Dari gang kecil di Denpasar, kipas Wiracana menjadi penanda status sosialita.
Sesetan, desa di Denpasar Selatan, Bali, pada awalnya terkenal sebagai salah satu pusat produksi kipas. Pada tahun 1960 hingga 1980-an, sepanjang jalan ke arah Pelabuhan Benoa dari pusat kota ini banyak rumah warga yang sekaligus tempat membuat kipas. Namun, sekarang hanya satu dua rumah produksi kipas tersisa di jalan ini.
Salah satu dari tempat produksi kipas di Sesetan yang tersisa tersebut adalah Wiracana. Sejak 1960-an, dia terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan zaman. Inilah salah satu kunci Wiracana bertahan, inovasi.
Wiracana adalah usaha keluarga yang diwariskan secara turun temurun. Perintis usaha ini adalah Ketut Wiranantaja, 59 tahun. Mantan pekerja di kapal pesiar ini terbiasa membuat kipas bersama orang tuanya sejak kecil. Saat itu, kipas tangan adalah benda yang dibuat petani, termasuk ayah Wiranantaja, ketika ada waktu luang.
Setelah tiga tahun bekerja di Australia, Wiranantaja kembali ke Bali. Bapak tiga anak ini sempat jatuh bangun dengan usaha jual beli sepeda motor sebelum kemudian memulai usaha pembuatan kipas secara profesional. Karena hanya menggunakan tangan, jumlah produksi kipasnya termasuk sedikit pada saat itu, 20 per hari.
Seragam
Untuk pemasaran, dia menjajakan kipas-kipas itu ke beberapa art shop dengan sistem pembayaran di belakang. Merasa peluang bisnis kipas ini bagus, maka pada tahun 1987, Wiranantaja pun mendirikan CV Wiracana.
Ketika permintaan makin banyak, bapak tiga anak ini mulai melakukan inovasi. Dia menggunakan mesin untuk mencetak kipas. Dengan mesin tersebut, kualitas kipas pun makin bagus. Ketebalan kayu makin seragam. Hasil produksi makin banyak.
Wiracana pelan-pelan menjadi merek tersendiri dalam bisnis kipas. Apalagi pesaing di Bali juga tak banyak. Usaha produksi kipas Wiracana pun makin berkembang.
Dari semula hanya menempati usaha di rumah, kini Wiracana sudah berdiri di lahan seluas 27 are dengan 150 karyawan. Jumlah produksi dari semula hanya 20 per hari, kini bisa sampai hampir 1.000 per hari. Inovasi Wiranantaja kini terlihat hasilnya. Dari semula hanya dibuat dengan tangan, kini kipas itu dibuat dengan mesin. Dari semula hanya suvenir kawinan, kipas kini menjadi suvenir di hotel-hotel.
Salah satu mesin pencetak yang dimodifikasi oleh Wiranantaja membuat mesin tersebut bisa membuat kipas dengan motif-motif ukiran detail namun seragam. Mesin ini yang kemudian dipatenkan dan tidak boleh dilihat pihak lain kecuali staf mereka.
Inovasi itulah yang kemudian diteruskan oleh anak pertama Wiranantaja, Wayan Wiraperdhana, 31 tahun. Pengembangan oleh Wiraperdhana saat ini lebih pada membangun merek (branding) sekaligus citra (imaging), bahwa kipas tak hanya suvenir tapi kelengkapan sosialita.
Kelas Menengah
Setelah berhasil menjual kipas di kalangan menengah ke bawah, Wiracana kini menjadikan kelas menengah ke atas sebagai target pasar. Perusahaan ini pun mengikuti acara-acara di kalangan sosialita, termasuk Jakarta Fashion Week atau pameran industri. Wiraperdahana berusaha menjadikan kipas sebagai bagian tak terpisahkan dari fashion.
“Awalnya agak susah karena kipas tidak termasuk daftar belanja utama benda fashion. Tapi, kami berusaha mematahkan pandangan itu,” kata Wiraperdhana.
Promosi lain yang dilakukan adalah pemasaran dari mulut ke mulut (marketing of mouth). Cara ini ternyata efektif. Menurut Wiraperdhana, koreografer Arie Tulang yang membantu pemasaran dengan cara ini. Saat ini, penyanyi Anggun yang justru getol mempromosikan kipas Wiracana. Wajah penyanyi ini bahkan menjadi salah satu ikon di produk Wiracana.
Hasilnya, sejumlah selebritis dan pejabat negeri ini pun tercatat namanya di dinding galeri Wiracana. Sebagian di antaranya adalah juru masak Farah Quinn, penyanyi Anggun, koreografer Arie Tulang, Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Amalia Sari Gumelar, bahkan penyanyi internasional ternama Paula Abdul. Mereka membeli dan mengoleksi kipas made in Bali dengan logo dua tangan membentuk huruf W tersebut.
Seiring dengan pengembangan target pasar, maka Wiracana pun melakukan sejumlah pengembangan seperti desain yang lebih up to date dan fleksibel. “Desain-desain kami sekarang lebih mengarah kipas sebagai bagian dari fashion, bukan hanya suvenir untuk resepsi pernikahan dan perusahaan,” katanya.
Sosialita
Pengembangan desain ini membuat kipas tak lagi hanya menjadi benda untuk mengusir rasa gerah tapi benda yang wajib dibawa oleh sosialita. Apalagi desain-desainnya memang terlihat lebih dinamis.
Pada awalnya, desain kipas kayu ala Wiracana agar seragam. Bahannya dari kayu dengan ukiran-ukiran sederhana di sana. Kini, kipas itu terlihat lebih berkelas. Tak lagi hanya kayu tapi juga kombinasi dengan kain brokat prancis, sutra, dan kain yang terkesan istimewa. Ornamen pada kipas tak hanya ukiran tapi juga lukisan-lukisan penuh identitas budaya Bali seperti barong, rangda, garuda, dan seterusnya.
Agar terlihat makin eksklusif, bagian pinggir kipas tak lagi hanya cat hitam tapi bisa diganti dengan sepuhan perak atau bahkan emas. “Kami sekarang lebih berani bermain-main dengan desain setelah produk kami makin dikenal dan punya nama tersendiri,” ujar Wira.
Dalam katalog produknya Wiracana mengenalkan beberapa produk andalan seperti kipas sutra polos, kipas sutra lukis tangan, kipas kertas, kipas sutra batik, kipas kerang laut, kipas sutra brokat, kupas lukis dengan ukiran dari tulang, dan lain-lain.
Dengan bahan dan desain yang menurut Wira lebih elegan, harga kipas Wiracana pun tak lagi murahan. Sebagai gambaran, kipas di pasar suvenir pada umumnya sekitar Rp 15.000 hingga Rp 50.000. Namun, harga kipas Wiracana bisa sampai Rp 150.000 atau bahkan yang paling mahal Rp 9,5 juta. Kipas-kipas eksklusif ini diproduksi secara khusus, tidak bercampur dengan produksi massal.
Ketika upaya membangun citra kipas sebagai produk berkelas di kalangan sosialita tersebut dilakukan, promosi kipas Wiracana sebagai produk suvenir pun terus dilakukan. Pemasaran utama kipas Wiracana tetap ekspor yang mencapai antara 45-50 persen. Produk tersebut diekspor ke Spanyol, Italia, dan Amerika. Adapun di pasar domestik sekitar 65 persen Jakarta dan Bali 35 persen.
Pemasaran di Bali lebih sedikit terutama untuk hotel dan art shop karena kipas belum menjadi kebutuhan pokok personal. Menurut Wiraperdhana, hal ini karena masih ada anggapan bahwa fungsi kipas masih bisa digantikan oleh koran bekas. “Kipas bukan bagian dari budaya Bali. Hanya digunakan ketika menari,” ujarnya.
Toh, kini kipas Wiracana tak hanya menjadi koleksi sosialita. Kipas yang dibuat dari gang kecil di Sesetan Denpasar itu kini menjadi suvenir acara-acara berkelas dunia. Dua di antaranya sebagai suvenir pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) dan final Miss World 2013 di Bali Oktober lalu. Wiracana adalah kipas yang dipakai semua finalis Miss World 2013 pada malam pemilihan. Desember lalu, kipas ini pun menjadi suvenir resmi pada pertemuan World Trade Organization (WTO) di Bali. [b]