“Semua LPD yang sudah bangkrut pakai modus ini, termasuk Anturan (kasus korupsi Rp 151 miliar).”
Bali – Begitu pengakuan terduga pelaku tindak pidana korupsi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Ngis, I Nyoman Berata (48), pada awal tahun 2022 kepada Bendesa Adat Ngis, I Made Arjaya Mantha (46). Saat itu Berata dituntut mempertanggungjawabkan keberadaan dana LPD sebanyak hampir Rp 24 miliar.
Kasus di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini mulai terkuak saat masa COVID-19. Saat kami datang ke LPD Desa Adat Ngis pada pertengahan Mei 2024 lalu, tampak barang-barang yang pernah digunakan Berata selama menjalankan tugas sebagai Ketua LPD Desa Adat Ngis, masih tersimpan rapi di ruangannya. Tidak ada satu pun yang diizinkan menyentuh inventaris kantor tersebut, terutama laptop dan komputer yang diduga menyimpan banyak data dan alat bukti.
Penyidik Polda Bali telah menyita hampir 80 persen dokumen fisik terkait transaksi dan operasional LPD. Hanya tersisa beberapa tumpukan dokumen di pojok ruang pertemuan kantor. Meskipun operasional LPD mulai dijalankan kembali dan para pegawai bekerja seperti biasa, namun diakui keuangannya bobrok, telah hancur lebur.
“Saya syok! Tidak masuk akal dia (Berata) bisa berbuat seperti itu. Kalau orang tidak paham prosesnya, pasti disebut kasus ini ngae-ngae (rekayasa). Bahkan auditor mengatakan sudah sangat mahir ini (modusnya). Saya sempat tanya dia (Berata) langsung di sini, di ruang pertemuan ini dan ada saksi. Berapa kamu gelapkan uang? Apakah 3 miliar, 5 miliar, 7 miliar? Katanya lebih. Mendengar itu saya langsung putuskan tutup sementara. Sudah tidak ada cukup uang, tidak bisa diselamatkan LPD ini,” jelas Bendesa Adat Ngis yang juga merangkap Pj Ketua LPD Desa Adat Ngis, I Made Arjaya Mantha, Jumat (17/5/2024).
Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti keberadaan Berata. Dia beserta keluarganya diduga pergi meninggalkan Desa Ngis saat tengah malam untuk menghindari amukan massa. Menurut Arjaya, selama bertugas menjadi Ketua LPD sejak tahun 2008, Berata dikenal sosok yang sangat sederhana, spiritual, dan tidak pernah membuat masalah. Bahkan tidak pernah mau mengambil libur dan kerap lembur bekerja sendiri di kantor.
Sebagian besar nasabah LPD Desa Adat Ngis adalah masyarakat setempat yang sudah puluhan tahun menabung di sana. Mereka menaruh kepercayaan yang begitu besar. Banyak pula yang dalam jangka waktu lama tidak pernah menarik deposito. Tidak sedikit yang melakukan penyetoran tabungan tanpa datang ke kantor LPD, melainkan menyerahkan dana secara langsung atau transfer ke rekening pribadi Berata. Mengapa mereka mau? Karena nasabah terlalu percaya.
Berata diduga memanfaatkan kepercayaan serta kuasa penuhnya untuk bebas mengotak-atik data dan menyajikan laporan-laporan palsu, termasuk membuat kredit fiktif dan menduplikat kunci brankas. Tanpa ada yang mencurigai, tanpa ada yang mempertanyakan kondisi riil keuangan LPD.
“Dalam laporan disebut dana cadangan ada Rp 1,9 miliar. Tapi ternyata riilnya hanya sisa Rp 3 juta. Menurut keterangan kepolisian, dia sudah bermain dari jauh sebelum jadi ketua, yaitu sejak jadi bendahara. Makanya proses hukumnya lama dan panjang, sehingga data-data ke belakang terus dibuka,” imbuh Arjaya yang menjabat sebagai Bendesa Adat (pengawas LPD) sejak 2019.
Arjaya mengakui bahwa selama ini pengawasan di LPD sangat lemah dan pasif. Semuanya percaya begitu saja dengan laporan yang disampaikan, hanya sebatas melihat angka akhir tanpa melakukan pengecekan lebih lanjut. Terlebih selama ini Lembaga Pemberdayaan (LP)-LPD yang dibentuk oleh pemerintah Provinsi Bali selalu memberikan penilaian dan peringkat bagus untuk LPD Desa Adat Ngis.
“Saya sebagai Bendesa Adat hanya membuka rapat. Dulu hasilnya selalu dilaporkan baik. Sampai tepuk tangan semuanya waktu hasil disampaikan. Biasanya tiga bulan setelah tutup buku, LPD wajib melakukan laporan pertanggungjawaban ke krama desa,” imbuhnya.
Auditor LP-LPD disebut melakukan audit ke LPD Desa Ngis sekali dalam satu tahun. Proses audit berlangsung selama 2 – 3 jam. Penilaian yang dilakukan berdasarkan laporan yang disetorkan oleh ketua LPD. Hasil audit lalu disampaikan oleh ketua LPD dalam paruman (rapat krama desa) dan diperkuat dengan penjelasan LP-LPD. Sementara Bendesa Adat dan prajuru lainnya hanya mendengar laporan. Arjaya juga mengamini tidak ada panduan yang jelas apa saja tugas dan fungsi pengawasan seorang Bendesa Adat. Kondisi itu diakui pula oleh Ketut Rumastika, mantan Bendesa Adat Desa Ngis, bahwa Bendesa Adat tidak memiliki kemampuan yang memadai sebagai pengawas LPD.
Penilaian LP-LPD Tak Jadi Jaminan
Saat ini total ada 707 nasabah. Sementara sebelumnya tercatat 1.002 orang. Pada penilaian kesehatan LPD Desa Adat Ngis yang dilakukan oleh LP-LPD, untuk periode Desember 2023, tertulis hasilnya (Nilai Camel dan Kriteria) 58,75, alias Kurang Sehat. Pada satu lembar kertas hasil pemeriksaan yang kami dapatkan, disebutkan nilai kesehatan camel plus merupakan hasil menurut sample kredit.
“Nasabah yang tabungan deposito maupun sukarelanya tidak ada di sistem (hilang digelapkan), untuk saat ini kami belum bisa pertanggungjawabkan. Apalagi kalau uang itu tidak pernah masuk ke sistem (diberikan langsung ke Berata), kan memang harus dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh saudara Nyoman Berata. Tapi tetap kami investariskan datanya. Banyak nasabah menekan saya biar dana itu dikembalikan, dimasukkan ke sistem. Logikanya, ketika ada dana masuk ke sistem, itu tentu akan berpengaruh ke kas. Nanti jika sudah ada ketetapan hukum Berata ini bersalah, kita akan duduk bersama lagi mencari solusi (untuk dana nasabah yang hilang),” terang Arjaya.
Sementara itu, Kepala LP-LPD Provinsi Bali, I Nengah Karma Yasa menjelaskan bahwa penipuan data laporan LPD disebut dengan window dressing. Apabila hal itu terjadi, maka otomatis sebuah LPD kondisinya tidak sehat.
“Penilaian kesehatan (LPD) tidak mencerminkan apakah ada korupsi atau tidak. Maka pertanyaannya, mengapa laporan bagus, tapi ternyata terjadi korupsi?” ucapnya saat ditemui di kantor LP-LPD Provinsi Bali, Selasa (23/7/2024).
Menurutnya, modus penggelapan dana yang sulit dideteksi oleh LP-LPD adalah pinjaman kredit dan deposito atau tabungan masyarakat yang tidak disetor ke LPD, tapi langsung diserahkan ke pribadi petugas LPD. “LP-LPD tidak mungkin tahu itu. Yang paling tahu dan bisa mendeteksi hanya nasabah itu sendiri. Ini kelemahan sistem audit yang di pemberdayaan, LP-LPD tidak bisa menusuk sampai ke situ,” imbuhnya.
Ia menegaskan, sesungguhnya untuk melakukan audit di satu LPD, petugas lapangan LP-LPD setidaknya perlu waktu minimal 7 hari kerja, itu pun apabila dokumen-dokumen yang diserahkan lengkap dan tanpa koreksi. Ada tiga poin yang diaudit, di antaranya Struktur Pengendalian Intern, Kepatuhan, dan Substantif. Saat ini ada 69 pegawai LP-LPD di seluruh Bali dan 50 di antaranya adalah petugas lapangan yang melakukan audit. Sementara jumlah keseluruhan LPD mencapai hampir 1.400. Menurutnya, idealnya total ada 130 pegawai LP-LPD.
Dengan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut, Karma mengatakan petugas kesulitan untuk melakukan audit secara maksimal, terlebih sesungguhnya mereka tidak memiliki lisensi auditor, perannya hanya sebagai editor pemberdayaan. Jadi wewenang LP-LPD terbatas, mereka tidak boleh melakukan investigasi. Apabila ditemukan kejanggalan, mereka hanya memberikan catatan dan rekomendasi, kemudian menyerahkan ke Desa Adat untuk mengambil tindakan lebih lanjut.
“LPD Desa Adat Ngis kan sudah ditangani oleh Polda, sehingga LP-LPD tidak bisa masuk. Apabila sudah ditangani Aparat Penegak Hukum, Desa Adat juga tidak bisa mengotak-atik. Sekarang LPD masuk masa tantangan yang luar biasa,” ucapnya.
Karma kemudian menunjukkan laman LPD Information and Reporting System, yang hanya bisa diakses oleh petugas LP-LPD. Di dalamnya memuat catatan kondisi LPD di seluruh Bali dari tahun ke tahun. Sebelum tahun 2021, LPD Desa Adat Ngis ditandai dengan warna hijau yang berarti dalam kondisi sehat. Namun selama tahun 2021 berubah menjadi kuning. Lalu pada Januari dan Februari 2022, kondisinya tidak terdeteksi dan sejak saat itu hingga kini terpantau merah.
“Ini menunjukkan dia awalnya bagus-bagus saja. Mungkin asetnya kecil nih masih bagus. Setelah itu mulai 2021, sudah mulai gejala-gejala kuning, menunjukkan ada sesuatu di situ. Per LPD bisa kelihatan di sini (kondisinya). Tetapi ini berdasarkan data yang diberikan oleh dia (LPD),” jelasnya.
Pelaku Diduga Gunakan Dua Sistem Pembukuan
Satu di antara para nasabah yang dananya digelapkan dan dilaporkan tidak ada di sistem adalah pengusaha Komang Sukadasna, pemilik usaha Pia Susu Dian. Deposito milik Sukadasna termasuk yang paling besar. Karena tidak berhasil menempuh jalur mediasi secara kekeluargaan, serta tidak ada kepastian kesanggupan Berata untuk mengembalikan dana nasabah, akhirnya Sukadasna melaporkan Berata ke Polda Bali. Sebelumnya Berata mengatakan hanya sanggup membayar Rp 500 ribu per bulan.
“Ada dua sistem dia pakai, di depan beda sistemnya dengan di belakang. Di meja Ketua LPD satu, di meja penerima nasabah satu. Saya cek gak ada namanya. Saya juga terkejut. Saya tanya “Ini namanya Komang Sukadasna kok gak ada?” Dia punya deposito paling besar lho, Rp 3 miliar. Semua staf kecolongan. Akhirnya saya pulang dan sampaikan ke adik, ‘Uang kita gak ada. Jangankan uang, nama kita dalam sistemnya LPD itu sudah hilang,” terang kerabat Sukadasna, Gede Sudiarta, pada Minggu (14/5/2024). Ia juga sempat menemui langsung Berata dan keluarganya.
Lanjutnya, “Sesuai dengan pengakuannya, dia main sendiri. Sampai salah satu penyidiknya bilang susah ditemukan modus seperti ini, makanya Ketua LPD itu menggunakan dana gali lubang tutup lubang. Jadi begini, dia lebih awal berutang dengan menggunakan nama keluarganya. Tapi keluarganya tidak ada yang tahu, adiknya, kakaknya, ibunya, dipakai namanya. Kan dia Ketua LPD, punya wewenang tanda tangan sendiri semua, apalagi nama keluarganya.”
Gede Sudiarta meminta meskipun ada sejumlah nasabah yang namanya telah dihapus dalam sistem, namun seharusnya tetap dikembalikan dananya dan menjadi tanggung jawab penuh LPD. Meskipun dana digunakan secara pribadi oleh Ketua LPD, namun jabatan tersebut melekat. Ke depan, Sudiarta berharap cara pengelolaan LPD harus dirombak total, begitu pula dengan pegawai yang dipekerjakan di dalamnya. Jabatan Ketua LPD perlu dipilih setiap 5 atau 10 tahun sekali.
Tokoh muda Desa Adat Ngis yang juga gencar mengawal kasus ini sedari awal, Kadek Sudantara (35), berharap agar persoalan LPD bisa diselesaikan hingga ke akarnya. Ia meminta Bendesa Adat mengambil langkah tegas untuk menemukan solusi terbaik atas perkara ini. Menurutnya, bukan hanya perkara uang, namun juga nasib banyak orang, warga desa yang tabungan masa tuanya kandas begitu saja.
“Orang tua, coba bayangkan orang tua. Mereka bekerja keras, maburuh membuat canang, membuat banten, sampai bisa nabung Rp 52 juta. Sekarang itu hilang. Coba bayangkan itu. Ada orang tua jualan sate keliling, mungkin itu untuk biaya sekolah anaknya, ditabung sampai Rp juta. Tapi hilang, sampai hampir mau bunuh diri itu,” tegasnya saat ditemui awal April 2024.
Mantan Kepada Dusun Tembok, Made Selamat, sepakat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap LPD harus segera dikembalikan. Begitu pula dengan kekompakan krama desa dan prajuru adat agar tidak ada kecurigaan dan prasangka yang semakin memecah belah dan memperkeruh kondisi.
Proses Audit Terus Berlanjut
Warga sempat mendapat informasi dari tim penyidik bahwa rencananya pada Maret 2024 lalu Berata ditetapkan sebagai tersangka. Namun ternyata proses audit belum selesai dan terduga pelaku masih bebas.
Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Jansen Avitus Panjaitan S.I.K, M.H., saat dikonfirmasi pada Mei 2024 lalu menyampaikan bahwa kasus ini sudah dalam proses penyidikan. Penetapan tersangka belum dilakukan karena dalam proses penyidikan. “Kami menunggu hasil audit serta belum dilaksanakan gelar perkara,” jelas Kombes Pol Jansen.
Kenaikan Kasus Korupsi LPD
Berdasarkan data dari Pengadilan Negeri Denpasar, sejak tahun 2020 hingga 2024, tercatat ada 43 perkara tindak pidana korupsi yang menyangkut LPD. Tahun 2020 ada 3 kasus, tahun 2021 bertambah menjadi 13 kasus, lalu tahun 2022 naik menjadi 15 kasus. Namun 2023 turun, ada 3 kasus, lalu tahun 2024, ada 9 kasus.
Sementara itu, hasil pantauan tim Indonesian Corruption Watch, dari tahun kejadian 2008-2022 dan dengan tahun penyidikan 2021-2023, tercatat ada 20 kasus korupsi yang melibatkan LPD di Bali. Terjadi hampir di seluruh Bali, di antaranya di Jembrana, Klungkung, Badung, Gianyar, Bangli, Denpasar, Buleleng, dan Tabanan. Sebagian besar pelaku utama adalah Ketua LPD, kemudian diikuti oleh bendahara, sekretaris, serta tata usaha. Kasus korupsi terbesar terjadi di LPD Desa Adat Anturan, Kabupaten Buleleng, yakni mencapai Rp 151 miliar dengan pelaku Ketua LPD. (*/tim rahayu)
Bagian 2 kelanjutan artikel https://balebengong.id/puluhan-tahun-menabung-di-lpd-malah-sisa-nelangsa-di-masa-tua-bagian-2/
Bagian 3-akhir artikel https://balebengong.id/siapa-paling-bertanggung-jawab-atas-nasib-lpd-bagian-3/
Tim penulis:
I Komang Doni Kurniawan, Osila, Nabillah Hidayat, Ni Komang Yuko Utami, Ni Ketut Sudiani
*Liputan ini terselenggara oleh Klub Jurnalis Investigasi (KJI) yang merupakan kerja kolaboratif untuk melakukan liputan investigasi isu korupsi antara Indonesia Corruption Watch (ICW), balebengong.id, jurnalis, dan CSO.