Siapa politikus Bali paling menonjol hari-hari terakhir ini?
Saya yakin banyak yang sepakat jika saya menyebut nama Gede Pasek Suardika. Nama politikus kelahiran Singaraja, Bali 21 Juli 1969 ini banyak muncul di media massa maupun media sosial hari-hari ini.
Nama Pasek Suardika pertama kali saya kenal ketika magang tugas akhir di Kepolisian Daerah Bali tahun 2008 silam. Ketika itu, jika tak salah, Pasek diduga melakukan pencemaran nama baik dalam kasus sengketa tanah di Kuta Selatan. Sebagai pengacara, kiprah Pasek Suardika memang lumayan menonjol di Bali.
Nama Pasek (atau tepatnya wajah Pasek) semain mudah dilihat ketika memasuki masa kampanye Pemilu 2009. Berbagai spanduk dan posternya bertebaran di Jalan Ida Bagus Mantra, dari Denpasar hingga perbatasan Klungkung, dalam rangka Pemilu 2009. Dia maju dari Partai Demokrat.
Tapi suara yang diraihnya tak cukup untuk membuatnya duduk di kursi parlemen. Demokrat hanya memperoleh dua kursi di Bali. Di partainya, perolehan suara Pasek ada di urutan ketiga.
Beruntung, Jero Wacik, petinggi Demokrat yang juga lingkaran pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ditarik menjadi menteri. Maka, Pasek berhak memperoleh satu kursi di Senayan. Setelah itu, praktis saya tak punya media lagi untuk mengetahui sepak terjang Pasek.
Media Darling
Kiprah Pasek kembali bisa saya ikuti ketika ditugaskan meliput isu politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi saya mengenal ketiga staf Pasek di Senayan, Suresh, Ari dan Kisnu. Suresh merupakan kawan lama di Bali. Ketika saya aktif di Pers Kampus Akademika, Suresh Ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Indonesia (KMHDI) di Bali, lalu menjadi pengurus pusat organisasi ini. Ari Widyasari dan Kisnu bahkan satu fakultas dengan saya di Udayana.
Di Dewan, Pasek duduk di alat kelengkapan yang ‘media darling’. Dia misalnya pernah duduk di Komisi X yang membidang pendidikan, kebudayaan dan olahraga. Komisi inilah yang membahas proyek Wisma Atlet dan Hambalang, yang kelak akhirnya menyeret sejumlah pentolan Demokrat. Sebut saja Angelina Sondakh, Andi Malarangeng dan sahabatnya Anas Urbaningrum.
Saya tidak tahu bagaimana kiprah Pasek di Komisi ini. Namun dalam satu risalah rapat Hambalang, sebulan sebelum Kongres Demokrat di Bandung, Pasek pernah melontarkan candaan mengenai ‘Demokrat 1’. Demokrat 1 tentu saja merujuk pada Ketua Umum Partai Demokrat.
Pasek sendiri pernah mengatakan, celotehannya itu hanya joke di sela rapat. Belakangan kita tahu skandal proyek Hambalang ini kemudian merembet ke mana-mana, termasuk dugaan ada dana proyek ini yang mengalir ke Kongres Demokrat di Bandung. Salah satunya, dugaan dana mengalir untuk pemenangan Anas Urbaningrum, sahabat Pasek. Kebetulan bisa jadi menjadi tidak menyenangkan untuk Pasek.
Setelah berkiprah di Komisi X, Pasek pindah ke Komisi II yang membidangi pemerintahan dalam negeri. Dari sini, pernyataan Pasek mulai sering dikutip media. Pasek aktif dalam sejumlah panitia kerja penting seperti Perubahan Undang-Undang (UU) Penyelenggara Pemilu dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta.
Tim Mawar
Kiprah politik Pasek mulai moncer ketika menjadi Wakil Ketua Panitia Khusus Revisi UU Pemilu. Saya beberapa kali mewawancarai Pasek, yang saya anggap mewakili Demokrat terkait sikap mereka dalam RUU Pemilu ini.
Karier politik Pasek makin melejit ketika pada 25 Mei 2012 diangkat menjadi Ketua Komisi III yang membidangi masalah hukum. Inilah Komisi paling populer di Senayan.
Sebab pertama, beberapa pentolan Komisi ini sebelumnya merupakan ‘selebritis politik’. Sebut saja nama Ruhut Sitompul, Trimedya Panjaitan, Aziz Syamsudin, Ahmad Yani hingga Fahri Hamzah. Muhammad Nazarudin sebelum ditangkap juga duduk di Komisi ini.
Sebab kedua, mitra Komisi ini adalah lembaga yang disorot media. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan. Saya kira, di Komisi inilah kiprah Pasek benar-benar menonjol, setidaknya bagi saya yang bekerja di media. Posisinya yang strategis membuat kutipannya dicari meskipun saya pikir Pasek bukan politikus yang ucapannya sering ‘ngelead’, istilah wartawan untuk politikus dengan kutipan menarik.
Apakah Pasek anggota Dewan berprestasi? Susah untuk menjawab ini.
Jika salah satu indikator prestasi Dewan adalah menghasilkan undang-undang, Komisi Hukum di bawah kepemimpinan Pasek hanya menghasilkan satu undang-undang menonjol yakni UU tentang Sistem Peradilan Anak. RUU lain seperti RUU Mahkamah Agung, KUHP, KUHAP dan Revisi UU KPK nasibnya terkatung-katung. Tentu ini bukan salah Pasek seorang.
Seorang kawan dekatnya pernah berbisik, sebagai Ketua Komisi Hukum Pasek sering ditarik ke dalam kepentingan Tim Mawar. Tim Mawar merujuk pada vokalis Komisi Hukum seperti Bambang Soesatyo, Sarifuddin Sudding, Desmond J Mahesa dan Ahmad Yani. Tim ini kerap dituding akan memangkas sejumlah kewenangan KPK melalui revisi UU KPK. Sepak terjang KPK memang mengkhawatirkan anggota Dewan karena sejumlah kolega mereka ditangkap akibat kasus korupsi.
Tim ini pula yang diduga berperan sehingga Abraham Samad terpilih sebagai Ketua KPK. Dalam kicauannya beberapa waktu lalu, Pasek sempat mengungkit-ngungkit soal proses pemilihan ini. Saya tidak tahu apakah ini mengonfirmasi bahwa Pasek menjadi bagian yang ingin ikut mengamputasi kewenangan KPK.
Tapi ini sudah cukup menimbulkan kecurigaan publik bahwa Pasek menjadi bagian itu. Bisa jadi kedekatan inilah yang membuat Ruhut Sitompul, kolega sekaligus seteru Pasek di Demokrat, menuding Pasek getol ingin merevisi UU KPK.
Terpental
Tak dapat dipungkiri, faktor melejitnya Pasek di DPR karena kepiawaian dalam memilih kawan politik. Sejak terpilih secara mengejutkan dalam Kongres Demokrat 2010 di Bandung, Anas Urbaningrum merangkul tokoh-tokoh muda dalam kepengurusannya, Pasek salah satunya. Dia menjadi Ketua Departemen Pemuda dan Olahraga.
Jika tak salah, Pasek pernah didapuk menjadi juru bicara partai. Anas dan Pasek pada akhirnya menjadi sahabat dekat. Peresmian rumah aspirasi Pasek di Renon, Denpasar pada 2010 silam dilakukan oleh Anas.
Karier cemerlang Pasek mulai redup ketika nama Anas diseret oleh koleganya Muhammad Nazarudin. Puncaknya adalah ketika Anas menyatakan berhenti dari jabatannya karena menjadi tersangka korupsi di KPK. Demokrat yang suaranya terpuruk akibat sejumlah petingginya terlibat rasuah mulai panik mencari pengganti Anas.
Pasek, seingat saya, yang mengusulkan agar SBY menjadi Ketua Umum Demokrat. Pasek menganggap, hanya SBY yang bisa mempersatukan Demokrat.
Toh, usul ini bergulir dan diamini sebagian besar pengurus Demokrat di daerah. Dalam KLB Demokrat di Bali, SBY akhirnya benar-benar menjadi pengganti Anas di pucuk tertinggi Demokrat. Namun, dalam kepengurusan baru, Pasek justru terpental dari jabatannya di DPP Demokrat. Saya lebih merasa bahwa usul ini sebenarnya sindiran untuk SBY. Setidaknya ini membenarkan bahwa Anas dan SBY dalam posisi setara karena sama-sama pernah memimpin Demokrat.
Melejit karena dekat dengan Anas, toh Pasek harus terpental dari kepengurusan Demokrat juga karena Anas.
Pasek juga sempat mengkritik gaya kepemimpinan Ketua Harian Syariefuddin Hasan. Pasek meragukan kemampuan Syarief dalam mengemudikan partai sebesar Demokrat. Dia menyindir Syarief yang dinilai baru memiliki SIM C namun sudah mengemudikan bus sebesar Demokrat.
Saya kira, inilah salah satu pemantik mengapa Pasek akhirnya tersingkir dari Demokrat.
Dipreteli
Pelan-pelan jabatannya dipreteli. Setelah dicopot sebagai Ketua Komisi Hukum, Demokrat akhirnya memutuskan mengganti Pasek di Senayan. Alasannya, Pasek menjadi pendiri sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), organisasi yang didirikan bersama Anas Urbaningrum.
Meskipun tidak eksplisit, Anas dalam tweetnya memang kerap menyindir Demokrat dan SBY. Pasek juga beberapa bersuara kritis atas kondisi di internal Demokrat.
Toh, untuk pemecatan sebagai anggota Dewan, saya sepakat dengan Pasek. Jika hanya karena dekat dengan Anas lalu dipecat, saya kira ini berbahaya bagi demokrasi. Bahwa kemudian dia menjadi Sekjen PPI yang kerap kritis pada Demokrat, itu soal lain. Toh tak ada aturan tertulis kritis kepada partai berarti memberontak dan berkhianat pada partai. Kecuali misalnya Pasek memfitnah tokoh Demokrat.
Demokrat mesti belajar dari Golkar untuk soal perbedaan pendapat di partai. Bukankah ruh dari partai politik adalah demokrasi dan perbedaan pendapat?
Lagipula, loyalis Anas di daerah juga sudah dikunci. Kalaupun hendak memberontak, bisa jadi waktunya tidak sekarang karena mereka juga memerlukan Demokrat untuk duduk sebagai anggota DPR atau DPRD.
Dari sisi alasan dan momentum pemecatan ini tidak tepat. Pamor Demokrat justru makin terpuruk karena hiruk pikuk ini. Konvensi yang seharusnya mendongkrak elektabilitas partai justru seakan sia-sia. Demokrat butuh ahli strategi media mumpuni. Kecuali, partai ini memang meneguhkan ini sebagai partai medioker atau partai papan bawah.
Jika alasannya melanggar Pakta Integritas, tentu juga tak masuk akal. Poin pakta integritas ini adalah bebas KKN. Sejauh ini saya meyakini Pasek bersih dari kasus korupsi. Saya belum pernah mendengar Pasek terserempet kasus korupsi di Senayan. Bandingkan dengan Edhie Baskoro Yudhoyono yang namanya berkali-kali disebut menerima duit dari perusahaan Nazarudin atau petinggi Demokrat lain seperti Jero Wacik dan Sutan Bhatoegana yang namanya lebih sering masuk pusaran kasus korupsi.
Bahwa partai berhak memecat anggota tentu saja, iya. Tetapi jika pemecatan tidak memiliki landasan jelas dan terukur, saya khawatir Demokrat akan menjadi partai sewenang-wenang dan diktatoris. Saya sepakat dengan Pasek yang ingin menegakkan ruang berdemokrasi di partai yang membesarkannya. Pemecatan ini justru membesarkan nama Pasek sendiri.
Jika ingin mengamputasi Pasek, Demokrat saya kira sudah gagal melaksanakannya. Setidaknya untuk saat ini.
Sahabat Dekat
Meskipun sama-sama dari Bali, saya sebenarnya jarang terlibat pembicaraan personal dengan Pasek. Kami mengobrol untuk isu-isu politik hukum dan sesekali soal Anas Urbaningrum.
Media tempat saya bekerja memang gencar memberitakan kasus Hambalang yang diduga melibatkan Anas Urbaningrum. Posisi ini membuat Pasek menarik jarak dengan saya. Beberapa kali Pasek terlihat jengkel karena menganggap media tempat saya bekerja terlalu percaya dengan ucapan Muhammad Nazarudin.
Saya mendengarkan keluhan ini namun mengatakan bahwa kami sudah menjalankan prosedur jurnalistik. Jika ada keberatan silakan sampaikan atau ceritakan versi lain. Toh, hingga hari ini, Anas selaku sahabat Pasek tak pernah memberikan waktu khusus untuk menceritakan versi berbeda.
Lalu bagaimana pendapat Pasek soal keterlibatan sahabatnya itu dalam kasus Hambalang? Entahlah. Seingat saya, Pasek juga tak pernah secara terang-terangan menyatakan Anas tidak terlibat dalam kasus Hambalang. Saya juga tak pernah bertanya, apakah Pasek percaya Anas bersih dari kasus korupsi?
Anas adalah contoh aktivis mahasiswa yang sukses, tentu sebelum menjadi tersangka korupsi. Muda, brilian, menjadi ketua umum partai terbesar parlemen.
Apakah materi menjadi ukuran kesuksesan? Kalau iya, coba tengok rumah Anas di Duren Sawit yang megahnya minta ampun. Bahkan Anas pernah ingin menyambungkan dua kompleks rumahnya yang dipisahkan jalan dengan jembatan.
Saya kadang berpikir, Anas kerja apa ya kok bisa sampai sekaya raya itu? Dalam satu wawancara Anas sempat mengatakan rahasia kekayaannya karena, “Bisnis mari bergaul.” Saya tidak mengerti apa maksudnya.
Di antara semua kawan dekat Anas di Demokrat, Pasek terlihat paling setia di samping Anas. Dulu sekali, ketika diperiksa KPK, masih banyak koleganya di Partai Demokrat yang menyertai Anas ke Kuningan. Namun ketika Anas makin tersingkir, pelan-pelan kawan-kawannya di Demokrat juga mulai minggir, kecuali Pasek.
Silakan saja cek tweet Anas dan Pasek untuk mengetahui bagaimana kedekatan mereka. Termasuk hari-hari terakhir sebelum Anas dijebloskan ke penjara. Untuk soal menjaga persahabatan, saya berikan jempol untuk Pasek. Seorang sahabat seharusnya tak pergi saat temannya susah karena ditimpa musibah.
Kedekatan ini tentu menimbulkan banyak cibiran, atau setidaknya pertanyaan ke akun twitter saya, “Apakah Pasek menikmati dana Hambalang?” Saya menjawab, rasanya tidak. Apakah Pasek terlibat Hambalang? Saya pikir juga tidak.
Pembelaan ke Anas, bisa jadi karena keyakinan seseorang kepada sahabatnya. Saya menghargai itu. Apakah keyakinan Pasek soal Anas benar atau salah akan terbukti di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Waktunya tidak lama lagi kok… [b]
Saya sempat meeting bersama Pak Pasek ketika pilkada Bali dua periode yang lalu dimana beliau jadi tim sukses nya Pak Wisnaya. Pak Pasek bilang, sepertinya belum perlu buat website untuk pasangan Pak Wisnaya dan kalau ngga salah Pak Alit Putra. Ya begitulah 🙂
Nggak terlalu mengikuti politik, tapi thanks Gus jadi tahu apa maksud spanduk yg ada beliau disekitaran Sudirman.
Saya pikir Agus Lenyot agak terlalu romantis, memberi penghargaan sedikit berlebih, terhadap ekspresi “setia kawan” yang ditunjukkan Pasek ke Anas. Bak Bisma yang keukeuh membela Astinapura walau notabene berarti satu pasukan dengan para antagonis Kurawa. Atau samurai yang setia hingga titik darah penghabisan membela “kehormatan” tuannya. Bentuk setia kawan Pasek tak melulu harus seperti yang kita kenal (baca: tercuci otak) seperti di buku-buku bacaan. Tapi bisa juga dengan meyakinkan Anas agar menjadi justice collaborator, merajuk sahabatnya agar berterusterang ke KPK, menolak mendampingi Anas dalam konferensi pers yang bernuansa membela diri—dan memposisikan diri seolah-olah dirinya adalah korban. Bentuk setia kawan di konteks Pasek-Anas ini seharusnya dengan ekspresi yang lebih sehat dan berkeadilan. Bayangkan jika semua hakim “setia kawan” terhadap keluarganya yang berbuat kriminal ya bisa hancur ini tatanan bermasyarakat 🙂