Perjalanan di Catur Desa Adat Dalem Tamblingan ini meliputi Desa Munduk, Gesing, Gobleg, dan Umajero. Keempatnya memiliki karakteristik dan keunikan yang tak bisa dieksplorasi cuma satu hari. Minimal empat hari untuk mengenal hal-hal baru termasuk perjuangan politis-ekologis mereka saat ini.
Inilah serpihan perjalanan yang diperkenalkan Jaringan Ekowisata Desa (JED) pada 29-30 April 2021. Dalam dua hari sudah bisa mengumpulkan 10 hal unik, apalagi empat hari atau seminggu, kan.
1. Akses hutan adat
Warga Catur Desa yang terhimpun dalam Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (ADT) ini ternyata sedang berjuang selama beberapa tahun ini mengakses hutan adat di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Tamblingan saat ini yang dikelola negara. Kalau pernah berkunjung ke Danau Tamblingan, pasti bisa merasakan sisa hutan yang mengelilingi danau kan?
Kami berjumpa Ida Dane Pengerajeg Dalem Tamblingan, pimpinan Catur Desa ADT yang sangat ramah dan rendah hati. Ia mengatakan menurut mereka hendak melindungi Alas Merta Jati, nama yang disematkan warga adat pada hutan kawasan Tamblingan yang artinya kebahagiaan sejati. Kalau hutan masih lestari, maka kebahagiaan sebenarnya datang. Uhm, bener juga ya.
Selain membuat struktur perlindungan hutan tradisional seperti menega, Catur Desa ADT juga sudah membangun konsep jaga alam melalu tata ruang. Misal pemukiman diatur di tempat miring yang kurang subur. “Saat Covid, kita di gunung masih bisa bernafas dan lihat hijaunya daun. Sangat bermanfaat mempertahankan alam ini,” ingat Ida Pengrajeg. Pernyataan rendah hati yang paling masuk di hati.
2. Tur hutan lestari berbasis tradisi
Mahluk apakah hutan lestari berbasis tradisi? Yang jelas kami trekking sekitar 2,5 jam di Alas Merta Jati tanpa rasa lelah sedikit pun. Bahkan dalam grup yang mengelilingi danau dari sisi Utara ke Timur ini, tak ada yang minta break. Grup lain memilih trekking di hutan mengelilingi danau dari sisi selatan ke timur. Titik pertemuan dua grup ini di Pura Dalem Tamblingan yang asri di samping danau.
Selama perjalanan, pemandu dari desa menunjukkan jenis pohon dan kegunaannya oleh warga. Ada beberapa jalur trekking yang terlihat di tengah hutan, karena itu lebih aman memanfaatkan pemandu yang dengan mudah diakses di pos, samping jalan raya utama.
Hutan lebat di masa lalu ini kini mulai terancam degradasi karena sejumlah satwa sudah tak nampak seperti rusa. Anggrek hutan endemik juga sudah sangat sulit ditemui. Bahkan saat trekking ada bekas penebangan pohon.
Titik akhir adalah panorama danau dan deretan perahu tradisional yang akan mengajak berkeliling mengayuh di tengah danau. Wuah, meteran energi yang menipis jadi naik lagi secara drastis. Air memang elemen ajaib. Setelah di rumah barulah kaki pegel-pegel. Hehe…
3. Menu lumer di hati dan mulut
Sesi makan adalah yang paling ditunggu-tunggu. Catur Desa ini bak food bank. Kekayaan isi kebun dan olahan antik, tapi enak.
Jawaranya adalah Bandut, romansa ikan teri kecil dan kelapa muda dibungkus daun kesisi yang lembut. Ada juga Pecakan, gule batang kecombrang berkawan ayam suwir. Yum….
Lawar klungah, batok kelapa muda dengan bunga kelapa/toktokan, menghasilkan kerenyahan ganda.
Aneka ragam sayurnya juga enak menyehatkan. Urab kelongkang dan daun ubi, kelongkang, jelengot, dan daun anti. Ada juga tumis batang keladi yang lembut, teksturnya seperti terong bakar.
Olahan lain adalah lawar don belimbing, urap paku, jukut balung, biji duren goreng, sambel bongkot.
Jangan lupa menyesap timbungan, seperti sup dari daun ketela, asam, dan cincangan daging. Segar dan wangi. Sayuran khas lain adalah jejeruk dari buah pepaya muda dan daun belimbing. Oh, rindu sekali pada menu-menu ini.
4. Snack attack
Catur desa ini punya oleh-oleh khas, yakni keladi suna cekuh (bawang putih dan kencur), keripik keladi, dan keripik pisang. Talas sangat mudah tumbuh di desa-desa kawasan perbukitan ini. Ada juga sabun natural dari angkak madu dan beras merah yang difermentasi.
5. Perahu tradisional
Catur Desa ADT ini mengayomi kelompok warga yang turun temurun menjaga danau, disebut menega. Mereka juga yang melayani warga yang hendak menyeberang danau ke sejumlah pura-pura pinggi danau atau sekadar rekreasi.
Nama perahunya Pedau, aslinya dari kayu yang baru bisa dipanen ketika berusia 80-100 tahun. Untuk melindungi pohon ini, warga memutuskan menggunakan fiber untuk Pedau. Kayu bahan asli Pedau adalah pohon leunguung, kini tak boleh lagi ditebang. Dulu, kalau ditebang, warga harus tanam bibit sebagai pengganti.
6. Kopi Blue Tamblingan
Ini merk kopi yang sudah dipatenkan Putu Ardana dan rekannya. Ia mengatakan berani beli biji kopi Rp10 ribu/kg, syaratnya merah dan perlakuan organik. Dari pada petani jual ke pasaran petik campur Rp4500. Hasil petik merah menurtnya malah bisa lebih berat dua kali lipat dari petik hijau karena bijinya lebih besar dan berat. Ia mengolah dengan natural process, bikin masih dengan kulitnya dijemur, pulping, lalu sortasi sesuai ukuran.
“Pemasarannya baru pertemanan, lebih banyak dipesan dari luar Bali,” kata Ardana. Disebut blue karena limited edition, jumlahnya terbatas. Aneka kopi arabika Tamblingan ini bisa dicoba setiap saat di rumah yang juga penginapannya. Don Biyu, Desa Munduk. Menyesap kopi Tamblingan dengan panorma deretan gunung, wah, megah.
7. Pro-Kon Kebun Bunga
Hamparan kebun bunga pecah seribu atau hydrangea ini memang indah dipandang mata, namun berisiko jika memenuhi lahan dengan kemiringan dan sumber air. Ladang bunga berwarna biru ini nampak dominan di Tamblingan karena lebih mudah dan cepat menghasilkan uang.
Ladang bunga ini mengganti sebagian kebun kopi yang bisa menjaga air dalam tanah dan pepohonan besar. Apalagi kalau bertanam bunga dengan input pupuk kimia dan pestisida kimiawi. Kualitas air menurun dan tangkapan air berkurang. Risikonya longsor. Warga sedang berupaya mengurangi dampak buruknya dengan nilai komoditas kopi yang bisa bersanding dengan tanaman besar dan tinggi sebagai penaung.
8. Pesanggarahan kolonial dan persinggahan sastawan
Kenapa banyak akomodasi keren di Munduk? Ketika kolonial Belanda masuk dari utara melalui Pelabuhan Buleleng, mereka mencari pesanggrahan dengan cuaca sejuk. Apalagi setelah Singaraja jadi ibukota Sunda Ketjil. Lokasi yang cocok untuk daerah dingin adalah Munduk.
Rabindranath Tagore juga disebut pernah menginap di salah satu penginapan di Munduk. Namun perlu ditelusuri lagi jejaknya.
9. Kerajaan lateng
Kalau sudah mengenal lateng, tanaman dengan bulu halus yang membuat gatal ini, kebencian kita bisa berkurang. Itulah yang terbukti usai trekking dalam hutan Alas Merta Jati.
Sedikitnya ada enam jenis lateng yang bisa ditemui. Lateng kidang, ngiu, kau, siap, siatan, dan kenyur. Dari ukuran mata setinggi mata kaki sampai menjulang tinggi. Bahkan ada pohon lateng besarnya seperti pohon beringin.
Lateng bisa disebut pelindung alami hutan karena mencegah orang untuk merangsek seenaknya, mematuhi jalur trekking, dan kemampuannya menjaga air. Sehingga permukaan tanah tetap subur.
10. Patus, geng chef desa yang siap siaga
Di Desa Umejero ada kelompok patus, chef laki-laki yang bertanggung jawab pada kegiatan masak memasak untuk kegiatan bersama. Termasuk upacara adat.
Warga meyakini patus adalah sekolah yang tak terlembagakan. Para koki belajar dari pengalaman berjenjang untuk mengolah bumbu dan makanan. Sistem ketahanan pangan tradisional karena mereka diminta mampu mengolah isi kebun, pangan lokal hasil tanah sendiri.
—-
Sampai akhir April 2021 ini, skema masyarakat hukum adat yang diajukan warga Catur Desa Adat Dalem Tamblingan untuk mengelola hutan belum dipenuhi Pemkab Buleleng. Ardana, Ketua Tim 9 yang mengkoordinir proses ini mencontohkan belum keluarnya SK Bupati yang menyatakan mereka ada. Walau secara formal sering diundang dalam berbagai kegiatan oleh pemerintah. Alasannya, nomenklatur masyarakat hukum adat tidak ada di Perda Desa Adat.
Namun, masyarakat Adat Dalem Tamblingan ini tak berdiam diri. Warga juga sudah merampungkan peta hutan dan memetakan keragaman hayatinya. Merancang model pengelolaan hutan belajar lestari dan menyiapkan generasi penerus pelindung Alas Merta Jati lewat kelompok-kelompok muda. Merekalah yang jadi pemandu perjalanan ini menelusuri empat desa yang banyak memberi pembelajaran merdesa dari desa. Semoga lahir kolaborasi adat dan negara yang melestarikan sepotong hutan tersisa di kawasan ini.