HP tak sekadar alat komunikasi tapi juga simbol gengsi dan identitas sosial pemiliknya.
Istilah “ketinggalan zaman” sering dimaknai sebagai situasi sulit untuk melangkah ke masa depan, sebuah keadaan bergerak mundur, tertinggal atau keterbelakangan.
Label masyarakat terbelakang atau ketinggalan jaman ini seringkali dilekatkan penjajah kepada bangsa yang dijajahnya. Walaupun sekarang kita hidup di era pascakolonial istilah tersebut masih hidup. Tentu saja maknanya tetap negatif.
Masyarakat di negara bekas jajahan enggan dilabelkan seperti itu karena bangsa yang telah berhasil memerdekakan diri ini juga merasa maju atau modern seperti negara penjajahnya. Salah satu cara menolak label tersebut yaitu dengan menguasai produk teknologi tertentu.
Pada titik itulah korporasi mengambil kesempatan dengan menghadirkan teknologi sebagai “obat kemajuan” lewat iklan di media massa. Iklan tersebut merayu khalayak untuk mau membeli produk teknologi yang mereka kampanyekan sebagai paling “mutakhir” atau “baru”.
Mengonsumsi telepon seluler atau handphone (HP) adalah salah satu mekanisme melewati keterbelakangan itu. Alat komunikasi ini adalah obat yang ditawarkan korporasi kepada manusia Indonesia agar bisa beradaptasi dengan ritme globalisasi yang mengutamakan kecepatan dan efesiensi.
Data Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menunjukkan bahwa jumlah pelanggan telekomunikasi seluler di Indonesia tahun 2011 telah mencapai lebih dari 240 juta pelanggan. Naik 60 juta pelanggan dibanding tahun 2010. Angka ini mendekati jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 258 juta penduduk pada Desember 2010.
Jika kita berada di kios HP dan bercakap-cakap dengan penjaga kios atau pemilik kios tentang prilaku konsumen “kotak ajaib” tersebut, maka kita menemukan istilah “ketinggalan zaman” dikontestasikan terhadap sesama anak bangsa, dan beragam pula siasat mereka untuk melaluinya. Hal itu mengindikasikan konsep “waktu” tak berjalan linier, karena acap kali “kemajuan” bagi sekelompok orang bisa berarti “terbelakang” bagi kelompok lain. Begitu juga sebaliknya.
Dinamika kisah manusia-manusia yang berjual beli di kios HP adalah salah satu ruang sosial tempat “waktu” ditarik ulur, digoreng sekaligus dicetak.
Karena itu “waktu” bukanlah entitas netral. Persepektif mengenai “kemajuan” dan “ketertinggalan” atau bahasa kerennya “katrok” dan “up to date” tidak terlepas dari faktor historis dan lingkup sosialnya. Dinamika kisah manusia-manusia yang berjual beli di kios HP adalah salah satu ruang sosial tempat “waktu” ditarik ulur, digoreng sekaligus dicetak.
Kios HP dan Status
Kios HP ibaratnya ruang dua zaman yang mempertemukan “kelampauan” dan “kekinian”. Tempat seukuran warung ini tak hanya menjajakan HP baru yang masih tersimpan rapi di dalam boks, tetapi juga menjual barang bekas pakai. Meskipun kios tersebut menjual HP baru dalam pengertian produk yang masih suci belum terpakai, tetapi produk tersebut bisa berarti “katrok” jika nomer seri sebuah HP bekas dengan merek yang sama lebih baru, atau merek barang secondhand tersebut harganya dikenal mahal daripada brand HP dalam kotak.
Nomer seri dan merek bisa menyelamatkan posisi seseorang dari “keterbelakangan” meskipun barang yang digunakannya adalah barang bekas. Keterbelakangan dan kemajuan dalam konteks ini tergantung dari persepsi sosial, dan bukan berkaitan dengan cepat-lambatnya gerak. Tidak lagi tentang kebutuhan manusia terhadap alat komunikasi, melainkan menyangkut persoalan status. Bukan tentang kebutuhan terhadap fungsi HP secara teknis semata, namun terkait dengan penampilan seseorang di depan khalayak.
Ibaratnya pentas, benda ini bisa menghadirkan rasa percaya diri sekaligus perasaan rendah diri di hadapan audiens.
Nomer seri dan merek sebagai representasi “kemajuan” atau “ketertinggalan” bukanlah absolut maknanya, hal ini tergantung di mana produk tersebut dipentaskan. Menurut Juli pemilik kios HP di Jalan By Pass Sanur, beberapa pelanggannya memiliki HP jenis lama seperti Nokia 1202, Nokia 1280, atau Samsung e1080 t. Pelanggan yang memiliki produk lama ini tidak merasa minder menunjukan di hadapan teman-temannya. Hal ini karena lingkungan pergaulan mereka menggunakan produk HP jenis sama, atau barangkali nomer seri HP di antara teman-teman mereka tidak begitu jauh perbedaannya.
Semenjak kios HP membolehkan pelanggannya membeli HP dengan cara dikredit, kalangan kelas menengah ke bawah mulai bisa mengakses HP keluaran terbaru. Sistem cicil-mencicil ini memberikan akses bagi kelompok berkocek tipis meraih status. Menurut Juli, banyak laki-laki tidak memiliki kepercayaan diri jika perempuan yang ingin dikencaninya melihat sang pria menggunakan HP jenis lama. Para pemuda berkocek tipis yang hilang PD ini datang ke kios untuk membeli HP keluaran terbaru dengan cara mencicil. Berharap para pria tersebut terlihat “mapan” di depan perempuan incarannya jika HP-mereka keluaran terbaru.
Persoalan “status” juga dapat dilihat dari fenomena kepemilikan HP lebih dari satu. Hal ini diungkapkan Agus, pemilik kios HP di jalan WR Supratman, Denpasar. Menurut Agus persoalan “status” dalam kepemilikan HP lebih dari satu berkaitan dengan pekerjaan, khususnya pekerjaan yang membutuhkan pencitraan. HP model terbaru digunakan jika berhadapan dengan seseorang yang akan dijadikan target sebagai mitra bisnis, sponsor atau pembeli.
HP dengan nomer seri terbaru dan merek ternama dipertunjukan dengan harapan bisa meyakinkan audiens tersebut bahwa si pengguna HP adalah dari kalangan profesional, terdidik dan berasal dari kaum elite. Sedangkan HP yang masuk dalam kategori lama semisal jenis non Android, dipergunakannya untuk sahabat dan kerabat. Menunjukan HP lama tanpa sembunyi-sembunyi kepada orang-orang dekat menandakan nilai “kebaruan” sebuah barang tidaklah penting. “Tidak perlu harus bersandiwara kepada sesama orang dekat,” begitu menurut Agus.
Bagi pria yang menggantungkan nafkahnya lewat jual-beli HP sejak tahun 2000 ini, alasan kepemilikan dua HP tidak murni “status” melainkan juga alasan “teknis”, yaitu persoalan “kartu”. Jika mayoritas rekan sekantor menggunakan kartu A misalnya, dan HP yang jenis kartu yang dipakai sekarang berbeda maka ada kemungkinan besar orang tersebut akan membeli HP baru. Sebab jika berkomunikasi dengan teman sekantor akan lebih murah kalau menggunakan kartu yang sama. HP lama tetap digunakan untuk menyimpan nomer yang lama.
Obsesi terhadap “kemajuan” tak hanya menghinggapi orang dewasa. Siswa-siswi khususnya yang sedang menginjak masa remaja (SMP atau SMA) juga mengalaminya. Anak-anak remaja zaman sekarang juga berkomunikasi lewat Facebook atau Tweeter. Kondisi tersebut menuntut mereka menggunakan HP berfasilitas internet. Rasa percaya diri seorang anak bisa hilang jika tak memiliki teknologi tersebut. Mereka merasa tak mampu bergaul. Sering Agus dan Juli berhadapan dengan wajah anak remaja yang memelas kepada orang tuanya agar dibelikan HP Android.
Kehadiran kios HP yang menjual barang bekas serta menyediakan kredit dapat membantu orang tua tak berkocek tebal menyiasati pengeluaran agar anak mereka bisa mengakses teknologi terbaru, dan menyelamatkan rasa percaya diri para remaja.
Munculnya iklan-iklan produk HP terbaru di media masa adalah usaha korporasi HP mengontrol pemaknaan “waktu” tentang masa lalu, masa kini dan masa depan. Kehadiran iklan produk-produk terbaru tersebut ingin mengondisikan konsumen agar cepat merasa tertinggal jika tidak memilikinya. Produk tersebut menghadirkan sensasi “masa kini”, dan seolah-olah orang yang tak memiliki produk tersebut berada di “masa lampau”.
Produk terbaru tersebut sekaligus mererepresentasikan masa depan bagi yang bercita-cita memilikinya. Oleh karenanya kehadiran kios HP bagaikan sebuah museum bagi mereka yang terobsesi dengan gadget keluaran terbaru. Acapkali benda-benda “purbakala” yang pernah mereka gunakan dulu dipampang dalam kotak kaca di kios HP. Mereka penggila produk terbaru tersebut akan melihat HP bekas merepresentasikan momen yang sudah terlewatkan.
Menurut Agus dan Juli, kelompok pekerja kasar seperti buruh bangunan, pembantu rumah tangga, tukang bakso, atau pemulung cenderung membeli HP bekas dan non Android. Mereka tidak perduli terhadap baru atau tidaknya sebuah barang, namun lebih melihat fungsi yang dibutuhkan terhadap produk itu. Bagi kelompok masyarakat ini, barang-barang bekas tersebut bukanlah mencerminkan nostalgia masa lalu sebab teknologi tersebut masih memiliki kegunaan pada masa kini.
Kehadiran kios HP ibarat ruang bagi rakyat berkocek tipis mendefinisikan “waktu” ketika perspektif “waktu” berusaha dikontrol oleh korporasi HP lewat iklan-iklan produk terbarunya.
Kios HP dan Stigma
Seringkali kios HP dilekatkan sebagai penadah HP curian karena menjual belikan barang bekas. Menurut Wayan, salah satu penjaga kios HP di jalan Gunung Agung, Denpasar pandangan seperti itu adalah bagian dari stigma yang tak terpisahkan terhadap bisnis jual beli HP bekas.
Menurut pria yang sudah melakoni pekerjaannya selama delapan tahun ini, pemilik kios HP memiliki kiat agar tidak terjerumus dalam persepsi itu. Setiap pembelian HP bekas harus disertai kotak sekaligus charger beserta fotokopi identitas si penjual. Ini akan mengurangi risiko menjual produk hasil curian. Tetapi tidak selamanya penseleksian HP bekas ini berjalan lancar. Kadang barang curian tembus sensor meskipun wujud barang itu lengkap dengan kotak sekaligus chargernya.
Jika Wayan didatangi orang yang mengaku HP bekas yang dia jual sebagai barang miliknya, maka Wayan akan menjelaskan kronologi bagaimana barang tersebut bisa berada di kiosnya. Dia akan mengontak si penjual, dan mempertemukan kepada pihak yang mengaku memiliki barang tersebut. Si pencuri diminta untuk mengembalikan uang sesuai dengan harga HP curian yang dia jual. Bagi Agus dan Wayan, tidak mungkin pelaku pencurian adalah “orang luar” jikalau HP tersebut lenyap lengkap dengan box asli beserta chargernya.
Bagi kedua laki-laki ini, untuk mengetahui dim ana posisi kotak dan charger membutuhkan pengamatan. Karena itu dalam pengamatan, kedekatan sangatlah penting. Menurut Wayan dan Agus, setiap mereka menghadapi kasus seperti itu mereka selesaikan dengan cara kekeluargaan agar persoalan tidak jadi panjang.
Pandangan negatif lainnya tentang kios HP adalah tempat menjual belikan barang rusak. Biasanya kios HP dituduh menggonta-ganti perangkat di dalam HP. Semisal baterei yang masih bagus diganti dengan yang jelek. Menurut Agus, Wayan dan Juli, pada kenyataannya membeli barang bekas pasti ada saja kekurangannya sebab barang tersebut tidak baru lagi. Oleh karena itu para pembeli janganlah berharap barang bekas sebagai barang baru yang lebih awet, berkualitas, dan tahan lama.
Bahkan menurut mereka harapan tinggi tersebut salah ditempatkan kepada barang bekas saja, sebab barang baru juga banyak tak awet. Misanya HP Android, battery HP jenis ini biasanya cepat rusak disebabkan HP jenis itu bekerja lebih sibuk dikarenakan beban internet yang menyedot banyak energi. Hal itu mempercepat proses kerusakannya. Apabila membeli HP bekas sebaiknya dicoba dahulu dengan mengaktifkan seharian sehingga akan terlihat sisi lemahnya, baru setelah itu memutuskan membeli.
Para penjaga kios HP akan selalu siap bernegosiasi segala macam komplain dari para pembeli khususnya produk yang baru mereka beli.
Meskipun stigma-stigma itu melekat pada kios HP tidak serta merta meredupkan eksistensinya. Menurut Agus, Juli dan Wayan, kios HP tetap dibutuhkan masyarakat disebabkan sistem jual-beli HP di kios bersifat fleksibel. Selain bisa membeli dengan menyicil, pembeli bisa melakukan proses tawar-menawar dengan pihak kios saat membeli HP bekas. Posisi “penjual” dan “pembeli” juga bisa berpindah. Tak sedikit pelanggan kios menjual HP mereka kepada pemilik kios, bahkan tukar tambah.
Karena cairnya sirkulasi jual beli ini tentu diminati masyarakat karena kios HP memberikan berbagai macam cara transaksi yang bisa disesuaikan dengan isi dompet. Berbeda misalnya membeli HP di counter resmi, toko elektronik, mall atau supermarket yang tak boleh ditawar, dicicil, ataupun tukar tambah.
Kios HP dan Panggung Sandiwara
Dalam konteks jual beli yang serba fleksibel inilah masyarakat kelas menengah ke bawah bisa mengakses teknologi komunikasi dan informasi untuk bisa beradaptasi dengan cepatnya ritme zaman. Jika “kemajuan” sebuah bangsa diukur dari kecepatan gerak maka kios HP memberikan ruang bagi rakyat untuk ikut di dalam arus kecepatan itu. Alat komunikasi yang mereka dapatkan dengan cara mencicil, tukar tambah, dan tawar menawar itu bisa mereka gunakan untuk melancarkan kepentingan mereka, entah itu ekonomi, politik, cinta, kekerabatan ataupun sekedar berbasa-basi. HP berinternet meskipun “bekas” bisa mereka gunakan untuk mengikuti arus berita politik, ekonomi dan budaya di daerah, national, maupun international.
Kios HP adalah ruang “make up” sebelum pentas. Di dalam ruang rias itu manusia mempersiapkan strategi pentasnya agar bisa tampil gagah, anggun dan sejahtera di hadapan audiens.
Jika “kemajuan” diukur dari status maka kepemilikan HP keluaran terbaru bisa diakses lewat cicil mencicil. Kalaupun HP tersebut barang bekas namun jika belum masuk katagori “katrok”, tetap saja bisa menyelamatkan posisi status yang diinginkan. Tidak akan ada yang tahu HP yang dipakainya itu barang bekas jika berada di ruang publik. Kios HP ibaratnya behind the scene bagi manusia yang berupaya terlihat modern, maju, up to date, mapan atau keren di depan khalayak. Mereka tak perlu malu di depan para penjaga atau pemilik kios untuk membeli barang bekas, membeli dengan menyicil, ataupun tukar tambah.
Kios HP adalah ruang “make up” sebelum pentas. Di dalam ruang rias itu manusia mempersiapkan strategi pentasnya agar bisa tampil gagah, anggun dan sejahtera di hadapan audiens. Bahkan para penjaga kios mengetahui rahasia terdalam dan sensitif dari manusia. Acap kali para pembeli yang ingin berselingkuh membeli HP secara diam-diam tanpa sepengetahuan sang kekasih atau istri. HP yang dibelinya secara gerilya itu digunakan sebagai penyambung hubungan gelap mereka.
Kios HP ibaratnya kendaraan yang memungkinkan rakyat Indonesia bisa melaju mengikuti arus globalisasi. Kendaraan ini berisikan penumpang yang koceknya tidak cukup untuk membeli barang baru dengan tunai akibat negaranya salah urus oleh politisi korup. Di saat isi dompet rakyat Indonesia tersendat-sendat, rakyat yang sempoyongan ini dituntut oleh modernitas pascakolonial untuk selalu tampil prima, melek, canggih, dan gaul.
Kios HP muncul sebagai ratu adil penyelamat para actor dan aktris yang butuh ruang rias. Meskipun ruang rias ini diterpa isu-isu tak sedap semisal menjual barang curian atau barang rongsokan namun akan tetap eksis karena Indonesia kini adalah panggung sandiwara… [Gde Putra dan Roro Sawita, penulis lepas dan aktif di Komunitas Taman 65]
Catatan:
Tulisan ini adalah bagian dari Mobile Indonesians Project, yang didanai oleh the Australian Research Council dan dilaksanakan oleh Australian National University (ANU) Canberra dengan Dr Emma Baulch sebagai koordinator penelitian.