Tidak ada lagi warung-warung makan menghadap ke laut di Pantai Lebih.
Padahal sejak sekitar 15 tahun lalu, pantai di sisi selatan Gianyar itu terkenal dengan warung-warung khas ikan lautnya. Warga menjual sate lilit, sup kepala ikan, plus nasi dicampur dengan singkong (nasi sela).
Salah satu daya tarik Pantai Lebih adalah pantainya yang landai. Meskipun pasirnya hitam dan kasar, adanya warung-warung makan tersebut membuat Pantai Lebih pun menjadi salah satu tujuan wisata bagi warga lokal maupun turis. Apalagi letaknya di tepi jalan By Pass Ida Bagus Mantra, jalan besar baru penghubung Bali bagian timur dengan Bali bagian selatan.
Tapi, pesona Pantai Lebih kini makin terancam. Makin hari, warung-warung di pantai ini makin terdesak oleh abrasi.
Pekan lalu, tidak ada sama sekali warung yang menghadap ke arah pantai. Deretan warung di Pantai Lebih kini berpindah sekitar 10 meter dari tempat mereka sebelumnya. Sebagai gantinya, kini pantai tersebut telah dipasangi batu pelindung (krib) agar tidak terkena ombak yang terus menghantam pantai.
“Dulunya, pasir pantai malah sampai di tengah sana. Mungkin sampe 1,5 km,” kata Made Budi, salah satu warga. Sore itu, Made duduk di salah satu balai bersama dua temannya.
Budi mengaku tidak tahu persis apa sebab parahnya abrasi di pantai desanya tersebut. “Mungkin benar karena perubahan iklim. Saya baca-baca di koran atau lihat di televisi begitu. Yang jelas, permukaan laut terus naik dan pantai kami makin tenggelam,” kata Made.
Naiknya air laut dan kerasnya ombak itulah yang membuat abrasi di Pantai Lebih kian parah. Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Bali per 2011, dari 3 km pantai di Lebih, 2,5 di antara terkena abrasi.
Pantai lain di Gianyar pun tak jauh beda. Dari total 18 km pantai di Gianyar, 6,5 km di antara terkena abrasi. Mereka adalah 2 km di Pantai Gumicik, 1 km di Pantai Saba, dan 1 km di Pantai Siyut.
Berdasarkan data pada tahun sama, panjang pantai di Bali yang mengalami abrasi sepanjang 102,5 km dari total 437,7 km. Buleleng merupakan daerah dengan pantai terpanjang kena abrasi, 30,56 km. Kerusak paling parah terjadi di Pantai Singaraja dan Pantai Air Sanih. Adapun Denpasar menjadi kota yang paling parah kerusakan pantainya karena dari 10 km pantai di kota ini, semua sudah terkena abrasi seperti di Sanur, Padanggalak, dan Serangan.
Menurut Kepala Dinas PU Bali Nyoman Astawa Riadi, total pantai yang terkena abrasi hingga 2013, kerusakan bertambah menjadi 187,7 km. Hingga 2013, sebagaimana ditulis Pos Bali, pantai di Bali yang kena abrasi dan sudah ditangani sepanjang 93,35 km. Masih ada 88,3 km yang belum ditangani.
http://posbali.com/1877-km-pantai-di-bali-tergerus-abrasi/
Penyebab abrasi di Bali karena beragam alasan. Menurut Made Mangku dari Sekretariat Kerja Pelestari dan Penyelamat Lingkungan Hidup (SKPPLH) Sanur, sebagian besar abrasi terjadi karena perubahan arus akibat adanya pembangunan fisik.
Mangku menyebutkan contoh parahnya abrasi di Denpasar, seperti Serangan, Sanur, dan Padanggalak. Menurutnya, abrasi pantai-pantai tersebut terjadi akibat adanya reklamasi di Pulau Serangan.
Menurut Mangku, pada dasarnya karakter pantai bisa dibagi dua yaitu pantai primer dan pantai skunder. Pantai primer ini berupa pantai dengan tebing atau struktur keras. Misalnya bentangan tebing di sisi selatan Bali, seperti Uluwatu, atau sisi timur Bali, terutama di Karangasem.
Adapun pantai skunder merupakan pantai dengan struktur pasir yang lebih labil. Misalnya di Sanur atau Kuta.
Saat ini banyak terjadi perubahan tipe pantai dari skunder menjadi primer akibat pembangunan krib atau batu-batuan pelindung pantai. Dia menyebut contoh di Candi Dasa, Karangasem. Pantai-pantai di Candi Dasa kini memang dilindungi krib sehingga tipenya menjadi tipe primer. Padahal dulunya hanya pasir.
“Pembangunan krib di Candi Dasa menyebabkan abrasi atau kerusakan parah pantai-pantai skunder di sekitarnya,” kata Mangku yang meneliti isu pesisir sejak 1990-an awal.
Mangku menambahkan contoh paling parah akibatnya adanya perubahan karakter pantai adalah reklamasi Pulau Serangan, Denpasar. Semula, luas pulau ini hanya sekitar 110 hektar. Oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID), pulau tersebut direklamasi hingga menjadi lebih dari 400 hektar.
Tepi pantai pun dilindungi dengan batu-batu besar sehingga berubah menjadi pantai primer. Akibatnya kemudian terjadi abrasi parah di Sanur dan Nusa Dua. “Pengamatan saya, selama 10 tahun 1 meter krib akan menghabiskan 4 meter pantai skunder,” ujarnya.
Selain akibat pembangunan, menurut Mangku, abrasi juga terjadi akibat aktivitas manusia. Misalnya penambangan pasir atau batu sikat. Di Jembrana, penambangan pasir ilegal memperparah kerusakan pantai di Pengambengan. Di Klungkung, pengambilan batu sikat secara massal membuat abrasi terjadi makin cepat di Pantai Watuklotok.
Ironisnya, pemerintah Bali justru lebih banyak membangun krib untuk melindungi pantai dari eksploitasi ini. [b]
Selalu menarik baca tulisannya Bli Anton ……. : ” Ironisnya, pemerintah Bali justru lebih banyak membangun krib untuk melindungi pantai dari eksploitasi ini ”
Pencari batu sikat ….. nudukne ketil gati … dapatnya paling banter satu – dua kampil bekas semen sehari. Satu kampil itu rata-rata Rp 15.000 saja. Seperti di Keramas itu dilarang tapi masih tetap ada yang mengambil, karena tiada pilihan lain katanya. Dilema memang ……….
Kalo kita berjalan darat dari Banda Aceh ke Meulaboh, beberapa ruas pantai bekas diterjang tsunami itu ditanami cemara. Itu terlihat menjadi indah sekali ……. Beb
Kalo kita perhatikan pohon-pohon cemara di dekat tempat pendaratan perahu di Gili Trawangan, itu agak jauh dari bibir pantai (artinya pantainya juga mengalami abrasi ). Itu akar cemara, masih mencengkram dipasir dengan kokoh.
Kalo pohon lain, mungkin sudah mati terendam air laut atau tumbang tergerus omak, tapi cemara-cemara itu masih kokoh.
Terinspirasi oleh itu kami menamam beberapa cangkok cemara di depan Pura Sukaluwih (pantai Saba).
Kalo ada yang mau, kami masih ada sekitar 50 cangkok cemara …………
Mari melindungi pantai kita dengan cemara …….. Dimana kita tanam ???
Your comment is awaiting moderation.
Selalu menarik baca tulisannya Bli Anton ……. : ” Ironisnya, pemerintah Bali justru lebih banyak membangun krib untuk melindungi pantai dari eksploitasi ini ”
Pencari batu sikat ….. nudukne ketil gati … dapatnya paling banter satu – dua kampil bekas semen sehari. Satu kampil itu rata-rata Rp 15.000 saja. Seperti di Keramas itu dilarang tapi masih tetap ada yang mengambil, karena tiada pilihan lain katanya. Dilema memang ……….
Kalo kita berjalan darat dari Banda Aceh ke Meulaboh, beberapa ruas pantai bekas diterjang tsunami itu ditanami cemara. Itu terlihat menjadi indah sekali …….
Kalo kita perhatikan pohon-pohon cemara di dekat tempat pendaratan perahu di Gili Trawangan, itu agak jauh dari bibir pantai (artinya pantainya juga mengalami abrasi ). Itu akar cemara, masih mencengkram dipasir dengan kokoh.
Kalo pohon lain, mungkin sudah mati terendam air laut atau tumbang tergerus omak, tapi cemara-cemara itu masih kokoh.
Terinspirasi oleh itu kami menamam beberapa cangkok cemara di depan Pura Sukaluwih (pantai Saba).
Kalo ada yang mau, kami masih ada sekitar 50 cangkok cemara …………
Mari melindungi pantai kita dengan cemara …….. Dimana kita tanam ???
Reply