Desimawaty Natalia Hutabarat dan Lily Darmayanti di Space X BaleBengong berkeluh kesah tentang akses pejalan kaki dan transportasi publik di Bali. Desi dan Lily adalah penerima beasiswa liputan Citizen Science AJW 2024. Sebagai pewarta warga, mereka meriset sekaligus meliput topik Akses Pejalan Kaki.
Desi dan Lily menceritakan pengalaman selama menaiki transportasi umum dan berjalan kaki. Fokus pengamatan keduanya berada di Sanur, Ubud, Kuta dan Canggu. Melalui X Space pada Senin (13/05), Lily menjelaskan ada beberapa hal yang memprihatinkan. “Sanur, jarak halte turun dan berhenti masih agak jauh. Kondisi trotoar sangat memprihatinkan dan halte butuh perbaikan,” tutur Lily.
Hasil pengamatan juga dijelaskan oleh Desi. Ia merasakan bahwa supir bus Trans Dewata ngebut. Ia mengungkapkan hal ini dapat menjadi salah satu faktor minat masyarakat yang jarang naik transportasi publik. Desi dan Lily juga membandingkan kualitas antara transportasi satu dan lainnya. Bagi Desi, Sarbagita jauh lebih nyaman dibandingkan Trans Metro Dewata (TMD).
“Sarbagita lebih enak dan nyaman, ramai dan ada pramujasa bisa membantu dibandingkan ke Trans Dewata karena kebingungan gak bisa pakai QRIS, itu ga boleh naik,” ujar Desi.
Diskusi bertajuk Apakah Bali Enak untuk Pejalan kaki ini juga menghadirkan Ngurah Termana dari WRI Indonesia. Pada isu liputan akses pejalan kaki, Termana mengungkapkan penyusunan kebijakan berkeadilan penting dilakukan. “Mendorong pemerintah bagaimana membuat akses pejalan kaki yang bagus, publik transport yang murah,” ucap Termana.
Baginya, Bali sudah lama kehilangan budaya jalan kaki. Ada beberapa faktor penyebabnya, seperti kebijakan terkait transportasi dan infrastruktur. Akses ke tempat strategis yang kian jauh ditambah kemudahan kredit kendaraan pribadi, membuat budaya jalan kaki dilupakan. Termasuk transportasi umum pendukungnya seperti bemo yang mulai redup pada era 90-an.
Penting Bali memiliki transportasi berkeadilan untuk mengurangi kemacetan dan memihak mereka yang termarjinalkan. Indikatornya kota kita tidak mengapresiasi atau mendesain agar kita bisa mobile secara adil. pola pola pembangunan dimudahkan privatisasi dan berpihak pada pola konsumsi. mengharuskan kita hidup memenuhi dengan kendaraan.
Kerap ditemui kebiasaan jalan kaki yang hilang. Misalnya, ke warung dekat rumah harus naik sepeda motor. Atau ke bale banjar untuk pertemuan adat di Bali, harus naik motor. Masyarakat kian ketergantungan terhadap kepemilikan kendaraan pribadi. Ini berdampak juga pada pola hidup sehat yang berkurang, yaitu dengan berjalan kaki.
“Kegelisahan ini perlu dibagikan secara menyeluruh dan perlu politicall will yang lebih serius terkait transportasi publik ini,” ujar Termana.
Mengutip situs resmi Pemprov Bali, pendapatan asli daerah (PAD) Bali berasal dari dua sumber, yaitu pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Data terakhir tahun 2019, realisasi anggaran induk hingga perubahan, maksimal peningkatan pajak yang didapat Pemprov Bali mencapai Rp700 miliar. Koster mengungkapkan sistem PAD ini berdampak negatif, seperti penambahan kendaraan bermotor dan kemacetan di Bali.
Bagaimana solusi dari warga terhadap akses pejalan kaki dan transportasi publik? Nantikan terbitan liputan Desi dan Lily.