
Pada dewasa hari ini, jika melihat sebuah video yang teramat menyentuh, selalu terselip pertanyaan yang melelahkan dalam benak, apa aku dikibuli lagi kali ini?
Dalam kurun waktu setahun terakhir, rasanya berselancar di media sosial seperti permainan teka-teki yang tidak ada habisnya. Lima hingga sepuluh kali dalam sebulan terakhir, ada saja video yang saya jumpai di media sosial, uniknya saya hampir sering dikibuli. Grafik, hingga kualitas video tersebut memancarkan realitas yang sulit untuk dikenali dengan cepat keasliannya.
Sebagai contoh, beberapa minggu lalu sambil bersantai di atas ranjang saya mencoba melihat tren-tren untuk ide menulis di sebuah aplikasi konten audio-visual yang paling digemari anak muda. Setelah scrolling selama beberapa detik, saya berjumpa 2-3 video yang satu langsung membuat saya merasa iba, yang satu membuat saya syok (kok bisa orang berbuat seperti itu), yang satu membuat saya kaget (kok bisa sih pejabat ngomong begitu). Kalau bisa, saya ingin menyajikan link-link video tersebut di sini, sayangya karena terlalu kesal bahwa saya terkecoh, saya membuang konten tersebut jauh-jauh dan berharap tidak menemukannya lagi. Rasanya konyol sekali saat dibodohi oleh AI.
Apakah saya satu-satunya yang terkecoh oleh konten-konten seperti itu? Untung tidak untung, ternyata saya tidak sendiri (setelah membuka kolom komentar video-video buatan AI tersebut ternyata lumayan banyak yang dikibuli kemudian berkomentar seperti “aduh gue kira beneran, ternyata AI”, “kegocek AI”, “udah nangis liatnya ternyata AI” dan sebagainya. Tapi syukurnya masih banyak yang peduli dan membantu memverifikasi di kolom komentar bahwa video tersebut bukan asli melainkan AI)
Tapi bayangkan orang-orang yang mungkin tidak mengecek kolom komentar, kemudian sudah termakan framing media, apa yang akan terjadi? Tanpa mengetahui kebenarannya, orang-orang bisa turut membagikan konten-konten seperti itu dengan percaya bahwa orang lain juga pantas tahu dan konten layak dibagikan (padahal mereka tidak tahu itu direkayasa).
Jika kemudian sebuah video berdurasi 30 detik tentang kecelakaan muncul, reaksi pertama saya bukanlah simpati, melainkan pertanyaan reflex yang muncul: “Ini asli atau AI sih?”
Lama-lama, untuk membedakan konten-konten tersebut menjadi melelahkan. Kita tidak hanya mengalami overload informasi tetapi mengalami digital fatigue yang membuat kehabisan energi untuk terus mengecek kebenaran visual dan audio di era konten sintetis.
Digital fatigue umumnya berarti kelelahan fisik, mental, dan emosional akibat paparan teknologi dan interaksi online terus-menerus. Alhasil kelelahan verifikasi terhadap konten AI vs Asli, bisa berdampak pada ketidakmampuan atau ketidaksediaan untuk melakukan pengecekan keaslian terhadap gambar, video, atau audio karena biaya kognitif yang terlalu tinggi dan frekuensi yang tak tertahankan.

Apa dampaknya jika kita terlalu lelah?
Selama lebih dari satu abad, foto dan video menjadi bukti paling kuat dari sebuah peristiwa. Tetapi hari ini, kemampuan AI generatif membuat standar itu runtuh.
Di TikTok, video AI dapat menipu mata tanpa upaya. Di X dan Instagram, wajah tokoh publik dapat dipasang pada tubuh siapa pun dalam waktu sepersekian detik.
Banyak gambar AI memiliki pencahayaan sempurna, komposisi ideal, dan ekspresi yang pas menyerupai aslinya. Dilansir dari laman Kumparan, berdasarkan riset terbaru Luminate dan Ipsos ditemukan sebanyak 42 persen masyarakat Indonesia yang merasa konten AI tidak akan memengaruhi pandangan politik mereka, justru mengaku tidak yakin mampu membedakan konten buatan Artificial Intelligence (AI) dari konten asli di media sosial.
Dalam riset Cornell University (2023), tingkat keberhasilan partisipan dalam menebak apakah sebuah gambar wajah merupakan hasil AI atau gambar asli hanya mencapai 62 persen, menunjukkan bahwa manusia masih kesulitan mengenali deepfake meskipun merasa percaya diri terhadap penilaiannya.
Studi dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, juga menunjukkan bahwa social media fatigue (kelelahan media sosial) terkait erat dengan kepercayaan dan penyebaran misinformasi. Mereka menemukan bahwa orang yang merasa lelah oleh media sosial lebih mungkin mempercayai berita palsu atau membagikannya.
Proses memeriksa fakta (fact-checking) tidaklah mudah, sebab butuh waktu, pikiran analitis, dan energi mental. Sebuah studi menggunakan eye-tracking pada pembaca berita COVID-19 menunjukkan bahwa beban kognitif meningkat ketika orang mencoba menilai klaim benar atau salah.
Di fase ini, bukan hanya informasi palsu yang menang, tetapi ketidakpercayaan kolektif yang mulai mengakar. Kita mulai meragukan semua hal. Ketika gambar bencana muncul, kita tak lagi sigap membantu namun memastikan apakah itu nyata atau rekayasa. Ketika seorang pejabat menyampaikan pernyataan kontroversial, respons pertama kita mungkin bukan untuk memahami konteks, tetapi memastikan, “Apakah itu dia asli atau suara AI yang dipasang?”
Pentingnya Transparansi & Labelisasi Konten AI
Transparansi bisa jadi kebutuhan untuk menjaga ekosistem informasi tetap sehat. Ketika audiens bisa langsung mengetahui bahwa suatu konten merupakan hasil AI, mereka dapat menyesuaikan ekspektasi dan tidak membuang energi mental untuk menyelidiki keasliannya.
Transparansi bisa menjadi pagar pertama agar masyarakat tetap memiliki orientasi, dan tidak tersesat dalam gelombang konten sintetis yang diproduksi tanpa batas.






![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)

