Tiga pelukis menyuarakan pandangannya tentang keseimbangan.
Tiga pelukis yang meski telah kenyang terlibat dalam berbagai pameran bersama, namun tak henti-hentinya terus berproses dan memburu jati diri. Tiga pelukis tersebut adalah Wayan Wirawan (1975), Ketut Lekung Sugantika (1975) dan Sekartadji Supanto (1977).
Mereka menampilkan karya-karya mutakhirnya lewat pameran bertajuk “Equilibrium” di Tonyraka Art Gallery, Ubud, Bali. Pameran yang berlangsung dari 30 Mei sampai 20 Juni 2008 ini dikuratori oleh Arif Bagus Prasetyo.
Para pelukis itu menyadari bahwa dunia, baik dunia ekologis, budaya dan mental sedang berada dalam ketidakseimbangan, mengalami chaos. Wirawan menyoroti peristiwa-peristiwa kehancuran ekologis yang telah terjadi di semua belahan bumi. Es di kutub telah lama mencair menyebabkan pemanasan global. Kehancuran hutan akibat kebakaran dan penebangan liar semakin parah. Banjir bandang mengincar setiap musim hujan, siap melumat perkampungan di bawahnya. Gempa bumi menjadi hantu yang menakutkan. Belum lagi masalah polusi alam (udara, air, tanah) akibat tindakan manusia yang tidak bisa menghargai alam.
Perhatikan lukisan Wirawan berjudul “Seusai Badai” yang jelas-jelas memperlihatkan kehancuran alam usai terjadinya bencana badai. Tidak ada lagi kehidupan yang tersisa. Hanya daun-daun yang berserakan, pokok-pokok pohon yang hampir tumbang, tanah berlumpur dan udara yang mencekam. Bundaran bulan (atau matahari) diselimuti kabut yang semakin mencuatkan kesan kengerian akan kehancuran alam.
Pada karya berjudul “Terbuai”, Wirawan membandingkan kehancuran alam dengan perilaku manusia, sebuah ironi. Dia melukiskan di tengah-tengah bentangan alam yang tandus justru tidak mampu mengusik sosok manusia yang karena mabuk tertidur lelap berbantalkan lengan kiri. Sementara tangan kanannya masih menggenggam gelas yang berisi sisa anggur. Perhatikan juga kain yang dikenakan sosok itu adalah kain poleng yang mencirikan budaya Bali. Dalam lukisan ini Wirawan nampak sedang melontarkan kritik terhadap manusia Bali yang mudah terlena dan kurang bisa belajar dari bencana-bencana yang menimpa mereka. Semua bencana diselesaikan dengan jalan upacara keagamaan, dikaitkan dengan kekuatan niskala (maya).
Tidak hanya alam yang mengalami disharmoni, budaya pun berada dalam kondisi tarik menarik. Budaya Timur dengan Barat selalu dipersoalkan sebagai suatu kondisi yang saling bertentangan dan saling tarik. Kemenangan dan kekuasaan berada pada pihak yang kuat dan dominan. Hal tersebut nampak jelas dalam lukisan Lekung Sugantika yang berjudul “King Idol” (4 panel 290 x 200 cm, pastel, pencil, cat minyak di kanvas, 2008).
Lukisan besar berlatar biru langit itu menyuguhkan seekor babi betina raksasa berwarna merah muda yang salah satu kupingnya ditarik ke atas oleh sebentuk tangan dan ekornya di tarik dengan tali oleh tokoh Superman. Di depan moncong babi yang berada dalam kondisi melayang itu nampak beberapa tangan mengacungkan hamburger raksasa. Sementara itu jauh di bawahnya segerombolan babi menyaksikan peristiwa tarik menarik itu dengan tampang ketakutan.
Melalui ikon-ikon Superman, humberger, babi, dan tangan, Lekung ingin menegaskan bahwa di tahun babi ini kondisi tarik menarik yang mengakibatkan chaos akan terus terjadi. Namun kondisi chaos itu justru akan mengarah pada keseimbangan. Pada akhirnya budaya Barat dan Timur akan nampak seperti konsep Rwa Bhineda, putih dan hitam pada hakekatnya berada dalam sebuah lingkaran yang sama dan saling mempengaruhi.
Suasana chaos di alam nyata seringkali mempengaruhi alam batin. Ketika udara gerah dan panas, alam batin pun menjadi gerah dan gampang marah. Begitu pula sebaliknya, ketika cuaca mendung dan udara dingin, alam batin menjadi adem dan mudah tersentuh dengan sesuatu yang mengusik kalbu. Keseimbangan alam nyata dan alam batin seringkali menjadi fokus utama orang-orang yang menekuni spiritual.
Sekartadji Supanto, pelukis asal Wonogiri, Jawa Tengah, nampak lebih intens menyusuri suasana alam batin yang tercermin dari karya-karyanya yang bernada surealis dengan teknik yang cukup terjaga. Namun suasana alam tetap menjadi pijakan arah pengembaraannya menuju alam batin. Lukisan-lukisan Sekartadji cenderung bernuansa kelam dengan gumpalan-gumpalan awan kelabu yang begitu mencekam.
Dari kekelaman dan suasana mencekam itu muncul benda-benda duniawi. Pelukis yang belajar otodidak ini hendak menyandingkan ikon-ikon alam nyata dengan suasana alam batin sehingga menghasilkan karya-karya yang sarat renungan. Hal itu, misalnya, terlihat dalam lukisan “Hati Boleh Panas, Kepala Tetap Dingin” yang menggambarkan suasana surealis. Dari gumpalan awan kelam muncul keran air yang ujungnya terbungkus plastik sehingga air tidak bisa menetesi pohon-pohon di bawahnya.
Atau pada karya berjudul “Loby Alam”, Sekartadji menyuguhkan sebuah sofa panjang yang berada di atas sebuah pulau kecil di hamparan laut kelam. Di atas sofa mirip kuburan itu membentang langit dengan gumpalan-gumpalan awan yang membara. Dalam hal ini sofa yang lembut dan empuk dikaitkan dengan keganasan alam.
Sementara itu, pada lukisan “Tubuh Panorama”, Sekartadji menampilkan kursi dan meja elit lengkap dengan gelas wine yang nampak ganjil di antara ketandusan alam perbukitan. Di atas panorama kelam itu, di antara gumpalan awan, muncul sosok tubuh perempuan telanjang tanpa kepala membentangkan tangan seperti hendak merangkul alam. Suasana misterius dan mistis sangat terasa dalam lukisan ini.
Secara umum karya-karya ketiga pelukis dalam pameran ini tidaklah terlalu istimewa. Ada banyak pengulangan tema, isu dan ikon-ikon yang disuguhkannya. Dilihat dari segi teknik dan komposisi juga tidak terlalu mengejutkan. Kalau orang jeli mengikuti perkembangan dan kecenderungan trend seni rupa, akan segera merasa bahwa apa yang ditampilkan ketiga pelukis ini bisa juga dinikmati pada karya-karya pelukis pendahulu mereka. [b]