Oleh Luh De Suriyani
Hidangan seafood di Thailand disajikan sesuai mood tempat. Ketika bersantai di pantai, udang dan cumi juga terlihat “telanjang”.
Pagi beranjak ke pukul 10 waktu Pattaya. Satu dua turis sudah mulai berdatangan untuk mulai ritual mejemur diri atau sekadar baca buku. Ratusan kursi pantai dengan payung khasnya berjejer memenuhi pantai yang bersebelahan persis dengan jalan raya.
Seperti Pantai Kuta di Bali. Bedanya di Kuta, kursi pantai sedikit. Menyisakan banyak bibir pantai yang cukup lapang dari tepi ombak.
Di Pattaya sebaliknya. Bibir pantai sangat sempit, sekitar tiga meter dari laut. Tak menyisakan tempat untuk jalan-jalan karena nyaris seluruh area pantai ditutupi “pohon” payung dan kursi berjemur.
Kalau ingin duduk di kursi, seseorang akan mendekati untuk meminta upah sewa 30 baht. Ini barangkali kesamaannya dengan di Bali. Nothing for free.
Nah, sudah dapat kursi santai yang enak, kini tinggal memilih makanan yang bersliweran dijajakan warga setempat. Sebagian besar dagangan mereka adalah seafood dan buah-buahan tropis. Dua hal yang membuat Thailand sangat populer.
Hidangan seafood dan buah-buah tropis yang manis dan berair terlihat di setiap sudut keramaian di Thailand. Nggak ada matinya.
Sebagai penikmat dua hal itu, tentu saja buat saya ini penyaluran hasrat. Nah, untuk penyajian buah, di mana saja buah ini disajikan apa adanya. Semangka merah dengan batunya, jambu air, pepaya, mangga, dan jambu biji berdaging tebal disajikan natural di hotel bintang lima, restoran pasar, kaki lima, dan tepi pantai.
Agak berbeda dengan seafood. Udang laut dan air tawar berukuran besar (sekira 30 gam) dan cumi bakar dijajakan dengan rasa natural. Rasa asem manis dan pedas yang biasanya menjadi cita rasa masakan seafood Thailand, tak terlalu mendapat tempat di jajanan pantai ini.
Udang utuh terlihat ditim di atas wadah bara yang dipanggul pedagangnya. Warnanya merah dan jingga. Jika minta, mereka bisa memberikan bumbu tambahan. Sementara cumi ada yang dikeringkan atau dibakar.
Selain itu, tentu ada penganan khas lain seperti udang goreng tepung roti, pangsit, dan lumpia. Pilihan isinya adalah daging babi, ayam, atau ikan. Harganya sangat sesuai dengan gaya penyajian dan kebersihan makananya.
Udang goreng tepung berukuran cukup besar dijual 30 baht (setara Rp 9000) berisi lima udang. Kebanyakan makanan dibungkus sterofoam dan plastik wrap, seperti penganan di supermarket. Penjualnya pun memakai celemek. Semua pedagang kaki lima yang saya lihat di Thailand pakai celemek.
Untuk cita rasa yang lebih melimpah, coba hidangan seafood di kaki lima atau restoran di Thailand. Ternyata Tom Yang, satu-satunya nama masakan Thailand yang saya tahu memang sangat familiar dan seolah menjadi menu wajib di tempat makan.
Terlihat seperti kare, karena kuahnya kental dan berminyak. Bumbunya terasa ramai. Ada lengkuas dan sereh yang mendapat porsi besar di racikan bumbu, lalu merica, jahe, bawang, daun jeruk, asem, cabe dengan pedas yang tipis, dan lainnya. Isian utamanya udang dan jamur (Tom Yang Goong).
Makan siang pertama di Thailand, saya dibawa ke Inn Chan Restaurant. Berlokasi di kawasan Rose Garden, kawasan resort terpadu di daerah Samphran. Soal nama, restoran ini sampai memberikan catatan khusus di halaman pertama menu karena nilai sejarahnya.
Inilah sejarah soal istilah kembar siam. Dua bersaudara Inn dan Chan diperkenalkan sebagai siamese twins pada 1811. Kemudian mereka dibawa ke Amerika Serikat oleh pengusaha asal Amerika yang tinggal di Thailand. Nah, resto ini terinspirasi oleh Inn dan Chan yang terkenal sebagai kembar siam yang paling populer di dunia.
Di sini saya mulai mengenal masakan Thailand. Menunggu hanya sekitar 10 menit, saya dan rombongan disuguhkan makanan pembuka. Gorengan mini mirip pangsit dan lumpia ini dinamai Krangthong Thong. Garing dan kaya rasa. Ukurannya kecil, sekitar tiga sentimeter tapi isiannya istimewa. Dalam satu piring varian isiannya adalah chicken ham dan spicy tuna.
Sepuluh menit kemudian satu persatu hidangan utama mulai datang. Ada Nua Bad Dew atau fried beef, Pad Thay atau thay style fried noodle. Satu menu yang sangat familiar adalah cah kangkung. Resto ini menyebutnya Fai Dang. Menurut saya ini menu yang paling istimewa, bukan karena kebiasaan lidah mengecap kangkung namun cita rasa dan aroma olahan resto ini membuatnya sangat khas.
Kangkung ditumis setengah matang tanpa terasa bumbu penyedap atau MSG. Tak terlihat ada cincangan bawang putih atau lombok besar. Hanya batang kangkung dengan rasanya yang natural tapi sedap.
Rata-rata harga satu piring menu berukuran sedang di resto ini 100 baht, sekitar Rp 30.000 rupiah. Cukup memuaskan dengan sajiannya, apalagi pemandangan sekitar resto berada di sisi sungai Nakornchaisri yang bersih dan teduh.
Perkenalan pertama dengan Thai food, nambah semangat untuk coba menu-menu lain. Saya masih belum menemukan alasan tepat kenapa makanan Thailand begitu populer, seperti hiburan malamnya yang atraktif.
Maka makan malam pun diajak ke Baan Klang Nam II, resto khusus seafood di Kota Bangkok. Dari luar resto ini terlihat tenang, tempat parkir juga tidak terlalu penuh. Setelah beberapa langkah ke dalam, wuih, keriuhannya membuat semaput.
Sekitar 200 orang pengunjung terlihat duduk berkelompok, sebagian dalam kelompok besar. Di meja mereka terhampar berbagai hidangan yang berukuran jumbo. Gelas-gelas minum terisi penuh. Ada yang minum bir, jus, wine, air putih, dan lainnya.
Kami memesan sejumlah hidangan laut dan air tawar. Seperti resto lain, menu ini dinamai dalam Bahasa Thai, tapi ada deskripsinya dalam Bahasa Inggris. Berbeda dengan kebanyakan resto di Indonesia yang memilih langsung menamai menu masakan Indonesia dalam Bahasa Inggris. Inilah salah satu kearifan lokal Thailand yang terjaga dan membuatnya otentik.
Meja kami, seperti meja lainnya dijaga satu pelayan khusus. Pria muda penjaga meja kami dengan sigap menuangkan berbagai minuman sesuai pesanan. Gelas-gelas tak dibiarkan kosong atau berkurang separuh. Ia langsung menuangkan minuman tambahan tanpa diminta. Kebiasaan ini juga terlihat di tempat makan lainnya.
Saya tidak bisa membayangkan kegaduhan yang terjadi di dapur resto ini. Meja kami saja memesan sekitar 15 menu berbeda. Di resto yang full pengunjung ini, kata teman Thailand saya setiap malam resto ini selalu penuh, ada belasan meja lain yang juga terlihat memesan banyak menu yang berbeda-beda.
Kami tak menunggu lama. Sepuluh menit kemudian piring-piring besar berisi pesanan kami datang. Wah, ukurannya memang besar. Harga per menu 200-500 baht.
Ada Deep Fried Prawn in Butter with Mayonnaise, lima udang besar tanpa kulit yang disiram mayones pekat. Daging udangnya tebal sekali, pas dengan siraman mayones asin sedikit manis yang sangat kental. Udang yang biasanya saya gigit sekali langsung amblas. Udang ini perlu tiga menit untuk mengunyah dagingnya yang sangat tebal dan empuk.
Piring lain diantaranya tersaji gurami siram saus asam manis, stir fied, ikan kakap goreng renyah, udang kukus, perdedel udang goreng, dan menu complimentary, Tom Yang Goong. Semuanya terasa pas. Ada yang agak pedas, asin gurih, dan asam manis. Dengan rasa seperti ini, agaknya semua lidah darimana pun negaranya bisa beradaptasi. Ini salah satu jawaban dari kehebohan kuliner Thailand.
Cara memasak dan rasanya lebih dekat ke Chinesse Food. Tapi yang membedakan ada rasa pedas yang hangat dan berbagai rempah dalam menu Thailand. Jadi, untuk lidah saya yang biasa mengecap masakan Bali dengan bumbu penuh rempah, tidak ada kesulitan berarti. Malah menu Thailand itu mirip cita rasa masakan nusantara.
Karena kedekatannya dengan cita rasa masakan Indonesia itu, restoran Thailand cukup banyak di sejumlah kota besar di Indonesia. Selain itu, kelebihan lainnya adalah wangi masakan thailand. Tak heran, karena bumbu rempah dilengkapi dengan dedaunan yang beraorama seperti seledri, daun bawang, daun ketumbar, daun jeruk, dan lainnya.
Bumbu-bumbu tropis diramu dengan beragam hasil laut dan air tawar menghasilkan santapan yang pas. Silakan memilih rasa yang sesuai dengan lidah anda. Ada rasa asam, manis, asin, natural, atau pedas. Pedasnya makanan Thai pun bisa dipilih, mau yang sedang atau super hot.
Makan malam berikutnya saya dan teman-teman menikmati sensasi kuliner yang berbeda. Makan malam sambil menikmati Thai Classic Dance yang glamour itu. Tempatnya di Silom Village di Silom Road, Bangkok.
Sebelumnya kita harus reservasi dulu karena kita tak hanya makan tapi menikmati pertunjukkan tari tradisional. Tepat jam 7 malam, ratusan rombongan wisatawan sudah memenuhi gedung. Satu set makan malam dihidangkan untuk tiap orang. Masih dengan hidangan dominasi udang. Ada Tom Yam, lumpia seafood mini, daging goreng, sop sayur bening, dan lainnya.
Saat menikmati dessert buah, muncullah penari Thai dengan busananya yang elegan diiringi gamelan yang mirip dengan gamelan Jawa. Yang unik, setelah menari, para penari bisa dipanggil untuk diajak foto bersama pengunjung. Alternatif kombinasi kuliner yang asyik.
Makanan olahan daging babi juga sangat banyak di Thailand, khususnya di kaki lima. Untuk Anda yang tidak mengonsumsi daging babi, jangan segan bertanya. Sejumlah jajanan seperti kroket, pastel, siomay goreng juga banyak yang isiannya daging babi.
Hari-hari berikutnya, di tempat makan mana pun, menu seafood tak henti-henti. Di pasar tradisional, pantai, dan warung pojok, sangat mudah menyantap sajian ikan, udang, cumi-cumi. Silakan pilih, udang “telanjang” tanpa bumbu atau bersarung mayones. Lalu, apa sih yang tidak bisa diberikan perairan Indonesia untuk perayaan kuliner yang sama?
weh..tulisanna bagus neh tentang thailand, berarti mbok luhde lagi di thailand neh…dimana di thailand mbok?? kok ga bilang2??
Nyummi…. Jadi lapeer
Bungkus dunk. he…………………
Wah….. gua laep juga nih…..!!! Mau ngerasain kayak gimana gitu deh……
ikutan ke thailand dong? mau nyarik ceweknya, bukan cumi atau udangnya hehehe