Oleh Jean Couteau
Kondisi produksi seni rupa di Bali kini amat berbeda dari beberapa dekade lalu. Pada era terdahulu, para seniman, pertama-tama adalah figur yang “berakar”. Sebagai bagian dari budaya lokal, mereka memperoleh warisan teknik-teknik dan simbol yang merupakan hasil akhir dari proses evolusi sejarah setempat yang panjang.
Dengan kata lain para pelaku seni tersebut adalah pencipta/ produsen dari budaya mereka sendiri, yang belakangan berada dalam ancaman situasi sebaliknya. Sementara itu, yang mula pertama diakses oleh para seniman terkini adalah simbol-simbol yang di-media-kan dari suatu dunia global, di mana mereka pada galibnya tak memiliki kontrol atasnya sama sekali.
Evolusi yang sangat pesat ini bukan hanya mengancam, bahkan terbukti telah mengkikis memori kultural serta menimbulkan suatu lompatan kualitatif yang menjadi penyebab adanya perombakan total menyangkut identitas budaya. Maka salah satu peran dari seniman kontemporer, seperti lazimnya intelektual kreatif lainnya, adalah menegaskan pilihan atas tiga simpang kenyataan ini.
Pertama adalah memilih apa yang selama ini kerap diyakini sebagai tradisi, dengan risiko tak kuasa mencerna bahwa hal itu adalah suatu tradisi yang termanipulasi, yang pada kenyataannya nyaris mustahil menjadi penghadang arus deras perubahan – ini merupakan pilihan dari umumnya seniman Bali.
Pilihan kedua adalah menelan mentah-mentah keseluruhan sistem simbolik yang ditawarkan globalisasi. Dengan demikian membiarkan identitas diri tertransformasikan menuju sebuah wilayah kultur yang tak jelas juntrungannya. Atau, menetapkan pilihan ketiga, yakni menyadari sekaligus berupaya mengungkapkan masalah-masalah yang sebenarnya secara sistematis melalui sarana artisitik serta intelektual dalam suatu dialektika antara yang lokal dan yang global, agar menghasilkan suatu modernitas atau posmodernitas, di mana masyarakat setempat adalah pelaku yang sesungguhnya dari perubahan yang dialaminya, bukan hanya sebagai pelengkap penderita saja.
Terlalu sedikit seniman dan intelektual Bali yang menyadari tantangan itu serta risiko yang menyertai pilihan-pilihan tersebut. Hal ini membatasi kuasa pemahamanan mereka atas evolusi seni dan juga yang terjadi dalam masyarakat. Jalan buntu dari tradisi kini sudah terbaca, terbukti dengan melimpahnya buktinya galeri-galeri yang ada di wilayah seni tradisional, yang kini berlomba menyajikan karya-karya (pseudo) abstraksi yang tak berujung pangkal. Bahkan tidak sedikit seniman-seniman muda akademis, yang tergelincir sekadar mengadopsi ikon dan corak yang diandaikan sebagai global, tersaji dalam suatu ragam seni yang tak jelas identitasnya.
Simpang Identitas
I Wayan Sujana ‘Suklu’ adalah salah satu perupa yang ada di tiga simpang pilihan itu. Karya-karya dipamerkan di Gaya Fusion Art Space 26 Juli-26 Agustus 2008 adalah nyata benar kontemporer. Mengedepankan corak visual dan bahan tematis yang bersifat global, tapi dengan beragam kompleksitasnya yang bermuatan budaya lokal.
Dilema yang diungkap Suklu ini sejalan dengan laporan utama Majalah C Arts, volume II, yang memaparkan bahwa seni kontemporer pada dasarnya adalah pemertanyaan di seputar pertemuan antara yang global dan yang lokal, berikut hal-hal paradoks yang menyertainya. Dua kecenderungan segera dapat diindentifikasi dalam karya Suklu kali ini.
Pertama adalah mencuatnya sikap prihatin dan protes, tercermin dalam karya instalasinya, terhadap segala sesuatu yang terjadi di depan matanya; yakni pengerusakan lingkungan sawah dan pantai yang terjadi di desa kelahirannya. Patut diketahui, sebuah jalan besar telah dibangun tepat di depan rumah di mana ia menjalani masa kanaknya dalam suatu lingkup masyarakat agraris yang kental. Dengan demikian, jalan raya itu telah memisahkannya dari pantai.
Pembangunan nan marak ini, disertai pula rentetan peristiwa tak terduga berupa arus lintas yang tak putus, kecelakaan, serta merebaknya perumahan yang serbasemrawut. Pendeknya suatu perombakkan secara total atas nilai dan tata kelola masyarakat lokal. Seni instalasi Suklu terfokus pada fenomena-fenomena ini. Kacang-kacang besar, terbuat dari metal, melambangkan perubahaan mendasar dari dunia agraris ke dunia modern yang tak terbayangkan.
Sementara melalui instalasi struktur bambu, kita diingatkan betapa kini terlupakannya peran bambu sebagai bahan bangunan yang ekologis. Ada pun lalu lintas dan ancaman terkaitnya, terefleksikan dalan gugusan helm-helm pilihan yang menyertakan anyaman dari janur pohon kelapa.
Selain itu, menanggapi tercemarnya alam masa kanaknya, dan terutama kerusakan lingkungan hijau sekitarnya, perupa ini menciptakan daun-daun tiruan dari besi yang seakan melambangkan suatu pengharapan akan kekekalan. Sebuah ironi terhadap diri sekaligus sebentuk protes yang mewakili mereka yang tersisih oleh pembangunan yang tak terkendali.
Melalui lambang-lambang di atas, Suklu menegaskan apa yang disiratkan oleh pepatah Indonesia sebagai “kacang lupa akan kulitnya”. Ini menggugah kita bahwa masyarakat Bali sekarang ini telah lupa pada akar kulturnya untuk jatuh dalam cengkeraman kapitalisme global berikut akibat paradoksalnya. Pepatah ini, yang dengan sadar disikapinya, jelaslah merupakan konsep dasar dari pameran ini.
Lebih jauh dari itu, di tengah dinamika global dan lokal sebagaimana tertera di awal tulisan, Suklu, dosen ISI Denpasar ini, menyadari benar pentingnya memiliki suatu sikap kritis yang bertitik pijak pada kultur lokal demi menghindari alienasi.
Terkait hal itu, kita pun mengetahui bahwa Suklu memiliki keistimewaan, terutama kepiawian mencurakan emosi dalam karya dua dimensinya. Sedari awal, Suklu selalu menghadirkan figur-figur ibu dalam kanvas, baik sebagai protes sosial, terkait fenomena kehadiran Megawati Soekarnoputri pada seri terdahulunya, maupun sosok ibu di dalam pengertian paling pribadi selaku pelindung yang menenteramkan. Kini figur ibu hadir dalam pemaknaan yang lebih luas, yakni sebagai Pertiwi, ibu bumi.
Menariknya, pada karya dua dimensi kali ini, kita dapat melacak kecenderungan kedua Suklu untuk menimbang identitas ke-Bali-annya. Identitas itu tercermin dari pola stilistik dasar repetitif seri karya abstrak “geometris” yang memang menjadi bagian dari pekerjaan kreatifnya sejak beberapa tahun in. Salah satu ciri yang paling menonjol dari estetika Bali, baik dalam musik, tarian maupun tentu saja di seni rupa, ialah pengulangan atau semi-pengulangan dari patron-patron “jadi” yang dikombinasikan satu sama lain secara “musikal”, dengan irama sebagai benang merah keutuhannya.
Apa yang dicapainya secara visual ini ialah suatu keberhasilan mengangkat struktur dasar dari sistem rupa Bali . Akan tetapi, tidak berhenti sampai disitu saja, pencapaian ini terbukti mencerminkan pula kemampuan Suklu dalam mentransformasi unsur fundamen lokal menjadi bagian dari bahasa ucap global, sesuatu yang tidak mudah dicapai, terlebih lagi mengingat kecenderungan seniman kini untuk menelan begitu saja, baik bentuk maupun isi (ikon), dari apa yang diandaikan sebagai global itu.
Dalam seri dua dimensi lainnya, kaligrafi atas kertas, yang sekilas tak terlihat unsur lokalnya, pantas mendapat tinjauan lebih. Ini adalah karya-karya Suklu paling mutakhir sepulang dari lawatannya ke Cina untuk mengikuti Beijing International Art Biennale beberapa waktu lalu. Sebelum lebih jauh, bolehlah diajukan tanya: apa itu kaligrafi? Apakah sekadar sistem tulisan untuk menyampaikan pengertian yang nyata, atau lebih dari itu? Di Cina sendiri, yang tersohor dengan warisan seni kaligrafinya, tak ayal kaligrafi adalah sarana untuk menyampaikan lebih dari sekadar paduan kata.
Terdapat upaya otonom untuk meraih esensi keindahan melampaui pemaknaan harfiahnya. Sudah beberapa puluh tahun peluang pemaknaan ini dimanfaatkan, bahkan jauh dari asalnya di Asia Timur, oleh para pelukis abstrak tersohor semisal Tobey di Amerika Serikat, Mathieu, Hartung dan Soulages di Perancis. Yang hendak dicapai mereka, termasuk pelukis Made Wianta dan Van Oel di Bali, ialah mencari esensi bentuk, sekaligus esensi ekspresi dan tentulah esensi arti. Di manakah Suklu berada?
Bagi dia, dalam konteks ini, Cina dengan sejarah kaligrafi dan fenomena seni rupa kontemporernya, bukanlah melulu acuan tak terbantahkan dari keglobalan dan kekinian kita ini, yaitu bukan sesuatu yang sepenuhnya hendak ditiru dan “ditelan mentah-mentah”, melainkan sebuah jeda tempat ia sejenak merenung ulang jati diri dan tahapan kreatif terkaitnya.
Beijing yang dikunjunginya jauh dari apa yang diduga. Lambang “keglobalan” yang dihadirkan di Lapangan Tiananmen dan Kota Terlarang mendorongnya untuk mengkritisi dan sekaligus merefleksikan anggapannya selama ini terhadap fenomena Cina, termasuk seni rupa, dan lalu menuangkannya berupa ratusan sketsa dan torehan spontannya. Sebagian dipilih dan dipajang pada kesempatan eran padi Gaya kali ini.
Dari karya tersebut segera terbaca satu paradoks dari globalisasi dan berikut tawaran penyelesaiannya. Di satu sisi, kenyataan kasat mata menunjukkan bahwa anggapan yang dipandang “baku” tentang sesuatu haruslah selalu dikritisi agar tidak menimbulkan bias yang menyesatkan, tak terkecuali pernyataan dan citraan umum tentang globalisasi. Tampilan kaligrafinya menegaskan kepada kita bahwa Suklu, meski Cina bagian dari Timur pula, telah menyadari masalah alienasi yang boleh jadi mengungkungnya, baik dalam tataran pemikiran maupun di dalam tindakan karyanya. Seri kaligrafinya menorehkan dua pemahaman.
Di satu pihak Suklu menekankan ulang, melalui gerak spontan sapuan, tentang kesejatian elan kreatifnya yang telah lama menjadi ciri karya dua dimensinya. Dilihat dari perspestif evolusi kreativitasnya, hal ini boleh jadi menandakan kembalinya Suklu kepada kekuatan esensial seninya. Setelah sekian lama berada di dalam pola jejaring abstrak yang repetitif, agaknya dia kini tengah menggulirkan momentum dinamika ekspresi dirinya yang lepas bebas, yang gelagatnya, bahkan hingga kini telah senantiasa menjadi bagian seri karya hitam putihnya dan tentunya, kaligrafi ini.
Suklu, setelah menyikapi tiga simpang pilihan yang diuraikan pada awal tulisan ini, akhirnya menyadari duduk soal dari “masalah” yang dihadapinya seraya menepis bias bahwa globalisasi, dengan ikon-ikonnya, ternyata bukanlah suatu kepastian nilai universal, melainkan semata alat komunikasi/ekspresi. Keuniversalan haruslah ditemukan dan dihayati justru dari kenyataan paling akrab dari kekinian lokal-nya. Melalui pameran tunggal nan reflektif ini, Suklu kuasa memilah yang mana yang kacang dan yang mana kulitnya. Meraih Bali yang global dalam kelokalannya. [b]
Catatan: Tulisan ini merupakan kurasi atas pameran tunggal Suklu di Gaya Fusion Art Space 26 Juli-26 Agustus 2008. Tulisan diedit seperlunya hanya untuk kenyamanan membaca tulisan ini di internet.