Oleh Luh De Suriyani
Suasana panas dari orasi-orasi rakyat, didinginkan oleh Republik Mimpi, negara tetangga Indonesia yang eksis di televisi. Jarwo Kuat, Wakil Presiden Republik Mimpi datang bersama sejumlah koleganya Megakarti, Gus Pur, Suharta, dan Habudi.
Para pejabat Republik Mimpi itu menggelar konferensi perubahan iklim versinya sendiri bersama koaliasi masyarakat sipil. Para pejabat republik mimpi ternyata lebih cerdas membumikan istilah-istilah teknis yang dibicarakan di sidang PBB untuk perubahan iklim itu.
Misalnya soal skema pengurangan emisi dengan cara degradasi dan deforestasi atau REDD. Skema yang ditolak oleh koalisi masyarakat dalam rembug rakyat ini menurut Habudi (plesetan BJ Habibie) adalah red devil atau kebijakan yang dibuat setan (devil).
Effendi Ghazali, penasehat Republik Mimpi mengatakan perdagangan karbon cenderung memfungsikan hutan sebagai penyimpan karbon. Padahal, hutam memiliki banyak fungsi seperti penyangga ekosisitem, pelindung masyarakat adat daerah hutan, dan lainnya. Perdagangan hutan malah akan mengancam kesejahteraan masyarakat.
Karena itu Republik Mimpi dan masyarakat sipil dalam rembug ini sepakat bahwa keadilan iklim (climate justice) lebih penting dari pada pemanasan global (global warming) yang malah dijadikan komoditas perdagangan baru di UNFCCC.
Dalam UNFCCC ala Republik Mimpi di rembug rakyat ini sejumlah komunitas juga berebutan meceritakan kerusakan lingkungan di daerahnya masing-masing. Misalnya komunitas perempuan Jawa Barat yang menolak pembangunan incenerator, mesin pengolah limbah yang tidak ramah lingkungan di Bandung.
Panji Tisna dari Bali mengharapkan bumi dapat diistirahatkan sehari dengan Nyepi internasional (silent day). “Ini upaya nyata untuk mengurangi emisi dengan kearifan lokal,” katanya. Semua harapan ini diminta masyarakat untuk disampaikan ke pemerintah negara tetangganya, Indonesia. “Kalau tidak didengarkan, kita bisa memutuskan hubungan dengan negara tetangga kita,” sahut Wapres Republik Mimpi, Jarwo Kuwat