Teks Benito Lopulalan
Lelaki itu menatap dingin pada lima orang bandit yang menggoda seorang perempuan. “Bukan begitu caranya memperlakukan perempuan,” katanya dingin.
“Kau mau apa!” bentak bandit-bandit itu. “Tidak penting. Maaf kalau mengganggu,” kata lelaki itu. Sejurus kemudian, serentetan tembakan membuat para bandit terjungkal. Lelaki jagoan pembasmi kejahatan itu bernama Jango, baca: jenggo.
Jagoan dalam film koboi, nasi bungkus di Bali. Jinggo, jenggo,… tulisan ini ada di banyak tempat di berbagai tempat di Bali. Jual nasi jenggo, begitu lengkapnya. Sekepal nasi ditemani potongan kecil ikan atau keratan daging ayam atau daging sapi, sejumput sayur, mi goreng, lalu sambal pedas yang mirip sambal bajak; dimakan sambil duduk lesehan di trotoar atau di atas kendaraan.
Makanan ini bisa dibandingkan dengan ‘nasi kucing’ atau ‘sego sadukan’ (sego sadukan artinya nasi setendang), sebungkus nasi yang habis dalam satu kali tendangan. Nah, nasi kucing Bali alias nasi jenggo ternama di Denpasar ada di jalan Thamrin, juga di depan pasar Kumbasari. Di tempat-tempat itu, sejak matahari terbenam orang duduk di trotoar dan berderet bercengkerama sambil menikmati makanan. Itu bukan berarti bahwa nasi jenggo cuma ada di sana, makanan ini praktis muncul di semua jalan utama di Denpasar.
Ada yang mengatakan bahwa nama jenggo berasal dari jigo atau cenggo, seribu limaratus. Tapi penjelasan untuk nama ini tidak cukup memuaskan, bisalah dibilang sangat meragukan, karena makanan ini sudah bernama begitu waktu harganya masih jauh di bawah seribu. Namanya nasi jenggo ketika berharga dua ratus limapuluh rupiah di awal 1980-an, namanya jenggo juga ketika berharga lima ratus atau seribu.
Nasi jenggo pertama kali muncul di sekitar daerah Suci, tempat yang sangat ternama di Denpasar sebelum tahun 1980-an. Maklumlah di tempat ini ada sebuah terminal angkutan kota, yang ramai dengan bemo, angkot dan minibus penumpang bahkan dokar. Tempat ini terletak di ujung jalan Sumatra, cabang dari jalan Gajah Mada yang merupakan pusat belanja utama. Belum lagi jalan Hasanuddin yang merupakan pusat jual beli perhiasan di Denpasar. Jadi, dijamin ramai.
Yang juga membuat Suci ternama di tahun 1970-an hingga 1980-an, adalah sebuah bioskop – namanya Bioskop Suci. Selain itu ada pasar hidangan, yang buka malam plus padat pembeli, sehingga kalau mau makan kita terpaksa senggol-senggolan dahulu dengan calon konsumen lain. Jadilah namanya pasar senggol. Di salah satu ujung pasar Suci, tepatnya di sebelah utara, tepat di bawah papan reklame bioskop, berseberangan dengan sebuah toko bunga terkenal, seorang penjual nasi meletakkan keranjang besar dari bambu di atas meja jualan. Setiap malam, sekitar pukul 8, dia mulai menggelar dagangannya di tepi jalan. Meme, artinya ibu, begitu orang biasa memanggilnya. Kata orang, rumahnya di salah satu gang di jalan dr. Sutomo.
Sebuah tempat berjualan, restoran atau hotel atau penjual nasi bungkus, bisa terkenal karena berbagai alasan. Bisa jadi karena lokasi, kelezatan masakan atau ketenaran penjualnya, dan alasan lain adalah para pembelinya. Sebagian besar dari daftar ini terpenuhi di Suci. Lokasi, rasa dan pembeli-pembeli nan aksi.
Pembeli nasi bungkus mini ini biasanya mulai ramai di atas jam sepuluh. Para mahasiswa, pekerja malam, serta para penjelajah kebudayaan, atau siapa saja yang gemar tetap melek sesudah jam sepuluh malam, muncul di sini. Lewat jam satu malam, muncullah, satu demi satu, para pengelana malam yang baru saja pulang dari Kuta.
Memang, Suci pada waktu itu adalah salah satu tempat singgah utama bagi mereka. Satu-satunya akses Denpasar ke Kuta adalah jalan Raya Kuta yang pada waktu itu masih menyisakan ruang sunyi-gelap di beberapa ruasnya, dan ujung dari jalan ini, memang tak jauh dari Suci. Apalagi banyak di antara mereka menyewa sepeda motor dari salah satu pusat persewaan sepeda motor di Suci.
Sesudah melanglang malam dan meresapi tegukan Jim Beam, Jack D. Atau arak api, mereka kembali ke selera asal: nasi bungkus pedas murah meriah yang dibeli di satu sudut pasar senggol.
Para penjelajah Kuta 1970-1980-an punya gaya yang khas. Jins ketat, rompi berkantung banyak, yang pada masa itu biasa disebut jekpek (jack-pack), topi koboi, bandana penutup kepala, rantai menggantung di sisi celana dan sepatu semi-boot bergaya. Mengendarai motor trail atau Harley Davidson, atau motor tua besar, gaya macho mereka mengingatkan pada koboi-koboi zaman wild west. Mereka bukan cross-boy sepeda motor seperti yang dijumpai di kota-kota besar lain. Bukan crossboy tapi cowboy. Mereka adalah para Kuta cowboys, koboi Kuta.
Para koboi ini tidak mengidentifikasikan diri dengan John Wayne, Lone Ranger, Clint Eastwood, Ronald ‘iron horse’ Reagan atau Lee van Cleff ‘Sabata’. Terlalu rapi, terlalu bersih, terlalu mapan, tak sesuai dengan jiwa hippie yang marak melanda Kuta pada paruh waktu itu. Mereka memandang pada Franco Nero, si Jango.
Lelaki ini tampil dengan kumis tak bercukur, dan tak seperti para koboi mapan, koboi yang satu ini tak punya keledai, apalagi kuda. Seperti si Buta dari Gua Hantu atau Panji Tengkorak, dia berjalan kaki. Tak Cuma jadi koboi pejalan kaki, koboi yang satu ini juga menyeret peti mati ke mana-mana. Di dalam peti mati ini, ada sebuah senjata mesin yang mampu memberondongkan peluru. Gaya betul!
Gaya koboi ini mungkin dianggap sesuai dengan para pengunjung Kuta pada zaman ketika musik rock mendengking di bar Kayu Api. Jaman ketika marginalitas bergabung dengan keterbukaan dan kebebasan seksual dalam nuansa blue mushroom.
Jango memang popular di Indonesia pada zamannya, begitu popular sehingga Benyamin Sueb, dalam satu filmnya “Koboi Sutra Ungu” (plesetan dari novel terkenal Kabut Sutra Ungu ) ikut jadi Jenggo yang suka makan jengkol dan menyeret peti (juga).
Popularitas Jango juga diabadikan oleh koboi kartun, presiden kartunis Indonesia saat ini, Jango Paramartha, yang sayangnya tak mirip koboi, tapi kemana-mana membawa serta Bog-bog, majalah kartun yang terkenal hingga dunia manca.
Begitulah, tidak cukup jelas apakah para koboi Kuta ini menyebut diri Jango, atau dijuluki jango karena penampilan yang mirip koboi. Yang Jelas,ketika mereka berkumpul di depan penjual nasi bungkus khas yang dijual di bawah poster bioskop –yang pasti pernah menampilkan wajah si Franco “Jango” Nero, mereka perlahan mendubbing makanan itu dengan julukan yang diberikan pada mereka: Jango. Nasi Jango, lalu menjadi nasi Jenggo atau Jinggo.
Maka, sebuah warisan dari zaman para koboi Kuta kemudian menghiasi ruas-ruas utama Denpasar, jauh ketika zaman koboi Kuta telah berlalu. Kali ini tanpa alcohol atau blue mushroom. [b]
Foto dari Blog Ajaib.
Jadi inget bahwa saya juga pernah jadi jenggo. Tahun 90-91 an. Maksudnya kenal nasi itu sebelum ngetop sekarang ini. Di jalan Gajah Mada ada gang kecil. Biasanya jam 2-3 pagi, dan biasanya juga makan bareng mereka yang habis minum arak di ujung gang itu. Tapi rupanya Benito lebih jadul lagi dari saya. Saya pernah denger langsung ceritanya ini. Dan lebih asik… He he he suruh jadi story teller aja kali ya….
wow,.. jenggo on story.
menarik untuk di ceritakan ke anak-anak.
he.he.he.