Teks Luh De Suriyani, Foto Blog Baliwww
Minggu akhir Juli lalu, bulan purnama yang terlihat samar diselimuti awan mengantar jenazah Ni Ketut Cenik, sang maestro tari berusia sekitar 90 tahun itu ke liang lahat. Cenik meminta diistirahatkan di ibu pertiwi untuk beberapa tahun sebelum dikremasi.
Sekitar 30 orang anak, cucu dan kerabat dekat berjalan menyusuri jalanan dari rumah sampai setra yang berjarak sekitar 200 meter. Di barisan terdepan, ada cucu perempuannya, Ni Made Pasti membawa Sanggah Urip, simbol arwah Cenik. Ni Made Pasti, yang juga penari didikan Cenik ini menggenggam erat Sanggah Urip yang terbalut kain putih kuning itu.
“Saya akan terus menari, itu adalah kebanggan sampai mati,” ujarnya tersenyum sambil setengah berlari membawa rangkaian janur itu yang bak pelita ketika cahaya matahari berangsur temaram. Made Pasti mengenakan pakaian merah menyala dipadu lilitan kamen seadanya. Ia memilih menggunakan pakaian terang bukan gelap seperti yang lainnya. Wajahnya pun terlihat penuh semangat.
Tak ada suara gamelan. Hanya suara derap kaki menyusuri jalan setapak. Banjar Pekandelan di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar ini tiba-tiba menjadi sunyi saat iringan jenazah dalam keranda bambu dibawa dengan tergesa. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang keluar rumah melihat iringan ini.
Tiba di setra desa yang teduh, tubuh Cenik yang terbungkus kain kafan secara perlahan diturunkan di lubang dengan kedalaman sekitar satu meter itu. Sebuah kalung manik-manik, salah satu aksesoris kesukaan Cenik diletakkan di atas tubuhnya.
Bulan bulat penuh dan kesunyian menghantar doa-doa dan salam terakhir anak-anak serta cucunya. Hanya ada puluhan orang yang menyertai. Warga dilarang mengikuti prosesi nyulubin atau menguburkan diam-diam ini karena keesokan hari adalah piodalan Bulan Purnama.
Ada keyakinan umat Hindu di Bali, jika ada kematian jelang piodalan, maka harus dilakukan tanpa keramaian. Pada Selasa, baru warga banjar bisa datang ke setra untuk ritual penghormatan ulang di Banjar Pekandelan,
Pun demikian, dalam keheningan, para kerabat menghantar Cenik ke peristirahatan terakhirnya dengan hati lapang. Tak nampak kemurungan dan sedu sedan.
Ni Cenik atau Men Cenik, panggilannya meninggal pada Sabtu malam (23/7) dengan senyum. Menurut keluarga, Cenik meninggal karena sakit jantung. Beberapa hari sebelum dirawat, Ia baru merasakan sesak dan akhirnya dirawat di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
“Tubuhnya bersih. Sebelum meninggal tidak lupa ngagem seperti menari,” ujar I Nyoman Budi Artha, cucu lelaki sambil tertawa pada beberapa kerabat saat memandikan jenazah Cenik di bale-bale rumahnya. Proesi jelang penguburan terlihat sangat hangat, ditingkahi lelucon kecil mengingat kebiasaan-kebiasaan Cenik. Tak ada wajah murung.
Belasan anak, cucu, serta warga generasi baru penari yang dilahirkan Cenik ini agaknya telah siap membawa taksu warisan kekal dadong kelahiran 1920 ini. “Meme hanya meminta waktu kita 13 hari saja menemani di rumah sakit,” ujar I Made Djimat, anak ke dua pasangan Cenik-Reneh ini. Sebelumnya Cenik tak pernah menunjukkan sakit parah. Karena kelapangan hati Ni Cenik itu pula, keluarga merasa tak ada beban melepas kepergiannya.
Djimat mengatakan Cenik masih selalu muncul menari di panggung di sanggar milik keluarga yang dibangun persis di depan rumahnya. Pondok Kodok, demikian ruang berkesenian itu disebut, penuh turis dua kali sebulan. Tiap tanggal 1 dan 15.
“Terakhir meme menari tiga tarian kesayangannya, Joged Pingitan, Arja, dan Legong,” sebut Djimat. Ratu panggung itu selalu ditemani belasan anak, cucu, dan muridnya saat mentas.
Djimat mengatakan panggung itu tak akan sepi sepeninggal Cenik. “Menari sudah menjadi hidup kami semua di sini,” tegasnya.
Ida Oka Granoka, seniman dan pendiri Sanggar Bajra Sandhi yang turut menghantar Cenik pun mengatakan tak khawatir sepeninggal Cenik, generasi penari Batuan akan hilang. “Tiap generasi memunculkan tokohnya sendiri. Cenik pun demikian dahulu, dari nol. Seorang perempuan desa biasa yang sangat mencintai tari dan menari,” kata seniman asal Budakeling, Karangasem ini.
Granoka mengajak seluruh anak dan istrinya yang juga keluarga penari ini mengiringi Cenik. Para generasi seniman baru Bali ini tak ingin kehilangan momen terakhir melihat wajah penari yang tak pernah berhenti membagi ilmu ini. Hingga akhir hayatnya, Cenik masih tercatat sebagai pengajar tari di Agung Rai Museum of Art di Ubud, dan di Hotel Tugu.
Sejak 1977, Cenik membesarkan anaknya sendiri setelah Reneh meninggal karena sakit. Cenik lahir di Batuan dan mulai belajar menari sejak masa kanak-kanak. Maestro ini melalui proses panjang pembelajaran tari pada sejumlah seniman seperti I Wayan Kuir dan Anak Agung Mandra Ukiran.
Lalu, Ia mulai menemukan taksunya sebagai penari karena terus menjadikan tarian bahasa kesehariannya. Pun ketika mendidik anak. “Menjelang dirawat, Ia masih bisa menantang saya menari bersama,” Budi Artha tertawa. [b]
Maestro Penari itu pun Pergi – BaleBengong.id
hxrxxhonk http://www.g56m9co9b6q838sjc85a2jx8oya416y3s.org/
ahxrxxhonk
[url=http://www.g56m9co9b6q838sjc85a2jx8oya416y3s.org/]uhxrxxhonk[/url]