Vision Image Festival adalah festival imaji internasional yang diadakan di Bali pada bulan Oktober 2013.
Festival yang beragendakan pameran, workshop dan seminar ini akan tersebar di berbagai ruang kreatif dan ruang publik yang dinamis di Denpasar, Badung, dan Nusa Dua.
Vision Image yang pelaksanaan waktunya bertepatan dengan penyelenggaraan APEC CEO Summit Indonesia 2013 (5-7 Oktober 2013) mempunyai visi mempertemukan para fotografer, seniman, kreator imagi, kritikus seni, budayawan, industri dan publik luas untuk memantapkan Indonesia pada posisi strategisnya sebagai ranah kreativitas unggulan serta Asia-Pasifik sebagai komunitas yang dinamis. Vision Image Festival bertujuan menjadi stimulus interaksi dan kolaborasi energi artistik, estetika dan budaya antara bangsa, khususnya seniman dari 21 negara peserta APEC CEO Summit 2013.
Vision Image Festival mempunyai misi khusus untuk memberi akses dan inspirasi bagi para fotografer dan seniman muda Indonesia untuk menyampaikan wacana kelautan dan maritim yang penting kepada publik.
Vision Image Festival Indonesia ini digagas oleh Prabhoto Satrio bersama Oscar Motuloh dan digarap secara kolektif oleh Veda Santiaji, Arief Budiman dan Marlowe Bandem, masing-masing membawa sentuhan-sentuhan unik dalam perumusan Vision International Image Festival.
Tema dan lingkup acara
Pada masa embrio ini, tema Vision Image Festival adalah “Angasraya: Arus Kebebasan dari Samudera”, sebuah pemaknaan tulus akan “realm of influence” dan pembacaan ulang atas “kebebasan” dari kebudayaan bahari dunia, termasuk pula identitas, konektivitas, keberlanjutan dan kontribusi peradaban maritim Nusantara yang legendaris.
Sejarah mencatat bahwa laut dan samudra luas adalah “final frontier of exploration” bertabur penemuan penting dan hikayat bernuansa ajaib, legendaris yang hingga kini masih menyisakan misteri bagi para ‘petualang’ dunia baru untuk memahami rahasia di rahim semesta samudra.
Mengacu pada fakta bahwa tubuh (mikro) dan dunia (makro) didominasi komposisi cairan yang sama presentasenya, benang merah ketergantungan antara mahluk hidup dengan alam, saling berpengaruh, kekalutan di jagad raya akan mempengaruhi intensitas ketegangan dalam tubuh mahluk hidupnya, demikian pula sebaliknya. Harmoni pun lahir bilamana alam, terutama laut diperlakukan dengan penuh kasih, pengertian dan penghormatan.
Konsepsi Angasraya nampaknya belum digali secara mendalam. Sekelumit catatan sejarah menghubungkan terminologi ‘angasraya’ sebagai sebuah sikap kebebasan, kebersamaan emosional, untuk mencintai dan menjadi bangsa maritim pada jaman kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau.
Bila diperhatikan, ‘angasraya’ yang berasal dari bahasa Sansekerta bisa bermakna sebagai angga: tubuh dan seraya: perjalanan atau petualangan, yang bisa dimaknai sebagai sebuah kebebasan dan keyakinan dalam mengarungi kehidupan, keberanian menjelajahi lautan raya yang melingkupi gugusan pulau sepanjang khatulistiwa Nusantara dan juga dunia (Indonesia and beyond).
Pengucapan ‘angasraya’ sebagai sebuah kepribadian, karakter Manusia Indonesia mesti dirangsang dan disuarakan lantang dengan berbagai cara, salah satunya dari dimensi berkesenian demi pengayaan kontribusi bangsa Indonesia kepada dunia yang diharapkan diwujudkan melalui festival ini.
Reinterpretasi peradaban maritim tersebut mesti dilakukan, terutama dalam kaitan laut sebagai batas pemersatu dan kondisi dinamik bangsa yang berdasar pada keuletan dan ketangguhan dalam mengembangkan kekuatan nasional dalam mengarungi perubahan jaman. Dinamika globalisasi dan kenyataan ‘over-lapping cultures” pun merangsang lahirnya paradigma baru akan dimensi laut sebagai perekat bangsa-bangsa dunia yaitu dari “contest to collaboration” – dari persaingan menjadi persahabatan, bahwa ‘angasraya’ bukan konsepsi yang rigid, beku serta statis melainkan dinamis dan berkembang.
Program acara
Diharapkan bahwa “Angasraya: Arus Kebebasan dari Samudera” ini melahirkan dan menghadirkan karya-karya visual yang tak hanya original secara konsep dan penyampaian, namun juga menunjukkan capaian teknis yang mumpuni dan menghadirkan aura/semangat pembaharuan dalam berkesenian. Secara keseluruhan pameran ini diharapkan mencerahkan sebuah pengalaman multi-dimensi akan kehidupan bahari dan peran penting dari laut bagi semua mahluk hidup.
Setelah diluncurkan dan diperkenalkan kepada publik pada bulan Mei ini, selanjutnya Vision International Image Festival akan memiliki serangkaian aktivitas pra event berupa workshop fotografi dan pameran.
Pada puncak acara di bulan Oktober, karya yang dipamerkan pada Vision International Image Festival merupakan karya-karya terbaik dari fotografer yang mewakili 21 negara Asia-Pasifik, fotografer Indonesia, fotografer muda dan komunitas fotografi yang diseleksi melalui kuratorial oleh Barbara Stauss, seorang foto editor dan curator dari Berlin dan Oscar Motuloh, curator Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Selain melibatkan fotografer Indonesia dan Negara Asia Fasifik, dalam acara ini akan ditampilkan film-film pendek dengan tema bahari serta kolaborasi kreatif yang melibatkan arsitek, desainer, musisi, penari untuk menjadi program acara yang dapat dinikmati public sebagai hiburan, pembelajaran dan apresiasi mulai tanggal 1-21 Oktober 2013.
Kurator
Barbara Stauss
Tahun 1996 Barbara Stauss menjadi salah satu pendiri Mare – Die Zeitschrift der Meere, sebuah majalah bertemakan kelautan yang didedikasikan untuk esai foto dan reportase gambar klasik. Sejak saat itu, Stauss menjadi image director di Mare, bertanggungjawab untuk konsep fotografi dan narasi visual. Tahun 2010 Stauss menyelenggarakan peluncuran kembali buku foto tahunan Reporters Without Border edisi Jerman, dan kemudian menjadi project manager dalam organisasi tersebut.
Selain kegiatan editorial, Stauss juga mengurasi pameran foto dan mengajar di seminar-seminar mengenai photo editing. Dia juga menjadi pengajar di lokakarya World Press Photo di Sri Lanka tahun 2003, menjadi master untuk World Press Photo tahun 2006, 2007 dan tahun 2008 dalam Joop Swart Masterclasses.
Oscar Motuloh
Oscar menyelesaikan pendidikan fotojurnalistik di Hanoi pada tahun 1991 dan Tokyo tahun 1993. Dia juga telah menerbitkan beberapa buku fotografi yang memuat karya foto terbaiknya.
Saat ini Oscar terlibat aktif dalam pendidikan seni, mengajar fotojurnalistik di Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Sekolah Jurnalistik Antara. Tahun 1992 dia mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara, yang merupakan satu-satunya di Asia Tenggara.
Selain menjadi Direktur untuk Agensi Berita Foto Antara, Oscar seringkali diminta untuk menjadi juri dalam berbagai kesempatan lomba foto dan menjadi kurator di beberapa pameran di seluruh Indonesia. [b]
Foto dari Wikimedia.com.