Oleh Swastinah Atmodjo
Gek Tu, siswi salah satu SLTP Negeri di Denpasar begitu tinggi semangat belajarnya, terlebih ketika mempersiapkan diri menghadapi Ujian Akhi Nasional (UAN), 5 – 8 Mei 2008 ini. Ia rela berjam-jam mengurung diri di kamar untuk membaca, menghafal dan mengerjakan contoh soal dari mata pejalaran yang akan diujikan. Gadis kecil ini pun rajin bangun dini hari dan nyaris tidak menonton televisi.
Sehari menjelang ujian, raut mukanya tampak serius. Keceriaan seolah sirna dari dirinya. Apalagi saat berpapasan dengannya ketika akan diantar ke sekolah, terlihat semakin tegang.
Tapi aneh, siang hari sepulang sekolah semuanya berubah. Ia begitu rileks, banyak senyum dan menyempatkan diri bermain dengan adik-adiknya.
”Ia pasti sudah terkena virus bocoran seperti diceritakan seorang guru SLTP di Denpasar beberapa hari lalu,” pikirku. Dan prasangka tersebut kian kuat karena hari berikutnya Gek semakin santai. Namun aku masih menyimpan tanya tersebut, hingga di hari ketiga semuanya termuntahkan.
”Gimana Gek, susah tidak ujiannya? Mendapat kunci jawaban via SMS atau lembaran kertas? Gurunya langsung memberikannya ke kalian atau informasi berantai antara murid? Kira-kira benar semua tidak kunci jawaban itu? Kamu menjawab sesuai kunci jawaban itu persis atau ada yang beda? Kamu pasti tidak tegang lagi ya biarpun ujian belum kelar? Wah, semakin optimis juga ya bisa lolos dan akan mendapat nilai baik?…,” tanyaku mengalir tanpa menunggu jawabannya.
”Hehe, kok tahu?,” cetusnya. Ia pun akhirnya buka kartu. ”Terima lewat SMS dari teman, lalu pada dicatat di kertas. Tidak tahu pasti siapa sumbernya, tapi katanya sih guru. Guru siapa dari sekolah mana saya kurang tahu,” urainya mencoba memotong informasi.
Ia menambahkan, ”Tapi tidak semuanya benar, setidaknya menurut saya. Saya sih berusaha mengerjakan sendiri semua dulu. Baru kalau buntu, terpaksa lihat kunci jawaban itu walaupun kurang yakin.”
Begitulah gambaran anak sekolah sekarang, mentalnya dihancurkan oleh sistem yang menginginkan prestise semata. Sekolah tidak mau namanya hancur gara-gara banyak siswanya tak lulus ujian. Sikap sama dimiliki pimpinan rayon dan bahkan instansi pendidikan di kabupaten/kota dan bahkan provinsi. Masing-masing menjaga gengsi dengan mengorbankan generasi penerusnya.
”Tahun lalu juga begitu, makanya saya juga bingung mau nurut sama keinginan sekolah atau hati nurani. Pendeknya surga atau neraka-lah,” kata seorang teman yang menjadi guru SLTP.
Dua hari sebelum UAN, lanjutnya, ”Kami diajak rapat oleh Kepala Sekolah. Saya sudah menghindar tidak datang dengan suatu alasan. Namun undangan rapat susulan di hari berikutnya disampaikan lagi lewat telepon dan sms. Intinya ya menegaskan lagi kepada guru-guru yang bertugas menjadi pengawas ujian di sekolah lain untuk mengerjakan soal-soal lalu meneruskan jawabannya untuk murid-murid. Karena yang berkesempatan untuk tahu lembar soal ya yang tugas jaga diluar. Kalau di sekolah sendiri malah tidak bisa.”
Menurutnya, kasus yang mencuat di televisi tentang guru atau kepala sekolah yang membocorkan soal ujian sebenarnya tidak mengagetkan. ”Itu hanya apes saja, karena semua begitu kok,” tegasnya.
”Mau jadi apa nanti adik-adik kita. Saya misalnya, sudah susah-susah meluangkan waktu memberi tambahan jam belajar atau les, eh juga harus yang menjawab juga soalnya. Lha ini yang sekolah kok malah gurunya.”
Menurut sumber lain, hal serupa bukan saja terjadi untuk UAN SLTP melainkan juga SLTA. Bahkan dikabarkan memakai joki segala. Anehnya, biar pengawasnya tahu ya tetap membiarkan saja.
Si sumber ini mengatakan, ”Saya sempat merasa curiga dengan seorang siswa, cowok, sedikit-sedikit membuka tisu, pura-pura untuk mengelap mukanya, lalu ditutup dan masuk ke kantongnya lagi. Kuperhatikan terus hingga akhirnya kutahu di tisu itu tertulis kunci jawaban. Ya aneh toh, cowok ber-tisu ria. Sudah pasti lah, ada yang menuliskannya di kulit tubuh atau apalah.”
”Sejak kapan sih ini berlangsung dan kenapa jadi demikian,” tanyaku. Dulu, waktu UAN SLTP dan SLTA kujaamin hasil jerih payah sendiri. Termasuk ketika harus masuk ke PT dan mengikuti ujian-ujian mata kuliah. Kalau mau sedikitttt saja belajar, pasti bisa menjawab soal setidaknya 50 persen.
Sebenarnya juga, UAN dihapuskan alias tidak perlu ada. Kalaupun dipertahankan, tidak musti ditetapkan standar baku kelulusan. Kalau salah satu mata pelajaran nilainya jeblok, ya itu memang menunjukkan kemampuan yang bersangkutan, lemah di bidang tersebut. Wah, entahlah, jadi ikut pusing. Habisnya ada adik-adik sendiri yang masih di SD, SLTP dan SLTA. Akankah mereka bernasib serupa…semoga tidak!!! Tidaaaaaaaaakkkkkkkkkkkk!!!
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun….. sungguh musibah besar melihat ada oknum guru (sekolah) yang medidik anak-anak untuk menjadi generasi tidak jujur alias pembohong, dengan cara memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswi yang sedang UAN, Alhamdulillah anak saya tidak sekolah di negeri, mudah2an tidak terjadi pendidikan seperti itu disekolah anak-ku.