Oleh I Nyoman Winata
Banyak perubahan terjadi pada sosio cultural masyarakat Bali. Perubahan pola perilaku dan pandangan adalah yang utama. Salah satunya adalah sikap permisif orang-orang Bali atas sesuatu yang melanggar norma etika dan ajaran agama memang sudah melebihi ambang batas. Akibatnya banyak tindakkan yang tidak lagi mengindahkan norma etika moral dianggap sebagai hal yang biasa.
Dalam konteks korupsi, lihatlah bagaimana perlakukan masyarakat kepada mereka yang patut diduga sebagai koruptor,dihormati, dielu-elukan dan diberikan tempat terhormat. Mungkin di sekeliling kita banyak yang menjadi pelaku korupsi, mungkin pejabat rendahan di kelurahan misalnya, sampai pada pejabat tinggi di kecamatan atau kabupaten/kota dan seterusnya. Meski mereka layak di duga dan mungkin sudah ada yang pernah memeras rakyat, toh para pejabat ini tetap dihormati. Bahkan yang lebih gila lagi, ketika pemilihan dilakukan secara langsung, mereka yang terindikasi koruptor ini justru dipilih.
Dalam lingkup yang lebih kecil, sikap permisif ditunjukkan masyarakat dengan memberi ruang kepada pelanggar-pelanggar nilai moral, etika, dan ajaran agama. Bebotoh, penjudi sampai pelaku selingkuh tidak mendapat perlakukan apapun karena sudah dianggap sebagai hal biasa.
Yang paling nyata bisa dilihat dalam konteks prilaku masyarakat Bali yang pemisif adalah soal Seks bebas. Orang tua tidak risi lagi ketika anaknya yang masih pacaran sudah tidur satu kamar dengan sang pacar dirumahnya! Prilaku ini sudah tidak dianggap “ngeletehin”, bahkan orangtua merasa senang kalau anak dan pacarnya sudah seperti suami istri padahal belum resmi menikah. Di Jawa, orang tua masih berusaha memegang teguh prinsip-prinsip menentang seks bebas. Kalau anaknya sudah terlihat gejala-gejala tidak tahan mau kawin, orangtua akan cepat-cepat mendorong mereka agar menikah. Pokoknya jangan sampai hamil sebelum menikah, karena kalau sampai terjadi, orang tua akan malu bukan main.
Lalu, dalam soal judi tajen, meceki, dipura atau dirumah orang punya hajatan. Coba kalau ada yang berani dengan tegas melarang. Saya yakin orang yang melarang itu justru akan dicemooh, di”walek” habis-habisan dan diberi gelar sok suci. Akibatnya prilaku judi maceki dan tajen jadi lumrah, sudah jadi kebiasaan. Ironisnya prilaku-prilaku ini kemudian dianggap bukan lagi hal yang harus dikatagorikan melanggar ajaran agama. Apalagi kalau pemangkunya juga ikut main ceki dan metajen. Lalu hal yang menunjukkan betapa luar biasanya sikap permisif yang bisa membunuh kita bersama-sama ini bukan dianggap hal yang gawat. “Semua ini adalah realitas yang biasa-biasa saja,” kata banyak orang Bali. Akh, saya semakin tidak paham.
Entahlah, mungkin ketika tiba saatnya nanti orang Bali saling bunuh dan itu dilakukan orang banyak, maka itu juga akan jadi hal biasa.
speechless membaca ini bli. ntar malam saya lagi kasi komen bli.
Setuju dgn Anda, Skrg ini sikap permisif orang-orang Bali atas sesuatu yang melanggar norma etika dan ajaran agama memang sudah melebihi ambang batas, tapi kalau kita protes, kesannya dianggap orang suci, malah kita yg diejek2. Ya mungkin karena masa jaman kaliyuga, akhirnya kita mesti sadar dan sabar, segala sesuatunya mesti dipasrahkan. Paling tidak, kita sendiri berusaha utk mencoba berbuat lebih baik. 🙂 dan tentunya mencoba menularkan hal-hal yg baik dilingkungan terdekat. Suksma.
Duh… jangan di generalisasi seperti itu donk. Tidak semuanya seperti itu. Jangan terlalu paranoid.
*Peace
Setuju, dan sepertinya wabah sikap permisif ini terjadi bukan hanhay di Bali, tapi di seluruh Indonesia. Masyarakat selalu saja mengkambing-hitamkan pemerintah atas semua hal, namun sebaliknya masyarakat selalu bersifat permisif terhadap pelaku pelanggaran aturan.
salam kenal,
deden m. ihsan
Sulit bagi saya membedakan antara budaya/tradisi dan kegiatan yang berkenaan dengan agama dalam kehidupan masyarakat hindu di bali. Bisa jadi sikap permisif yang timbul tersebut adalah hal-hal yang berkenaan dengan tradisi, seperti meceki, dan tajen (tapi mungkin tidak untuk seks bebas). Tetapi diakui oleh Gubernur bali sendiri, tradisi tsb memang sudah kebablasan karena berkaitan dengan judi (dalam parameter islam).
Jika saya memisahkan konteks seks bebas, mungkin ga sih itu proses akulturasi barat dengan lokal, terutama di bali yang notabene memiliki wisman terbesar di seluruh provinsi di Indonesia? Bali yang memiliki potensi alam yang indah sebagai daya tarik wisata, kemudian itu menjadi motor penggerak utama perekonomian masyarakatnya sehingga mesyarakat pun berusaha mendukung kegiatan yang berkenaan dengan pariwisata. Akuluturasi? mungkin itu bisa jadi ‘outcome’ negatif dalam sikap permisif masy bali.
Mari kita saling mengingatkan dan memberi contoh yang baik secara konsisten terhadap soudara2 kita di bali, agar kedepannya sumberdaya dan polah pikir mereka lebih terbuka dan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Saya bukanlah orang Bali, tapi saya sangat menyayangi soudara2 saya di bali semuanya tanpa kecuali, kita satu negara dan satu bendera. Saya hanya tahu semua yang ada di negara kesatuan RI adalah soudara saya. Untuk semua soudara2 saya di bali, mari kita bangun manusia yang cerdas menujuju kehidupan yang damai dan bermartabat. Salam