Protes di Bali termasuk langka dibandingkan kota lain.
Orang berjalan kaki di tengah jalan sambil membawa poster hujatan kepada penguasa dalam jumlah ratusan orang adalah peristiwa langka di Bali. Seandainya ada ratusan orang berjalan kaki di jalanan, bisa diprediksi suara dari keramaian tersebut bukanlah umpatan protes, melainkan dendang kidung puja-puji kepada dewata. Pura adalah arah dari tujuan arak-arakan, dan bukan gedung pemerintah.
Pemandangan protes di Bali termasuk langka jika dibandingkan dengan Jakarta, misalnya. Bali identik sebagai tempat nyaman untuk berwisata. Tidak hanya para wisatawan mempercayai Bali adalah tempat damai, orang Bali sendiri banyak yang meyakini pandangan itu. Berbeda dengan Jakarta misalnya yang kokoh pencitraannya sebagai pusatnya kegaduhan politik, goro-goro di jalanan lebih dimaklumi khalayak.
Namun, hari-hari ini, peristiwa langka, protes dalam massa banyak di Bali makin sering terjadi.
Saya adalah salah satu saksi mata peristiwa langka di tanah kelahiran saya itu. Bukan hanya karena melebihi prediksi saya yang biasanya dihadiri puluhan orang, namun juga terasa baru suasananya. Kejadian itu pada 1 Oktober 2013. Sinar matahari belum begitu menyengat kala itu, kami berjejer rapi berjalan dari parkir lapangan Renon ke arah gedung DPRD.
Karena jarang ikut demo tentu saja detak jantung saya berdentang kencang. Namun sedikit-demi sedikit rasa tegang jadi hilang karena nyanyian riuh lagu “Bali Tolak Reklamasi” oleh para pendemo mengiringi barisan. Meskipun ramai, suara dendang masa kala itu teratur karena gesekan gitar akustik, perkusi, dan seruling mengatur ritme suara. Alat-alat musik itu dimainkan puluhan musisi yang ikut berjalan kaki menuju kantor tempatnya wakil “rakyat” itu. Anak- anak Punk lengkap dengan aksesoris, dan bahkan beberapa diantara mereka berambut Mohawk berada dalam riunya suasana.
Lihat saja video ini untuk mendapatkan kesan aksi tersebut.
Gelagat Buruk
Akar persoalan aksi itu adalah rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 838 hektar oleh investor. Jelas-jelas Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 menyatakan Teluk Benoa sebagai bagian dari wilayah konservasi, namun pemimpin tertinggi provinsi ini justru melangkahinya. Gubernur menerbitkan Surat Keputusan izin kepada investor PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) untuk melakukan pengkajian apakah layak di wilayah konservasi tersebut direklamasi. Masyarakat mencium gelagat buruk mengapa gubernur begitu ngotot memberikan izin walau dengan melangkahi peraturan pemimpin tertinggi di republik ini. Dampak ekologis, dan ketakutan akan hilangnya mata pencaharian orang-orang di pesisir akibat efek abrasi setelah reklamasi merasuk dalam benak masyarakat. Rencananya di atas daratan buatan manusia itu akan dibangun tempat pelesiran mewah untuk wisatawan. Masuk akal masyarakat resah jika “istana wisata” tersebut akan mengambil air di Bali sebab air keran di rumah warga sering ngadat.
Aksi di gedung DPRD yang semerbak umpatan protes lewat orasi, nyanyian, puisi, dan teater itu bukanlah spontanitas, namun sebuah runutan. Sebelum aksi jalanan itu digelar, beberapa minggu sebelumnya telah muncul aksi “visual” berupa klip lagu yang tersebar lewat YouTube. Para seniman khususnya musisi lokal dari berbagai macam genre mulai dari Punk, Grunge, Folk, Regae, Hip-Hop, Metal dan berbagai macam aliran lainnya berkumpul. Mereka membuat klip lagu penolakan berjudul “Bali Tolak Reklamasi”.
Lagu ini menyebar lewat social media. Sampai saat ini clip ini sudah ditonton sebanyak 86.093 kali. Karena nada dan lirik lagunya enak dicerna telinga maka tidak pelak lagu ini menjadi hymne setiap aksi tolak reklamasi Teluk Benoa.
Berikut di bawah ini lirik lagunya:
Bali Tolak Reklamasi
Bangun Bali Subsisdi Petani,
Kita semua makan nasi, Bukannya butuh reklamasi,
keputusan bau konspirasi, penguasa-pengusaha bagi komisi, konservasi dikhianati,
Bangun Bali tolak reklamasi, sayang Bali tolak reklamasi, bangun Bali tolak dibohongi, rusak bumi dan anak negeri.
Kami lelah berkompromi dengan konspirasi,
Tanah kami butuh subsidi bukannya reklamasi,
yang diusik adalah wilayah konservasi,
Kami berdiri menolak untuk dibodohi,
Kami tidak membutuhkan mega proyek atau supermall,
yang kami butuhkan adalah keadilan sosial,
Kami berdiri di sini menolak reklamasi.
Klip tersebut bisa Anda nikmati di bawah.
Lagu ini bukanlah lirik filosofis dengan metafora yang buat jidat pening. Bukan juga bahasa puitis yang melambung tinggi tak menancap bumi. Tanpa banyak ba-bi-bu lirik lagu langsung menohok pada inti persoalan bahwa yang berbahaya dari kebijakan penguasa adalah “upaya reklamasi” dan “subsidi petani” adalah solusi terhadap persoalan di Bali.
Rayuan
Sangat masuk akal petani butuh dilindungi karena lahan pertanian di pulau yang terkenal dengan sawah menguning di postcard ini kian hari kian menipis. Mahalnya biaya perawatan sawah serta pupuk, apalagi gencarnya rayuan investor yang mengajak petani untuk lepas sawah, serbuan beras impor, ditambah sawah mengering karena mata air dikaveling hotel dan vila adalah sekian banyaknya persoalan hakiki dunia tani di Bali.
Musisi-musisi ini gerah dan marah lewat nyanyian. Disadari atau tidak mereka memberikan nuansa baru dalam dunia blantika musik di tanah air. Sejarah musisi dengan berbagai macam genre bernyanyi bersama di negara ini cenderung mendendangkan lagu-lagu bertemakan nasionalisme atau cinta negeri. Minim kritik vulgar terhadap kebijakan penguasa di negerinya sendiri. Memang ada lagu dengan lirik-lirik menohok kebijakan didendangkan oleh musisi-musisi dari berbagai genre pada zaman Orde Baru. Sosok-sosok itu adalah Iwan Fals, Sawung Jabo dan kawan-kawan yang bergabung membuat sebuah band bernama Kantata Takwa. Tapi di klip Bali Tolak Reklamasi musisi-musisi ini bukan bergabung dalam satu nama band, mereka adalah individu-individu yang berkumpul.
Konsep cinta negeri di era reformasi dan juga di era sebelumnya acapkali diromantisir oleh kapitalis-kapitalis lokal yang takut produk mereka tak laku jual karena digempur produk luar. Raja-raja bisnis lokal ini memelintir cinta negeri itu adalah cinta buta terhadap produk lokal agar bisnisnya aman walau buruhnya orang-orang lokal itu digaji tidak karuan, atau usahanya membuat kerusakan lingkungan di tanah airnya sendiri. Logika yang berusaha dipupuk adalah pengusaha luar yang jahat, pengusaha dalam negeri kebalikannya.
Penguasa juga menggunakan tema-tema heroik peperangan di era revolusi sebagai wujud cinta tanah air, sehingga membuat kita meyakini musuh itu berada di luar sana. Seolah-olah kebijakan pemerintah di negara-negara maju dalam hal ini “Barat” sebagai satu-satunya sumber persoalan di dalam negeri. Para musisi di klip Bali Tolak Reklamasi menunjukan cinta tanah air yaitu bukan cinta buta tanpa kritik. Bersuara mengkritisi orang-orang bertanah air sama yang menjadi aparatur negara atau pengusaha adalah bagian dari rasa cinta tanah air juga. Sebab kerakusan penguasa dan pengusaha dalam negeri juga bisa berdampak ganas sehingga patut diwaspadai dan ditegur. Persoalannya buka lagi “luar” atau “dalam” namun kerakusan dan kekuasaan entah siapa dan darimana orangnya.
Dampak dari bom di Kuta adalah menjamurnya kecurigaan-kecurigaan terhadap kehadiran penduduk pendatang sebagai pengganggu. Namun, justru kehadiran musisi-musisi di clip ini membantah kecurigaan itu. Beberapa musisi di klip ini adalah “penduduk pendatang” luar Bali. Seniman-seniman di klip ini juga melintas agama dan ras. Pemikiran etnosentris dan rasis yang menyatakan kepedulian terhadap suatu daerah hanya bisa muncul oleh orang-orang seetnis, seras, seagama dan sedaerah ternyata tidak benar. Pengganggu itu bukanlah “penduduk pendatang” melainkan seperti dalam lirik lagu di atas adalah “penguasa-penguasaha bagi komisi”. Justru ketika menyalahkan “penduduk pendatang” sebagai biang keonaran bisa mengaburkan akar masalahnya, yaitu kebijakan negara pro-pengusaha yang menyebabkan rakyat jadi melarat dan saling sikat.
Kalau kita lacak lagi secara kesejarahan, identitas pada dasarnya adalah campuran dari berbagai macam unsur budaya yang tidak mengenal keaslian ataupun otentisitas. Begitu juga identitas Bali terbentuk dari pengaruh Jawa, India, Cina, serta lokalitas ataupun globalisasi yang penuh dinamika dan selalu berproses.
Tergusur
Pariwisata Bali mengalami krisis ketika Bali diguncang dua kali aksi pemboman oleh para teroris. Tempat wisata yang terkenal di seantero dunia ini mendadak sepi wisatawan. Berembus kisah dari para elite politik, pemilik media, kalangan bisnis, serta para tokoh agama bahwa kejadian ini terjadi karena masyarakat Bali kurang waspada. Masyarakat Bali kurang awas sebab terlalu terlena dengan gemerlap kenyamanan akibat pariwisata. Masyarakat Bali yang lengah ini diharapkan sigap kembali untuk mengajegkan Bali dengan bersikap waspada terhadap penggangu dari “luar”.
Teroris dari luar Bali dijadikan tolok ukur mengapa kewaspadaan terhadap unsur “luar” ini penting. Katagori “luar” ini pun meluas bukan hanya waspada “orang luar” namun juga “budaya luar”. Dalam konteks waspada “orang luar”, penduduk luar Bali menjadi sasaran. Para pecalang bersama aparatur negara menggelar aksi sweeping KTP di kos-kosan hingga di pelabuhan. Sedangkan dalam konteks waspada “budaya luar” maka “budaya barat” menjadi sesuatu yang patut diwaspadai sebagai perusak kemurnian budaya Bali. Semenjak itu banjar-banjar memprioritaskan kegiatan bernuansa tradisi bagi anak muda seperti latihan gamelan, latihan tari menari, kegiatan kidung, rapat pemuda harus berpakian adat dan memobilisasi pemuda menjadi pecalang.
Kegiatan musik anak-anak Punk dan Metal yang dulu biasanya menggunakan bale banjar sebagai tempat pentas mulai tergusur. Kegiatan bermusik ini dianggap tidak mencerminkan kebudayaan Bali. Genderang tetabuhan tarian tradisonal yang muncul secara bergiliran dengan lengkingan gitar para musisi lokal di akhir tahun 90-an mulai hilang di panggung bale banjar. Bale banjar yang dulu lebih berdinamika, dan memberikan ruang terhadap seni modern dan tradisional untuk berada dalam satu panggung setahap demi setahap terpinggirkan. Muda-mudi penabuh drum yang biasanya juga pentas di banjar-banjar tergusur oleh muda-mudi penabuh kendang.
Situasi kewaspadaan berlebihan ini menjadikan kelompok anak-anak band tersebut layaknya “pengkhianat budaya”. Suara sayatan gitar talenta-talenta muda lokal akhirnya hanya terdengar di kafé, club, atau konser-konser yang disponsori perusahaan rokok, provider atau kendaraan bermotor. Suasana Banjar yang beragam menjadi seragam. Bangunan banjar dulunya ramping dengan saka-saka terbuka penanda ramah dengan angin perubahan, berubah bentuk dengan bangunan tembok kokoh pembatas serta gerbang banjar yang terkunci rapat.
Kehadiran banyak musisi di aksi tolak reklamasi ini adalah penanda bahwa kelompok muda-mudi yang dianggap “pengkhianat budaya” itu bukan sosok murtad atau degag tak menghormati warisan leluhur. Justru mereka kelompok muda-mudi yang acapkali dicap hedonis, suka pesta, atau tak tahu adat ini peduli kepada tanah air mereka, bahwa urug laut 838 hektar di Teluk Benoa itu membahayakan bagi alam dan anak cucu nanti. Tidak cukup dengan aksi visual lewat clip atau aksi turun ke jalan, mereka para musisi yang bergabung dalam Forum Bali Tolak Reklamasi (forBali) menggelar konser-konser mini sebagai ajang sosialisasi mengapa project ini penting ditolak.
Aksi Visual
Bukan hanya salut terhadap cara protes mereka yang damai dan kreatif, tetapi patut pula diacungkan jempol terhadap ketulusan mereka. Mungkin kata “tulus” sudah tidak dipercayai ada dalam kenyataan, namun jika menyimak di balik layar pembuatan klip tersebut maka kita akan melihat ketulusan adalah modal aksi visual tersebut. Studio, alat musik, kamera, dan computer sebagai peracik gambar semuanya dipersembahkan “gratis” oleh para musisi dan pihak-pihak yang peduli untuk pembuatan klip itu. Apalagi menyaksikan konser-konser yang digelar mereka maka kata “tulus” itu ada dan nyata berpijak di bumi. Semua musisi terlibat tak dibayar. Tempat hajatan didapat dari pihak-pihak yang peduli, dan sama sekali tidak dikenakan biaya sewa. Panitianya juga gratis. Penonton juga tidak dikenakan tiket.
Mencurigai ketulusan adalah akibat kuatnya logika kapitalistik di benak manusia modern. Logika ini mempercayai energi manusia muncul jika digerakan oleh uang, atau energi manusia itu keluar jika berposisi sebagai pegawai kantoran dan buruh sebuah perusahaan. Meyakini logika itu bisa melahirkan pemikiran sinis atau penyepelean, bahwa orang-orang yang mau mengeluarkan energi bukan di ruang kerja adalah kelompok penggangguran tak ada kerjaan. Namun jangan salah menilai para musisi yang terlibat dalam aksi tolak reklamasi ini. Group band semacam Superman Is Dead, Navicula, Nosstress, Geeksmile, The Hydrant, The Bull Head dan lain-lain adalah musisi tenar yang sering mengisi acara-acara musik di Bali ataupun di luar Bali.
Beberapa band yang terlibat punya tarif tertentu, dan rezeki hasil manggung mereka sudah bisa digunakan untuk biaya hidup. Mereka juga punya pekerjaan sampingan selain bermusik. Mungkin ada juga yang berpikir mereka para musisi ini berani mengambil risiko karena mereka anak muda sehingga masih bisa beridealis. Pandangan itu tidak sepenuhnya benar karena beberapa di antara mereka sudah berkeluarga. Suasana “ngayah” atau mengabdi ikhlas tanpa gaji yang sering terlihat di pura atau banjar saat warga mempersiapkan upacara sangat nampak pada aksi-aksi kampanye lewat konser mini ini.
Politisi-politisi busuk di pusat yang acapkali berupaya menipu rakyat lewat cuap-cuap indah, terksesan manusiawi dan seolah-olah peduli terhadap persoalan rakyat membuat kejujuran dan ketulusan itu dicurigai khalayak. Situasi krisis ketulusan ini diperparah oleh sikap kalangan akademisi yang dalil-dalil ilmiahnya ternyata jauh dari jujur sebab menyuarakan kepentingan para boss. Apalagi ada kasus LSM-LSM yang canggih buat proposal peduli rakyat namun faktanya tak memberikan solusi, ditambah media masa sebagai penyambung lidah rakyat ternyata tidak independen sebab manut kepada kepentingan pemilik media. Bukan berarti para seniman terkesan lebih tulus karena tidak sedikit pula seniman jual ketenaran untuk bisa berada di parlemen. Semua situasi yang terjalin berkelindan ini menciptakan sinisme akut sehingga aksi tolak reklamasi teluk Benoa dan aksi protes ketidakadilan lainnya diduga pesanan, bayaran atau tidak murni memperjuangkan rakyat.
Semua duga-duga itu adalah risiko dan tidak perlu diratapi dengan serius. Sejarah selalu mengajarkan penyesalan akan selalu datang belakangan. Setidaknya kelompok musisi dan segenap masyarakat yang menolak project besar reklamasi secara tulus akan tercatat dalam sejarah. Tentu saja jangan berharap tercatat dalam sejarah milik penguasa karena penguasa tidak akan mau menempatkan para penentang sebagai bagian dari sejarah, agar rakyat jinak dan tidak meniru para penyuara keadilan. Sejarah para penolak akan tercatat di memori orang-orang tercinta mereka bahwa apa yang mereka lakukan patut dibanggakan dan ditiru anak cucu agar menjadi manusia “tulus”, bukan mengabdi total kepada “fulus”.
Sikap mereka adalah contoh agar generasi penerus mau membagikan waktu dan energinya untuk penyelamatan masa depan demi berputarnya dunia ke arah yang lebih adil dan merata serta tidak dimonopoli segelintir para rakus. Dendang “lagu tolak reklamasi” sudah menyabar ke dalam memori, tidak heran lagu ini akan selalu menyayat telinga pihak pendukung reklamasi. Lagu ini bukan tersimpan di dalam museum atau buku yang mungkin bisa dilenyapkan dengan penghancuran atau pembakaran buku, namun lagu ini sudah menyebar dan tersimpan di dalam memori khalayak maka jangan heran sensor apapun tidak akan bisa meredam letupannya. [b]
Foto-foto dari ForBali.
Mantap joon de putra, setubuh.. hahaa
Om swastyastu, kami generasi muda Bali akan terus melawan penguasa, yang hanya menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan satu pihak tersebut yg memicu kepada kerugian untuk kelangsungan generasi mendatang,,sebab jabatan yang bapak kenakan hanya berlaku senentara saja, pesan kami kepada para penguasa yang terlibat dalam aksi pengurugan teluk Benoa agar turunlah ke krame adat Bali, mari bermusyawarah secara Bali..
terimakasih,,
SEKALI TOLAK REKLAMASI TETAPPPP TOLAK