Karena hutan mangrove adalah benteng terakhir Bali dari abrasi.
Aktivis lingkungan menggelar dengar pendapat dengan Komisi III DPRD Bali. Para aktivis tersebut tergabung dalam Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali. Mereka menilai hutan mangrove di kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai adalah benteng terakhir bagi kawasan pesisir dari abrasi pantai, bencana tsunami sekaligus mencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga sebagai tempat hidup bagi sejumlah binatang dan biota laut serta menyerap karbondioksida (CO2) lima kali lebih besar dibandingkan jenis hutan lain.
Meskipun manfaatnya demikian besar, ironisnya Gubernur Bali justru mengeluarkan izin pemanfaatan hutan mangrove seluas lebih dari 100 ha kepada PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB) untuk pembangunan akomodasi pariwisata. Pemberian izin ini melawan amanat Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali. Pasal 59 ayat (3) huruf b Perda ini menyatakan pemerintah mendukung pencapaian tutupan vegetasi hutan minimal 30 persen dari luas wilayah Pulau Bali.
Faktanya, saat ini Bali hanya mempunyai luas hutan tidak lebih dari 23 persen. Bali masih kekurangan kawasan hutan seluas lebih dari 7 persen. Oleh karena itu, logikanya, Gubernur Bali harus menambah kawasan hutan, bukan malah memberikan izin kepada investor untuk memanfaatkan kawasan hutan mangrove. Apalagi jika luasnya sangat mencengangkan, 102.22 ha.
Sangat tidak masuk akal jika dengan luasan hutan yang semakin sedikit, kualitas hutan yang semakin menurun akan tetapi izin dikeluarkan dengan mudah oleh Gubernur Bali. Kita patut mempertanyakan ada motif apa di balik pengeluaran izin tersebut?
Suriadi Darmoko, Deputi Direktur Walhi Bali menambahkan, legal atau tidaknya izin dari Gubernur Bali telah mencederai rasa keadilan, baik masyarakat dari Suwung Kauh ataupun masyarakat umum yang menanam bakau di sana. Masyarakat susah payah menanam dan merawat mangrove sampai tumbuh besar, tetapi Gubernur Bali dengan mudah mengeluarkan izin pemanfaatan hutan mangrove kepada investor.
Suriadi juga kembali menanyakan komitmen Gubernur Bali dalam menjaga lingkungan di Bali dengan jargon Bali Clean and Green. “Apakah itu hanya wacana semata untuk menarik simpati dari masyarakat?” tanya Suriadi.
Terkejut
Ketua Komisi III DPRD Bali I Gusti Ngurah Suryantha Putra mengaku terkejut atas keluarnya izin pemanfaatan hutan mangrove tersebut. Dia tidak pernah mendapatkan informasi tentang itu. Sena, panggilan akrabnya, menambahkan kalau kawasan hutan yang seluas 23 persen tersebut adalah data pada tahun 2009. Dia menduga saat ini luas kawasan hutan di Bali tidak lebih dari 18 persen mengingat tingginya alih fungsi lahan dan illegal logging di kawasan hutan.
Sena juga menjelaskan selama ini pemerintah provinsi tidak pernah mengajukan rancangan peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai kawasan hutan di Bali. Saat ini Rancangan APBD untuk rehabilitasi seluruh kawasan hutan di Bali hanya Rp 2 milyar. Itu pun, Rp 1,5 milyar untuk belanja tidak langsung, Rp 400 juta untuk rehabilitasi seluruh hutan di Bali dan Rp 100 juta untuk pengawasan.
Mengenai perizinan yang dikeluarkan Gubernur Bali kepada PT. TRB, Sena menyatakan telah bertemu langsung dengan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Pihak PHKA menyatakan semua proses perizinan sudah memenuhi ketentuan yang berlaku sehingga PT TRB diberikan izin pemanfaatan hutan mangrove tersebut.
Gendo Suardana, Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, menyindir alasan Gubernur Bali selama ini mengenai tidak adanya dana untuk melakukan perawatan kawasan hutan di Bali. Gubernur Bali mengaku tidak pernah mengajukan anggaran namun di sisi lain untuk membangun Rumah Sakit Bali Mandara, Gubernur Bali menyatakan Pemprov Bali mempunyai tabungan di BPD Bali sebanyak Rp 500 milyar. Hal tersebut sangat tidak realistis mengingat pentingnya peranan Hutan Mangrove tersebut.
Gendo juga menyatakan sejak awal menduga pendiaman yang dilakukan Gubernur Bali dalam pengurugan laut dengan batu kapur dalam pengerjaan Jalan Di Atas Perairan (JDP) adalah sengaja untuk mematikan pohon bakau di sekitar proyek. Dengan demikian, nantinya ada kawasan terbuka dan tidak bisa ditanami pohon bakau lagi agar bisa dimanfaatkan oleh investor untuk mendirikan akomodasi pariwisata di sana.
Proyek jalan tol ini sudah jelas-jelas melanggar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tetapi didiamkan saja. Padahal UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Gubernur wajib memberikan teguran kepada pelaksana proyek karena telah melanggar AMDAL. Bahkan Gubernur juga dapat menyetop dan menyita alat-alat yang digunakan untuk melakukan pencemaran.
Gendo menambahkan, keluarnya izin Gubernur Bali telah melanggar asas-asas Good Government yaitu asas kepatutan dan asas keterbukaan. Dari segi asas keterbukaan, keluarnya izin itu dinilai tidak transparan karena jelas-jelas sejak awal tanpa melibatkan wakil rakyat di DPRD Bali. Padahal DPRD Bali memiliki fungsi pengawasan terhadap setiap program pemerintah.
Dari segi asas kepatutan, Gubernur Bali mempunyai kebijakan publik untuk mewujudkan Bali Clean and Green serta mewujudkan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di Bali selatan. Namun, hal tersebut kontradiktif dengan keluarnya izin pengelolaan hutan mangrove seluas 102.22 ha kepada investor untuk pemanfaatan pariwisata alam dengan membangun sejumlah akomodasi pariwisata. Gendo juga menanyakan mengapa PT TRB yang notabene baru dibentuk pada tahun 2009 dengan mudah mendapatkan izin pemanfaatan hutan mangrove tersebut. Padahal, PT TRB tidak mempunyai track record dalam hal tersebut.
Anggota Komisi III DPRD Bali IB. Udiyana menyatakan kecewa karena pihak dewan tidak dilibatkan dalam rekomendasi pemberian izin pemanfaatan hutan mangrove kepada PT TRB. Udiyana menyatakan penolakannya terhadap izin pemanfaatan hutan mangrove kepada investor. Dia berjanji akan menelusuri mengapa izin tersebut bisa diberikan dengan mudah.
Dampak
Dalam hearing kemarin juga hadir Kadek Bobby, perwakilan warga Suwung Kauh yang menyampaikan aspirasinya kepada komisi III DPRD Bali. Bobby menyatakan menolak keras privatisasi dan pembangunan akomodasi pariwisata di daerah hutan mangrove. Nantinya, jika hutan mangrove tersebut rusak maka yang akan mendapat dampak terbesarnya adalah masyarakat di sekitar hutan mangrove tersebut, termasuk dirinya. Dia juga menyatakan bahwa warga di sana merasa dibodohi karena tidak ada sosialisasi dari pihak PT. TRB ataupun Gubernur Bali namun tiba-tiba sudah ada izin.
Bobby merasa warga sekitar hutan mangrove tidak dihargai karena Gubernur Bali mengeluarkan izin tanpa sepengetahuan mereka. Bobby meminta agar Gubernur Bali segera mencabut izin yang telah diberikan kepada PT TRB dan memberikan pengelolaan hutan mangrove kepada desa setempat.
Setelah selesai menyatakan pendapatnya terkait dengan pemberian izin pemanfaatan hutan mangrove seluas 102.22 ha oleh Gubernur Bali kepada PT TRB, perwakilan warga Suwung Kauh dan KEKAL Bali kemudian menyerahkan pernyataan sikap mereka kepada Ketua Komisi III DPRD Bali. Adapun tuntutan dari pernyataan sikap tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, menuntut Gubernur Bali segera mencabut izin Pengusahaan Pariwisata Alam pada blok pemanfaatan kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai seluas 102,22 ha kepada PT Tirta Rahmat Bahari,
Kedua, menuntut Pemerintah dalam hal ini DPRD Bali dan Gubernur Bali untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di Bali dan melakukan perluasan hutan untuk memenuhi 30 persen luas hutan yang seharusnya ada di Bali sesuai dengan amanat pasal 59 ayat (3) huruf b Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali,
Ketiga, menuntut Gubernur Bali benar-benar melaksanakan jargon Bali Clean and Greennya, demi terjaganya Lingkungan Hidup di Bali,
Keempat, menolak segala upaya perusakan Lingkungan Hidup terutama dikawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai.
Kelima, menuntut Pemerintah untuk melaksanakan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata sepenuhnya untuk:
a. Segera membentuk masterplan pembangunan Bali secara komprehensif (mulai dari hulu ke hilir) guna mereduksi praktik pembangunan yang cenderung eksploitatif serta tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup;
b. Memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh dalam pengelolaan lingkungan agar tercipta pariwisata yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. [b]
Nggak heran sih kalau Bapak Gubernur sendiri pernah bilang kepada media asing (ABC) bahwa semua turis itu baik. Demi memanjakan ‘semua turis yang baik’ itu, kitalah yang dikorbankan. Saya ingin percaya pada beliau tapi apakah beliau menginginkan kepercayaan saya?
Apakah ada info tambahan siapa pemilik dari PT. Tirta Rahmat Bahari minimal siapa di belakang mereka?
http://www.baliprov.go.id/Terkait-Pro-Kontra-Pengelolaan-Hutan-Mangrove—Gubernur-Persilahkan-DPRD-Panggil-Investor
……….. ???????
Maju terus kawan-kawan … Kami siap mendukung dan membantu menyebarkan berita ini !
coba jangan apriori dulu, sebenarnya masyarakat juga banyak yang blm tahu akan diapakan hutan mangrove itu secara detail termasuk sistim pengelolaanya. sebaiknya investor diundang dulu untuk memaparkan programnya secara luas termasuk kepada masyarakat, bukan cuma kepada DPR. setelah itu barulah diambil kesimpulan, kalau misalnya diperbolehkan untuk mengelola saya pikir juga harus disertai klausul untuk pengawasan dari berbagai pihak disertai ‘reward dan punishment-nya’. dengan begitu dana pemerintah yg seharusnya untuk ngurusi mangrove bisa digunakan untuk program lain…….visi saya kalau pengelolaannya bagus mungkin tahun depan hutan mangrove bisa jadi tempat rekreasi bagi masyarakat, tempat jogging dll dgn lingkungan yg bersih…..masa anda gak mau yg begitu?
maaf, sepengetahuan saya tidak ada investor yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan mengeruk untung sebesar-besarnya dengan menjaga keseimbangan alam dan ekosistem lingkungan. KEduanya merupakan hal yang bertolak belakang. Klausul-klausul perjanjian yang mengatur akan ada komitmen menjaga alam dari investor hanya akan ada diatas kertas, implementasinya sangat sangat sulit diwujudkan.Sentuhan pada bentang alam dengan pembangunan dalam segala bentuk dan teknologinya adalah intervensi yang memiliki kekuatan mempercepat kerusakan alam, bukan membenahi.