Teks Ni Putu Diah Eta Tritintya, Foto Ilustrasi Luh De Suriyani
”Kadang orang melihat saya aneh. Kadang mereka juga menghina saya karena saya berbeda. Tapi, saya tak peduli. Toh saya di sini kerjanya halal, bukan mencuri!” ungkapnya.
Dewasa ini wanita tak hanya dikenal sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak di rumah. Seiring berkembangnya zaman dan kerapnya emansipasi didengungkan, rumah tak lagi menjadi satu satunya tempat bernaung bagi seorang wanita.
Salah satunya Sumini. Keberbedaannya semenjak lahir tak mengurangi niatnya berjuang dan mencari nafkah bagi keluarganya. Sumini salah satu albino, kelainan struktur gen dari gen resesif bawaan orang tua. Meskipun penampilannya berbeda dari masyarakat kebanyakan, ia tak pernah merasa malu atau pun merasa tersisih.
”Kadang orang melihat saya aneh. Kadang mereka juga menghina saya karena saya berbeda. Tapi, saya tak peduli. Toh, saya di sini kerjanya halal bukan mencuri!” ungkap wanita paruh baya ini.
Sumini bekerja sebagai kuli angkut. Ia mengaku tak pernah mengeluh atau pun malu dengan profesinya. Wanita yang tinggal di Padangsambian, Denpasar Barat ini hanya berbekal 1 keranjang besar dengan handuk dan tali temali. Dia selalu siap mengangkut apa pun.
Walaupun pekerjaannya cukup kasar untuk seorang wanita, ia tak pernah ingin berhenti atau mencari pekerjaan lain. ”Saya lebih tenang dengan pekerjaan ini. Biar pun berat, saya cukup nyaman mengerjakannya. Kalau saya dagang (asongan), capek kejar kejaran terus sama tramtib,” ujarnya lirih.
Upah Sumini berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Per bulan dia hanya mendapat Rp 30.000. Rasanya tak sebanding dengan berat beban yang harus ia angkut. Berat yang dia angkut berkisar antara 50 kg sampai 60 kg untuk sekali angkut.
Dengan perawakannya yang tak terlalu tinggi dan kulit putih khas albino ia tersenyum senang ketika sebuah truk berisi sayur-sayuran menghampirinya. Dengan sigap ia membawa keranjang besarnya dan naik ke atas truk. Dia mulai memindahkan sayur sayuran itu ke keranjangnya.
Meski panas menyengat, siang itu ia tak terlihat lelah apalagi mengeluh. Ia tersenyum sambil mengangkat keranjang penuh sayuran itu di atas kepalanya.
Dengan jarak kira-kira 10 meter dari truk sayur, ia harus berjalan membawa keranjang penuh di atas kepalanya. Pekerjaan itu tak dilakukannya hanya sekali, tapi berkali-kali sampai isi dalam truk habis.
Kisah Sumini merupakan salah satu contoh peran penting wanita dalam roda perekonomian di Bali. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Sumini rela mengerjakan “pekerjaan kasar” yang seharusnya dikerjakan laki-laki. Meskipun dengan keberbedaan yang dimilikinya Sumini tak pernah mengeluh. [b]