Oleh Luh De Suriyani
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Denpasar kini masih berjuang mengurangi penyebaran HIV di penjara dan meningkatkan program pemulihan ketergantungan narkoba penghuninya. Sejumlah narapidana warga asing juga mengikuti terapi pemulihan kecanduan narkoba di Lapas. Masalahnya Lapas Denpasar kini makin overload. Lapas Denpasar berkapasitas 326 orang, namun pada Juni 2008 kini terisi 914 orang. Hampir tiga kali lipat dari kapasitas sebenarnya.
Hal ini disampaikan Dokter Anak Agung Gde Hartawan, Kepala Klinik Lapas saat menerima kunjungan belajar pemerintah Myanmar yang bergerak di bidang penanggulangan HIV dan AIDS, Selasa (9/9) kemarin. Delegasi Myanmar ini terdiri dari 17 orang yang mengikuti program study tour di Indonesia untuk program penanggulangan HIV dan AIDS, berlangsung dari tanggal 31 Agustus – 6 September ini.
Sejumlah pejabat kesehatan, kementerian sosial, dan kepolisian badan anti narkoba Myanmar ini juga mengalami masalah yang besar dalam peredaran dan ketergantungan narkoba di negaranya. “Kami punya banyak tempat singgah (shelter) bagi pecandu tapi kesulitan berkoordinasi untuk program pemulihan intensif,” kata Pol. Brig. General Zaw Win, Deputy Director General Myanmar Police Force.
Narapidana dan tahanan yang masuk Lapas adalah sebagiannya karena kasus narkoba yakni sebanyak 43%. Sisanya pencurian dan kasus kriminal lain.
Kasus narkoba ini meliputi pengguna dan pengedar, yang masih sulit dipisahkan ruang pemasyarakatannya. “Idealnya untuk pengguna dan pengedar dipisahkan,” kata Dokter Hartawan. Karena itu program pemulihan ketergantungan narkoba kini makin diintensifkan.
Dua warga asing yang mengikuti terapi methadone di Lapas di antaranya warga Australia. Karena alasan keluarga, nama kedua terpidana itu tidak bisa dipublikasikan. Dua pemuda ini dipidana mati dan lainnya dihukum seumur hidup. Methadone adalah zat cair heroin sintetis yang diberikan secara oral pada pecandu heroin untuk menghentikan orang memakai narkoba dengan cara disuntik.
Pengguna narkoba dengan suntikan atau injecting drugs user adalah kelompok paling beresiko terinfeksi HIV karena kebiasannya bertukar-tukar jarum antar pemakai. Program terapi methadone ini juga berhasil sebagai terapi pemulihan ketergantungan heroin. Methadone juga kini disediakan di beberapa Puskesmas di Bali, salah satunya Puskesmas Kuta.
Salah satu pemuda Australia yang dipidana mati dalam testimoninya pada Dokter Hartawan mengatakan program ini sangat bermanfaat bagi penghuni penjara karena pecandu akut sangat sulit untuk berhenti memakai heroin. “Saya telah dihukum mati dan saya sangat stress. Tapi sejalan dengan waktu saya bisa dibilang cukup sukses menjalani program pemulihan ini. Setidaknya saya mulai bisa berolahraga dan membaca,” ungkapnya.
Selain warga Australia, ada beberapa terpidana warga asing lain yang juga mengikuti terapi methadone. Di antaranya warga negara Swiss, Australia, dan Inggris. Saat ini mereka bagian dari 29 narapidana lain yang menjadi peserta terapi methadone di Lapas terbesar di Bali ini.
Selain terapi methadone, pasiennya juga diminta mengikuti program pemulihan lain di Lapas. Misalnya terapi spiritual dan support group. Terapi spiritual ini di antaranya yoga atau meditasi. Sementara support group dengan narkotic anonymous dan diskusi kelompok.
Program penanggulangan HIV dan AIDS yang mulai dilakukan secara intensif pada 2004 di Lapas Denpasar kini mulai menunjukkan kemajuannya. Mulai banyak narapidana yang terbuka untuk mengikuti tes HIV, mencari pengobatan, dan terlibat dalam program pencegahan HIV di Lapas. “Yang terpenting kepemimpinan dalam Lapas dan komitmennya untuk terus melanjutkan program,” kata Dokter Hartawan.
Berani mengakui bahwa ada masalah kesehatan seperti HIV dan ketergantungan narkoba di Lapas menurut Hartawan adalah kunci dari program ini. “Kita jangan sembunyikan, tapi hadapi dengan memberikan pengobatan dan terapi yang layak,” pinta Dokter Hartawan yang telah menjadi petugas kesehatan di Lapas Denpasar 11 tahun ini. [b]