Bentara Budaya Bali kembali menggelar pemutaran film Bali Tempo Doeloe (BTD).
Kali ini bertajuk “Rudolf Bonnet & Arie Smit: Cerita Dunia Seni Rupa Bali”. Pemutaran film ini akan diadakan pada Jumat, 25 April 2014 pukul 18.30.
Pemutaran film akan diadakan di Bentara Budaya Bali di Jalan Prof. Ida Bagus Mantra no. 88 A, By Pass Ketewel, Gianyar.
Bekerja sama dengan Erasmus Huis Jakarta, BTD seri kesepuluh kali ini akan menyinggung perihal perkembangan seni rupa Bali. Bila pada seri ketujuh bulan Januari 2014 lalu dihadirkan seri dokumenter perjalanan maestro seni rupa Bali, I Gusti Nyoman Lempad, kali ini akan ditayangkan film dokumenter para perupa asing yang pernah bermukim dan berkarya di Bali, yakni Bonnet dan Arie Smit.
“Kisah perjalanan dua sosok yang turut mewarnai sejarah seni rupa Bali ini dapat disimak dalam dua sinema yang digarap dengan cukup serius. Selain itu nanti akan diperkaya pula dengan sesi diskusi,” ujar Putu Aryasthawa dari Bentara Budaya Bali.
Sebagai pembicara diskusi adalah Wayan Kun Adnyana (35), seniman yang juga pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Selain bicara perihal sosok Bonnet maupun Arie Smit, akan diulas pula tahapan transformasi dunia seni rupa Bali.
Hal itu sekaligus untuk menjawab pertanyaan kapan sejatinya elan kreatif masyarakat Bali menemukan momen-momen pentingnya dan bagaimana proses itu berlangsung.
Sesungguhnya tidak mudah untuk memastikan bagaimana jejak sejarah seni rupa Bali di masa lampau, terutama jika dirunut hingga ke masa Bali Kuno, ditandai dengan kehadiran pahatan ataupun wujud rupa di sarkofagus, hingga pengaruh Hindu Buddha yang belakangan memasuki pulau ini.
Salah satu prasasti Raja Dharmmodayana Warmadewa pada tahun 944 Caka (1022 M) menerakan istilah citrakara, atau pelukis, yang hak dan kewajibannya sama dengan undagi kayu, undagi watu, pangarung (tukang gali terowongan), çulpika (ahli pahat) dan ahli lainnya.
Walaupun demikian, sulit ditemukan jejak karya lukis Bali Kuno itu. Tidak ada temuan mengenai lukisan-lukisan ini sampai sekarang, dan beberapa peneliti bahkan mengajukan hipotesa bahwa seni lukis Bali berdekatan dengan seni pahat berupa ukiran-ukiran hiasan atau relief di pura-pura Bali Kuno, seperti di Pura Tegeh Koripan (Bangli), Pura Penataran Sasih, Goa Gajah, Kutri dan aneka arca yang tersebar di Pejeng dan Bedulu.
Akan lebih mudah bila merunut perkembangan peran dan karya para pelukis Bali dari era Pertengahan, setelah masuknya Majapahit hingga kurun waktu berikutnya. Saat itu ikon figuratif dan grafis pewayangan dalam tema-tema Hindu mulai jelas terlihat. Beberapa di antaranya masih lestari sampai sekarang.
Bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, akan diputar seri biografi dokumenter Bonnet dan Arie Smit.
Rudolf Bonnet, lahir di Amsterdam, Belanda 1895, meninggal di Laren Belanda 1978. Selain belajar di National Academy of Fine Arts Belanda, Bonnet juga dididik di Italia. Pelukis ini pertama kali masuk Bali tahun 1929. Ia tergabung sekaligus membentuk kelompok Pita Maha (yang didirikan bersama Walter Spies atas prakarsa Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati dan adiknya Tjokorda Raka Agung Sukawati), dan bergabung pula dengan kelompok Pelukis Ubud.
Selain melukis, ia juga aktif di dalam membangun “pergaulan kreatif” sesame seniman masa itu,merintis pendirian Museum Puri Lukisan yang diresmikan pada tahun 1956. Penghargaan yang diterima antara lain Dharma Kusuma (Bali, 1997), Satya Lencana Kebudayaan (Indonesia, 1980).
Karya-karyanya dikoleksi oleh Rijksmuseum Kroller-Muller (Amsterdam, Belanda), Museum Singer (Laren, Belanda). Beberapa pamerannya seperti Pameran East-West Center (Honolulu, Hawaii, 1998), Singapore Art Museum (1994), Pusat Studi Strategis dan Internasional (Jakarta, Indonesia, 1996), Festival Persahabatan Indonesia-Jepang (Morioka, Tokyo, 1997) dan Istana Presiden Indonesia. Banyak karyanya menjadi koleksi Istana Kepresidenan pada masa Presiden Soekarno.
Arie Smit, kelahiran Zaandam, Belanda tahun 1916, telah menjadi warga negara Indonesia sejak 1950. Keluarganya pindah pada tahun 1924 dari Zaandam ke Rotterdam, di mana Smit akhirnya belajar desain grafis di Academy of Arts. Di masa muda ia terinspirasi oleh karyaSignac, Gauguin dan Cézanne.
Ia dikirim ke Hindia Belanda pada tahun 1938 sebagai lithographer. Datang pertama kali ke Bali tahun 1956. Semasa itu, kehadiran Smit di Bali, khususnya di Ubud, melahirkan sebuah gaya lukis baru yang disebut ‘Young Artist’. Sedini itu ia bersahabat dengan pendiri museum Neka, Pande Wayan Suteja Neka, hingga belakangan ini.
Atas perannya dalam perkembangan seni lukis di pulau itu, Smit menerima penghargaan Dharma Kusuma (Society of National Heroes) pada tahun 1992 dari pemerintah Bali. Karya-karyanya dikoleksi di Museum Bali dan Penang Museum di Malaysia. Smit juga pernah berpameran di Jakarta, Singapura, Honolulu dan Tokyo.
Kun Adnyana, selain intensif mengikuti pameran seni rupa di berbagai kota, ia juga menulis kritik seni rupa dan kebudayaan di berbagai media massa, seperti Kompas, Media Indonesia, majalah Visual Arts, dll. Kumpulan tulisannya telah terbit dengan judul Nalar Rupa Perupa, Buku Arti, Denpasar, 2007.
Bersama DR. M. Dwi Marianto menulis buku Gigih Wiyono; Diva Sri Migrasi, Galeri 678, Jakarta, 2007. Bersama Dr Jean Couteau, dan Agus Dermawan T menulis buku Pita Prada (Biennale Seni Lukis Bali Tradisional), Bali Bangkit, Jakarta, 2009. Turut merintis Bali Biennale 2005, sebagai committee dan juga kurator Pra-Bali Biennale-Bali 2005.
Kun telah mengkurasi berbagai pameran seni rupa untuk: Tony Raka Art Gallery Ubud, Pure Art Space Jakarta, Ganesha Gallery Four Seasons Resort Jimbaran, Gaya Fusion Art Space Ubud, Danes Art Veranda Denpasar, Tanah Tho Art Gallery Ubud, Syang Art Space Magelang, Kendra Art Space Seminyak, Mondecor Jakarta, dan lain-lain.
Penghargaan: finalis UOB Art Awards 2011. Finalis Jakarta Art Awards (2010). Lulusan terbaik predikat cum laude Pasca Sarjana ISI Yogyakarta (2008). Finalis Jakarta Art Awards (2008). Widya Pataka dari Pemerintah Provinsi Bali (2007). Lulusan terbaik predikat cum laude STSI Denpasar (2002). Nominasi Philip Morris Indonesian Art Awards (1999). Kamasra Price Seni Lukis Terbaik (1998). Pemenang pertama Lomba Lukis Remaja Parpostel IX Denpasar (1996). [b]