Banten untuk binatang ataupun makhluk kecil lainnya yang tidak dilungsur, tidak menggunakan sekali pakai. Bisakah?
Nyepi sejatinya adalah tentang mulat sarira yaitu suatu konsep mawas diri dengan jalan introspeksi diri. Nyepi bukan sekadar tidak boleh tidak menyalakan api, tidak boleh bekerja, tidak boleh bersenang-senang, dan tidak boleh keluar rumah. Nyepi adalah momentum untuk merenungkan diri dan sudah selayaknya dirayakan dengan minim sampah, agar kita tak makin menyakiti bumi.
Beberapa hari lalu saya mengamati perdebatan seru warganet di Twitter tentang tradisi pengarakan ogoh-ogoh yang membuat lingkungan menjadi kotor. Bukankah kita mengarak ogoh-ogoh ketika malam Pengerupukan untuk menetralisir para Bhuta Kala dengan bunyi-bunyian gaduh yang dibuat dengan membunyikan kentongan, mengibarkan api, dan lain-lain, lalu diakhiri dengan membakar ogoh-ogoh tersebut?
Seharusnya keriuhan itu berakhir di malam itu dan kita yang menyaksikan prosesi pengarakan tidak membuang sampah sembarangan ketika menonton. Bukankah salah satu fungsi pendidikan adalah transformasi kebudayaan yang salah satu artinya memperbaiki nilai-nilai yang kurang cocok agar sesuai dengan kondisi saat ini? Kenapa kita tidak mengubah perilaku kita ketika menonton pengarakan ogoh-ogoh dengan tidak membuat sampah?
Kali ini saya tidak akan membahas tentang itu panjang dan lebar, saya mau menyoroti sampah lain yang perlu perhatian kita. Sudah lama saya mengamati plastik sekali pakai terlalu merasuki ranah spiritual kita. Lihat saja, tempat tirta dari plastik kiloan yang bening, jajan-jajan untuk banten terbungkus plastik, hingga ke pura membawa canang dibungkus kantong plastik yang begitu canang dihaturkan, kantong plastiknya langsung masuk tong sampah. Padahal menurut saya, sebenarnya kita bisa mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Menjelang Nyepi tahun lalu saya mulai membuat daftar plastik sekali pakai yang bisa saya kurangi. Saya mulai pengurangan plastik sekali pakai dengan mencari stoples kecil pakai ulang yang dapat digunakan untuk mengemas jajan yang hendak saya haturkan. Setelah berbagai kendala dan pertimbangan, saya mulai menggunakan stoples-stoples itu sejak Galungan lalu. Saya hanya perlu membeli jajan favorit keluarga dalam kemasan besar sebelum didistribusikan ke dalam stoples-stoples kecil. Lungsurannya tinggal saya masukkan kembali ke dalam stoples besar sehingga stoples kecil tetap sukla dan jajan-jajan dapat dinikmati oleh seluruh keluarga.
Staples, material besi untuk majejahitan (membuat sesajen dari janur atau lontar) yang menggerogoti lini spiritual kita adalah sesuatu yang saya usahakan untuk kurangi di Nyepi tahun ini. Ibu saya selalu membuat persiapan jauh-jauh hari, beliau pantang menggunakan staples untuk menjahit perlengkapan upakara. Ibu saya bukan khawatir tentang partikel staples tidak dapat terurai di alam, atau dapat melukai kita jika tak sengaja terinjak di bagian yang tajam.
Ibu saya menganggap bahwa staples itu tidak mampu menjahit selepan dalam jangka waktu yang lama. Saya pun mengurangi penggunaannya di janur. Saya menggunakan semat (lidi dari bambu) untuk menjahit canang, sampian dan berbagai keperluan lainnya. Tidak mudah sebab sudah lama saya dimanjakan oleh staples, hingga semat di rumah jadi layu dan jari-jari saya terluka terkena semat.
Saya menutup tahun baru Caka 1943 dengan bersembahyang di rumah, menghaturkan sayut dengan tipat sirikannya (sesajen) lalu natab banten Kesanga. Banten kami juga masih menggunakan plastik kiloan untuk membungkus jajan begina dan reta, karena ibu tidak mau jajan yang dibuatnya itu basah ketika terkena hujan. Ibu saya tidak mau jajan yang kami haturkan, tidak dapat dikonsumsi lungsurannya dan berujung menjadi sampah. Saya masih berusaha mencari jalan tengah untuk masalah ini, barangkali nanti saya akan mencari stoples-stoples yang dapat mengakomodasi keperluan saya ini.
Saya juga masih mengemas canang dengan kantong plastik agar muat di kulkas dan mudah dibawa ketika bersembahyang ke pura. Hanya saja plastik yang saya gunakan itu adalah bekas membeli bunga. Lalu ketika ke pura, saya menyimpan kembali plastik yang saya gunakan untuk mengemas canang, agar bisa digunakan kembali untuk membeli bunga ataupun membawa canang ke pura lagi.
Semua perlengkapan sembahyang (canang, banten, bunga yang dibungkus daun pisang, stoples tempat tirta), saya masukkan dalam tas kain sukla sehingga saya tak perlu membawa kantong kresek merah yang besar ke pura. Saya masih pakai kantong plastik, oleh karena itu saya berusaha memperpanjang usia pakai kantong plastik itu, hingga nanti robek dan tak bisa dipakai ulang lagi.
Bagi saya ini bukan tentang kesempurnaan. Namun, tentang cara kita berusaha mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Atau paling tidak untuk memperpanjang usia plastik sekali pakai yang telanjur kita miliki di rumah. Orang lain barangkali sudah memulai lebih banyak, tetapi bukan berarti usaha kecil kita tidak berarti.
Bukankah mengurangi 1 saja penggunaan plastik sekali pakai jauh lebih baik daripada tidak memulai sama sekali. Kemudian ayo kita perlahan-lahan mencoba mengurangi yang lainnya. Mari, kita lebih mengapresiasi perilaku-perilaku kecil yang sudah kita lakukan untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kalau kamu punya cerita atau pendapat lainnya, ayo kita berdiskusi.