Ketika Arsa menemukan Perhimpunan Peduli Autisme Bali sebagai tempat belajar, hati kami mulai lebih tenang.
Dia tak lagi minta pulang ke rumah. Tak lagi memasukkan seragam ke lemari. Lingkungan sekolah yang memberi rasa aman dan kondusif penting bagi Arsa setelah pengalaman buruknya berkali-kali (pula) di waktu lalu.
Saat itu siswa di Perhimpunan Peduli Autisme Bali (PPAB) masih hitungan jari. Jumlah siswa dan guru pun berimbang. Karenanya pelan tapi pasti semangat belajar mengusik keinginannya untuk melesat.
Seperti tak kenal lelah begitu pulang di rumah ia malah minta PR dengan saya. Berlembar-lembar Arsa menulis, menggambar, berhitung sederhana. Sungguh tak terbayang apa jadinya kalau saya terus ngotot untuk Arsa tetap di sekolah umum.
Saya jadi ikut semangat. Dan seiring keinginan belajarnya, perkembangan emosional sikap dan perilaku semakin baik. Ini tentu juga hasil kombinasi berbagai intervensi yang terus kami lakukan padanya seperti pemberian homeopathi, pengaturan pola makan dan suplemen.
Bakat dan minat Arsa untuk memasak dan kerajinan tangan terus saya kembangkan.
Kalau berenang ia suka, namun lebih kepada sarana menyalurkan emosi. Karena setelah renang ia lebih rileks.
Saya pun mulai memikirkan hal lain. Saya berandai-andai bila nanti Arsa tak mampu menjadi pegawai orang lain, minimal ia mampu jadi pegawai di usahanya sendiri.
Mengingat Arsa suka masak, saya pun mulai berpikir wirausaha kuliner apa yang tak lekang waktu dan bisa dilanjutkannya kelak, saat kami sudah tak ada. Mulailah kami berdua menguji coba resep-resep kue. Enak. Hangus. Masih mentah. Bantet. Mekar. Yummy. Semua menjadi bagian dari proses itu.
Teman-teman yang jadi penguji coba. Bahkan seorang ibu almarhum Prihati Mulyani (ibu dari teman Arsa di PPAB) menjadi pelanggan loyal. Katanya, selain membantu saya wujudkan impian usaha untuk Arsa. Beliau juga percaya kue-kue buatan saya higienis dan sehat.
Sayang dalam perjalanan pertemanan kami ini, beliau lebih dulu berpulang karena insiden yang tak terduga.
Saat usaha masa depan Arsa mulai kami rintis, seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan semesta kali ini memberi tugas berbeda. Arsa dapat pembelajaran baru. Ia mau punya adik.
Tak disangka sangka. Tanpa program infertilitas, terapi herbal, terapi hormon seperti sebelum mengandung Arsa, saya positif.
Cemas? Iyalah. Termasuk SpOG nya yang cemas mengingat pengalaman memiliki Arsa dan kehamilan saya berisiko tinggi. Tapi justru kecemasan itu kami ubah untuk berperilaku dan punya pola hidup sehat.
Bersamaan dengan kampanye sehat melalui media usaha kuliner kami, sekeluarga jadi memperhatikan makanan yang sehat, sangat aware sama apa yang dikonsumsi atau terpapar.
Bahkan saya berani menegur seorang bapak yang hendak merokok di sekitar saya.
Bersama beberapa teman di antaranya bunda Bonny Dewayanti yang berpengalaman mengasuh adik-adik cerdik dari sang sulung yang juga autis dengan tips mengonsumsi sewajarnya tak berlebihan. Atau bunda Inayah yg berbagi kisah untuk tetap berpikir positif saat mengandung adik dari Randy (yang semasa kecil juga mengalami gangguan autis) plus termasuk belajar dari kisah ibunda Rayhan yang menyuruh hindari salmon atau makanan laut yang mudah terpapar mercuri.
Banyak masukan yang membuat saya optimis kehadiran adik akan bisa memberi efek positif yaitu menjadi teman terbaik Arsa.
Arsa pun ikut dalam proses pembelajaran. Karena visual Arsa sangat peka, saya browsing banyak gambar perkembangan bayi dari bulan ke bulan. Untuk memberi gambaran. Ada sesuatu. Ada seseorang. Ada proses bertumbuh dalam tubuh saya.
Sampai suatu malam, entah kenapa seperti malam sebelumnya Arsa minta tidur di pelukan saya. Ternyata itu firasat kelahiran adiknya yang ditunjukkan dengan pecah air ketuban. Jujur, saya panik. Apalagi kehamilan ini juga disertai beberapa kali flek. Hal yang tak dialami saat hamil Arsa.
Tengah malam tergesa-gesa kami sekeluarga menyambut kelahiran itu.
Arsa dan Adyatma
Awal yang canggung sebagai kakak dari Adyatma (nama yang berarti anugerah dalam hidup), justru menantang kami untuk sama-sama melalui proses pembelajaran Arsa berinteraksi dan berempati kepada orang lain. Arsa bingung dan cenderung takut melihat sosok bayi. Tapi ia pun belajar. Bahwa bayi mula-mula tak bergigi, bahwa bayi kecil menangis sebagai cara berkomunikasi.
Dengan adanya Dy (panggilan utk Adyatma), Arsa juga belajar perbedaan usia. Perbedaan perlakuan. Walau tak dipungkiri rasa iri hati kerap muncul. Kadang ia masih minta disuapi, dimanja, dipeluk di usianya 10 tahun.
Satu catatan penting bagi kami adalah Never leave two of them unattended. Karena Arsa pun masih belajar bagaimana menjadi kakak yang baik.
Pernah satu kali kami berharap Arsa bisa memegang Dy saat main di sebuah wahana, tapi kemudian buat Dy trauma beberapa bulan lamanya karena nyaris terpelanting. Salah Arsa? Bukan! Itu salah kami yang belum mempersiapkan Arsa dengan lebih baik.
Namun ternyata kehadiran Dy, di satu sisi memotivasi Arsa untuk berkomunikasi dengan lebih baik. Dalam perkembangannya, ternyata beberapa tugas perkembangan terutama kemampuan berbahasa dan berinteraksi Dy cukup cepat melebihi bayi seusianya.
Jadilah kami mengasuh dua anak yang sedang belajar berkomunikasi. Salah satu ciri Arsa yang khas dengan gaya bicaranya adalah menyebutkan apa pun yang dilihatnya mulai hewan, kendaraan lengkap dengan warnanya bila sedang berkendara. Saat sedang ramai-ramainya pilkada atau pilpres malah menyebut kata-kata tertentu, tanggal bulan atau apa saja yang menarik hatinya.
Tantangannya yang satu bayi yang satu pra ABG. Dan tantangan punya ABG autis, ruarrrr biasa. Gengsinya.. Keras kepalanya.. Daydreamingnya. Hmmm bisa gak ngapa-ngapain melamun diam-diam depan lemari baju.
Makin sering bikin emaknya sakit kepala dan nangis diam-diam.
Ini belum bicara soal pubertas ya.
Belum lagi, Arsa tipe orang yang impulsif. Sedikit saja ada hal yang menurutnya tidak oke, seketika itu pula ia tersinggung. Mau marahin dia soal ini, malah memancing masalah baru. Yang bisa dilakukan adalah mengajaknya bicara baik-baik dengan segala risiko, dicuekin, balik marah atau tiba-tiba calm down sendiri.
Lucunya Arsa tak pernah marah bila adiknya Adyatma mengacak-acak isi lemari atau memakai baju-bajunya karena mau seperti Arsa.
Jadi tidak selalu anak autis akan menjadi luar biasa super saat mereka remaja. Perkembangan setahap demi setahap terutama akademis, keterampilan dan kemandirian memang tampak dan berindikasi positif. Namun tantangannya bertambah tingkat kesulitannya.
Yang namanya toilet training terutama BAB yang cebok sendiri saja baru bisa dilakukan Arsa mandiri saat berusia 11 tahun. Terakhir kejadian heboh tentang BAB ini malah di resto di Jogja saat kami ikut-ikut papinya yang juga sedang konferensi. Karena asyik main game, Arsa menahan BAB sehingga akhirnya pfiuhhhh…kami orang tuanya jadi cleaning service dadakan di wc resto umum. Kemarahan kami berdua pada Arsa saat itu sampai bisa memaksanya bilang “sorrryyyy” sambil menangis terisak-isak di tempat tidur.
Belum lagi sensasi menggaruk sampai luka-luka di tangan, kaki dan wajah bisa membuat orang berasumsi saya melakukan KDRT pada Arsa. Atau menangis histeris di tempat umum sempat beberapa kali terjadi pada Arsa. Biasanya terjadi bila ia menginginkan sesuatu namun tak ada orang yang peduli atau mengerti.
Sejujurnya, dibanding anak ‘normal’ lain yang berusia sama, keinginan atau permintaan Arsa tidak pernah aneh-aneh. Pergi ke mana pun tak pernah ia meminta barang serupa mainan, dll. Bila pun ingin ia hanya menunjukkan sikap malu-malu untuk meminta dan berharap kami memahami dengan menawarkannya untuk membeli. Jadi, kadang kami yang harus aktif menanyakan apa yang diinginkannya termasuk mau pergi ke mana.
Pernah ia mendapat hadiah lego 3 in 1 dari pamannya di USA. Ia hanya suka sensasi merobek plastiknya untuk kemudian disimpan kembali. Akhirnya lego tersebut berpindah tangan ke sepupunya yang lego mania dan senang sekali karena ternyata lego 3 in 1 tersebut edisi khusus dan tak ada di katalog lego creator.
Jadi untuk Arsa, mau edisi khusus atau tidak hal itu tidak penting karena ia tidak suka lego. Ia lebih suka puzzle karena menantang untuk sampai menyelesaikannya.
Selama kami mengenal Arsa hanya sedikit hal yang selalu diinginkannya. Brosur hypermarket apapun untuk digunting tempel tulis atau istilahnya dibuatkan klipping oleh dirinya sendiri. Brosur apapun untuk koleksi juga suka menggodanya untuk mengambil di tempat-tempat umum.
Yang kedua yaitu bepergian (beberapa kali hanya keliling kota tanpa mampir untuk memuaskan kebutuhan visual Arsa) dan masih terkait dengan bepergian adalah bisa naik pesawat sekeluarga. Sederhana bukan? (Walau soal naik pesawat membuat kami berpikir karena biaya tak sedikit. Jadi tak selalu bisa kami lakukan)
Aktivitas baru — kursus apa lagi?
Sejalan dengan saat kelahiran Adyatma, keluarga sempat memikirkan aktivitas yang bisa mengisi kekosongan waktu Arsa saat saya sibuk dengan bayi baru.
Pertama kami coba dengan kursus Matematika dari Jepang. Awal-awal senang. Apalagi setelah itu ia dapat bepergian. Lama-lama click dengan salah satu guru hingga harus selalu dengan orang tersebut. Tak mau ganti-ganti. Pernah beberapa kali guru tersebut absen dan menyebabkan Arsa berulah dengan lambat-lambat mengerjakan soal, meraut pensil terus menerus. Setelah 1 tahun berjalan, kebosanan melanda sampai tantrum, menangis di kelas hingga membuat anak/guru lain merasa terganggu.
Akhirnya dengan berat hati kami ‘melepas’ Arsa dari kegiatan tersebut walau dalam 1 tahun kemampuan Arsa langsung meningkat 5 level. Hasil kursus Matematika ini sayangnya berefek membuat Arsa mispersepsi tentang tanda operasi hitungan. Maksudnya bila soal dirandom misal no 1 soal penjumlahan no 2 soal pengurangan, soal no 2 akan dijumlah juga oleh Arsa mengingat seringkali soal-soal latihan dalam kursus dalam 1 set bisa penjumlahan saja.
Kini saya dan gurunya di sekolah mati-matian memberi soal random, mengacak-acak pola pikir Arsa yang saklek.
Seiring aktivitas yang bertambah kami juga menemukan hal lain yang terjadi pada Arsa.
Walau Arsa bukan 100% picky eater, ternyata menu gizi untuk dia yg pra ABG belum sempurna. Suatu hari ia pingsan di sekolah. Beberapa minggu kemudian pingsan di tempat umum. Kami memutuskan membawanya ke dokter gizi. Ingin cari tahu apa penyebab pingsan. Segera dokter menyuruh untuk cek darah. Wah, hal baru lagi bagi Arsa. Walau sudah merasakan jarum infus saat balita karena gangguan cerna, saya sudah membayangkan keengganan Arsa saat cek darah nanti.
Ya, bantuan visual (makasih You Tube) segera diperlihatkan. Tapi, tetap saja ia harus dipangku papinya plus dipegang erat seorang perawat dan tentu sang dokter yang mengambil darah, dengan segala kehebohan yang terjadi.
Hasilnya memang terindikasi awal-awal anemia.
Konsul dengan dokter gizi tentang anemia yang menyarankan kami menyediakan banyak daging merah dalam menu keseharian Arsa, malah berlanjut dengan saran untuk menemui dokter anak di Surabaya terkait spektrum autis pada diri Arsa.
Saat pertama ketemu, dr Rudi Irawan sempat menyayangkan tentang usia Arsa yang jauh melampaui efektivitas terapi mega suplemen tersebut. Harusnya intervensi suplemen dilakukan sebelum Arsa berusia 5 tahun, karena setelah itu otak anak sudah terbentuk permanen.
Sempat membesarkan hati untuk uji coba pada tubuh Arsa 1 bulan, namun karena biaya tak sedikit, kami urungkan niat melanjutkan di bulan berikutnya. Reaksi Arsa 1 bulan mengonsumsi, yang jelas menjadi lebih emosional.
Namun saran dr Rudi tentang memperbanyak waktu stimulus interelasi sosial menjadi catatan kami. Beliau malah bilang sebenarnya Arsa sebaiknya di sekolah umum dan bergaul bereaksi dengan anak-anak lain pada umumnya. Namun, karena belum memungkinkan untuk bersekolah di sekolah umum dan kami belum menemukan sekolah inklusi yang “siap” SDM, metode, media dan fasilitasnya di Denpasar. Beliau hanya menyarankan selain akademis, pembelajaran musik dan sering dibawa ke tempat umum termasuk merasakan pengalaman baru, akan sangat baik bagi perkembangan psikis Arsa.
Salah satu yang kami langsung tanggapi adalah mengajak Arsa travelling menggunakan kereta api di mana ia harus duduk dengan orang lain. Hasilnya lulus tanpa reaksi tantrum atau sikap-sikap aneh yang suka ditunjukkannya. Tapi, saya juga berpikir, jangan-jangan ia gengsi untuk berperilaku aneh karena sudah menginjak ABG atau karena terlalu senang diajak bepergian.
Lalu tantangan kedua keliling museum, mendengarkan museum educator selama hampir 1 jam. Ini lulus juga. Tidak tantrum, tidak iseng menjamah barang-barang yang baru dikenalnya dan tidak berperilaku aneh di tempat yang sama sekali baru.
Sungguh senang melihat bagaimana Arsa bersikap di tempat umum dalam dua contoh tadi. Tantangan aktivitas selanjutnya masih sampai sekarang yaitu belajar musik. Mencari guru yang mau mengajar anak seperti Arsa saja, tak mudah. Apalagi menggugah Arsa untuk mau belajar. Setelah pikir-pikir, tanya sana sini; keyboard menjadi pilihan kami. Gurunya mau dan merasa tertantang.
Dalam pertemuan ketiga, jari-jari Arsa sudah tak kaku merentang seperti layaknya pianis. Namun yang kini jadi tantangan kami adalah moodnya. Karena seringkali dalam sesi latihan, ia bermain sambil menggerutu atau malah teriak-teriak. Mudah-mudahan gurunya Pak Sumarso mau selalu sabar. Kami terus berdoa dan berharap.
Arsa dan Perasaannya
Kadang saya bertanya-tanya apa Arsa punya perasaan? Ingin deh punya alat untuk membaca apa yang ada di pikiran dan apa yang dirasakannya. Karena yang sering tampak adalah kemarahan atau kecemasan akibat tidak nyaman akan sesuatu.
Namun beberapa kejadian menyadarkan kami bahwa Arsa berperasaan.
Suatu malam kami sedang bermalam di luar rumah karena ada acara di tempat tersebut. Arsa dan adiknya saya biarkan istirahat di kamar sementara saya mendengarkan talkshow di ruangan lain. Tak dinyana Adyatma yang biasa tidur sambil menyusu pada saya, tiba-tiba mendekati Arsa. Ia merebahkan diri di perut Arsa dan Arsa mengelus-elus kepalanya sampai tertidur.
Neneknya speechless melihat kejadian ini. Tumben Arsa biasa begitu, padahal ia suka teriak-teriak bila adiknya mau mengambil barangnya dan pernah juga cubit-cubitan dan jambak-jambakan yang akhirnya tidak lagi karena selalu saya tegur untuk menyayangi adiknya.
Kali lain, ini masih berkaitan dengan emosi. Tiba-tiba Arsa menangis dan teriak-teriak di sebuah gerai makanan. Reaksi saya bisa dua sebenarnya. Kalau sedang malas dan tak mau ambil pusing (ini yang paling alami sih) saya memilih pergi dari tempat itu untuk menghindar dari tatapan aneh akan perilaku Arsa.
Nah, kalau saya sedang ‘super’ (harusnya ini untuk mengedukasi banyak orang), saya akan tetap di situ menatap orang-orang untuk kemudian bilang bahwa Arsa autis. Tidak dengan kata maaf dulu ya karena tidak semua perilaku anak autis bukan untuk dimaafkan orang.
Saat itu saya alami, mau angkat kaki saja. Tapi neneknya yang super, dan ternyata pilihan itu yang akhirnya membuat Arsa tenang. Coba saya langsung mengajak pergi pasti tantrumnya akan bertambah.
Nah apa kaitannya dengan perasaan? Ternyata sejak kejadian itu, dalam beberapa waktu Arsa menolak ke gerai makanan tersebut. Ternyata dia malu.
Kali lain berkaitan dengan gadget.
Sejatinya saya dan suami bukan gamer. Namun seiring perkembangan zaman, termasuk begitu banyak variasi gadget, akhirnya Arsa pun bersentuhan dengan hal-hal macam itu. Seperti anak autis yang lain Arsa autodidak mempelajari cara bermain games-games walau ia baru saja lancar membaca.
Tapi lagi-lagi karena impulsif, perasaan cemas saat waktu games akan berakhir cenderung berlebih-lebihan dibanding anak biasa. Malah pertama-tama kepalanya tengleng kanan kiri dan matanya berkedip ekstra karena terus menerus main sampai harus diuninstall beberapa gamesnya.
Beberapa perasaan tampak dalam hal ini. Tertawa senang kalau high score. Atau seru foto-foto selfie. Atau antusias foto spanduk di jalan. Termasuk bertengkar rebutan dengan adiknya dan dia mengalah. Bertengkar dengan saya karena ia tidak suka kalau saya mengambil foto momen yang seharusnya dia ambil. Dari marah karena tidak paham mengapa batere gadget habis. Sampai bisa menunggu proses charging dan akhir-akhir ini menemukan sendiri fungsi power bank.
Walau beda usia yang terpaut 10 tahun, kadang perasaan Arsa tak beda dengan adiknya yang baru 1,5 tahun. Walau kadang dalam tahap sedikit berbeda. Mereka belajar bersama beberapa aplikasi gadget. Kalau Arsa belajar menulis banyak kata termasuk berkenalan dengan nama-nama hewan dalam bahasa inggris (aplikasi edukatif untuk anak balita), sementara adiknya belajar mengenal macam-macam hewan. Kalau Arsa asik foto-foto selfie atau foto lingkungan sekitar, adiknya asik mengenali identitas orang dalam foto. Jadi keduanya pun belajar sharing walau kebanyakan salah satu dari mereka tetap ngotot lalu menangis atau mengalah.
Meski selalu berusaha berlaku adil. Keduanya saling cemburu kalau ada yang lebih diperhatikan. Dan ternyata di sekolah pun ia suka cemburu dengan siswa baru yang tentu lebih diperhatikan karena belum mandiri. Jadi biar Arsa sebentar lagi kumisan dan jerawatan, ada beberapa hal yang ia tak ubahnya masih anak-anak.
Tapi sekarang, karena sekolah sering melatih, Arsa sudah bisa menginap di sekolah tanpa menangis atau minta pulang ke rumah. Akhir bulan ini malah mau beneran kemah. Itu kan tandanya,ia pun tumbuh dewasa.
Hal lain yang berkembang pada perasaan Arsa adalah express his feeling with purpose. He..he saya menyebut begitu karena kini ia mulai bisa mengekspresikan sesuai dengan perasaannya.
Suatu hari kami menjemput papinya yang pulang dinas luar kota. Itu hari Sabtu dan dalam benak Arsa Sabtu dan Minggu adalah saat ia break dan semua aktivitas hari biasa tidak berlaku. Sabtu Minggu adalah hari saat keluarga bepergian. Namun saat itu papinya hanya menaruh barang-barang sebentar untuk kemudian berangkat kuliah S2.
Begitu papinya berangkat kuliah Arsa pun menangis tersedu-sedu. Ia merasa akhir pekannya terganggu. Ia marah, sedih dan hanya bisa menangis. Saya hanya bisa memeluknya untuk menenangkannya. Akhirnya begitu papinya pulang kuliah, padahal sudah capek sekali, kami keluar berkeliling kota saja. Jujur.. Saat Arsa bisa mengekspresikan sesuai perasaannya, saya malah senang. Berarti ia makin paham untuk bereaksi atas apa yang terjadi, hal yang tidak semua individu autistik bisa melakukannya.
Jalan kami turun naik. Masih panjang berliku. Walau banyak yang bilang sebaiknya Arsa di sekolah umum, saya hanya tertawa. Kami memilih, saya dan Arsa untuk bersenang-senang di masa sekolahnya. Sudah cukup kesedihan dan ketegangan di masa awal sekolah. Sekarang kami hanya ingin Arsa punya dasar calistung yang baik dan beraktivitas non akademis lain. Kalau suatu saat Arsa gemilang menunjukkan talentanya itu adalah bonus.
Arsa memang autis. Dan beberapa perilaku autis akan tetap dimiliki sepanjang usianya. Namun ia kami dorong untuk terus move on. Terus bergerak. Terus bereksplorasi. Terus berkreasi. Sampai ia bisa mandiri, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan (mudah-mudahan) orang lain.
Saat ini Arsa 11 tahun, bersekolah di Rumah Belajar Autis Sarwahita di level kemampuan yang berbeda dengan sekolah umum. Dasar calistung semakin baik dan dalam beberapa hal semakin mandiri dan semakin berkembang perasaannya. [b]
Comments 1