagian yang paling sering berhubungan dengan wartawan, pun menuliskan tanda tangan di spanduk berwarna putih tersebut, Minggu (23/8) petang tadi.
Ketua Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya yang memulai. Setelah itu disambung Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi Bali Putu Suardhika, Kepala Bidang Humas Polda Bali Kombes Pol Gde Sugianyar, Kabag Humas Pemerintah Kota Denpasar Erwin Suryadharma, Humas PT. Telkom Ardana, Humas Bank Indonesia Cabang Denpasar Wisnu, dan Humas Pengadilan Negeri Denpasar Posma Nainggolan.
Ikut pula Ketua Perwatuan Wartawan Indonesia (PWI) Reformasi Rahman Sabon Nama menandatangani spanduk kampanye menolak amplop di kalangan wartawan tersebut.
Penandatanganan dilakukan usai Sarasehan Anti Penyalahgunaan Profesi Jurnalis yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar. Sarasehan tersebut dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-15 AJI.
Sebelum penandatanganan komitmen, Ketua AJI Denpasar Rofiqi Hasan memberikan stiker kampanye anti-amplop pada para pejabat yang sering menangani wartawan tersebut. Isi stiker itu sama dengan tulisan di spanduk. Hanya ada tambahan bahwa jika Anda menemui pemerasan oleh wartawan silakan melapor lewat SMS ke 08123830564 atau email ke ajidenpasar@yahoo.com.
Kampanye anti-amplop sendiri sudah setua umur AJI. Sejak kelahirannya, organisasi profesi yang lahir pada Agustus 1994 ini menjadikan isu anti-amplop sebagai tujuan organisasi selain perlunya mendukung kebebasan pers dan kesejahteraan wartawan. Meski demikian, praktik pemberian amplop pada wartawan itu terus saja terjadi.
Diskusi di AJI Denpasar kemarin pun mengungkapkan adanya praktik itu meski masih dibicarakan dengan malu-malu.
Baiklah, kita perjelas dulu apa yang dimaksud amplop di sini. Amplop adalah pemberian uang dari narasumber pada wartawan terkait dengan pemberitaan. Pasal 6 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) menyebutkan bahwa wartawan tidak boleh menerima suap. Suap yang dimaksud adalah pemberian dalam bentuk uang, benda, dan fasilitas lain yang mempengaruhi independensi.
Kata “suap” mungkin terlalu tendensius. Sebab banyak juga orang memberikan uang pada wartawan hanya sebagai ucapan terima kasih. Tapi tak sedikit pula yang memang memberikan uang agar berita tentang orang tersebut sesuai kemauan si pemberi uang.
Atau katakanlah si pemberi uang memang berniat semata-mata hanya memberikan uang, tentu sangat manusiawi kalau si wartawan kemudian merasa punya hutang budi. Akibatnya wartawan jadi enggan atau sungkan menulis kritis terhadap orang yang sudah memberikan uang, benda, atau fasilitas tersebut.
Praktik ini seolah-olah biasa di kalangan Humas. Makanya pada saat jumpa pers, sering kali wartawan menerima uang yang terbungkus amplop. Inilah asal mula kata amplop itu muncul dalam konteks suap bagi wartawan. Bahasa yang dipakai Humas adalah uang transport. Tapi ya tetap saja itu uang untuk mempengaruhi wartawan.
Inilah yang jadi perhatian AJI sejak awal. Di Bali pun ini jadi praktik lumrah.
Kepala Bidang Humas Polda Bali Gde Sugianyar mengakui ada beberapa jurnalis yang melakukan penyalahgunaan profesi. “Ada banyak strategi menghadapi jurnalis nakal. Salah satunya dengan tidak memberi ruang khusus bagi mereka yang mencurigakan untuk wawancara secara ekslusif karena saat itulah mereka akan melakukan aksinya,” jelas Sugianyar.
Petugas Bidang Layanan Media Bank Indonesia Tria Cahya Puspita juga mengatakan pernah mengalami beberapa kali tindakan pemerasan. Misalnya didatangi seorang wartawan yang meminta uang dengan menyodorkan proposal.
“Saya didatangi dua orang berbadan besar mengaku wartawan yang minta uang saat itu juga dengan imbalan iklan di medianya. Saya terintimidasi,” katanya.
Ia juga sempat diancam akan dilaporkan ke polisi karena tidak memberikan imbalan.
Menurut Rofiqi Hasan, setelah keran kebebasan pers dibuka, terjadi ledakan jumlah media massa dan wartawan di seluruh Indonesia. Muncullah ‘penumpang gelap’ yang kemudian menyalahgunakan profesi wartawan. “Komitmen stop budaya amplop kami harapkan dapat menekan penyalahgunaan profesi yang merusak citra wartawan,” tegas wartawan TEMPO ini.
Ditegaskan Rofiqi, budaya amplop tidak hanya terkait dengan jurnalis nakal yang meminta amplop dalam bentuk apapun, tetapi juga terkait kebiasaan narasumber dan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta memberikan sejumlah uang kepada jurnalis. “Ini budaya yang harus diberantas,” ujarnya.
Ajakan Rofiqi disambut para pejabat Humas. Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya menegaskan komitmen stop budaya amplop harus muncul dari seluruh stakeholder baik narasumber, wartawan, media massa, dan pemilik media.
“Kalau tidak satu komitmen semuanya, sulit. Karena ada banyak kepentingan,” tegas pria yang kembali terpilh sebagai anggota DRD bali periode lima tahun ke depan.
Arjaya juga menegaskan pentingnya menerapkan prinsip transparan, demokratis, dan akuntabel oleh semua lembaga pemerintah maupun swasta. “Kalau ketiga prinsip itu tidak diterapkan, sulit,” tambahnya.
Kepala Biro Humas Pemprov Bali Putu Suardhika menambahkan komitmen menyetop buaya amplop sangat positif untuk meningkatkan profesionalisme jurnalis. Namun di pihak lain, harus ada upaya meningkatkan kesejahteraan jurnalis. “Kami sangat mendukung komitmen ini,” tandasnya.
Suardhika mengatakan tidak pernah diminta uang langsung oleh wartawan untuk kepentingan pemberitaan. Ia menyebut pihaknya ada pokja media dengan memberikan honor khusus untuk pembuatan tabloid khusus di kantornya. Selain itu ada budget khusus untuk studi banding ke luar Bali bagi wartawan yang ikut kunjungan staf pemerintah.
Ada juga berita yang mengeluarkan uang karena advertorial. “Karena memang media menawarkan. Ini take and give,” ujar Suardhika.
Namun, menurut Rofiqi, semua media melarang pemberian imbalan pada wartawan ketika meliput. Ia minta semua institusi menghentikapan pemberian uang dalam bentuk apapun bagi wartawan karena menyalahi kode etik profesi jurnalis. [b]
ya semoga saja komitmen ini berjalan dengan baik, takutnya sih semua lempar batu sembunyi tangan, saling menyalahkan.
Wartawan bilang narasumber yang menyuap, narasumber bilang wartawan yang meminta bayaran. Akhirnya masyarakat yang dirugikan sebagai konsumen.
Saya mendukung kampanye ini. Tapi kampanye jangan cuma ditujukan ke pejabat atau instansi pemerintah. Tapi tujukan ke jurnalis juga. Slogannya “Stop Terima Amplop” 🙂
jelas didukung dong…yang penting bagi wartawan adalah luruskan niat….kalo emang cari berita buat isi medianya ya cari aja dengan baik dan benar…nah kalo keluar amplop setelah itu…..itu terserah anda, tapi ada baiknya jangan diterima sebab pasti menyangkut kelangsungan hubungan baik dengan nara sumber
terima amplop dilarang, berarti uangnya boleh dong xixixixixi