Oleh Luh De Suriyani
Hampir seminggu ini saya metulungan (bantu) ke rumah sepupu yang mau nganten (nikah). Suasananya chaos—horor banget yee–, seperti bakal ada tsumani besok trus orang2 sibuk menyelamatkan dokumen rahasia keluarga.
Seminggu itu ada sekitar tiga puluh orang (70% perempuan) yang rutin metulungan. Setiap orang sibuk dengan kerjaaannya. Suntuk sekali. Kecuali para pria yang bekerja sangat rileks, tak pernah mereka mendiskusikan apa yang dilakukan. Mereka malah bisa ngobrol bebas hambatan. Maklum pekerjaan mereka memang standar, membuat tusuk sate dari bambu dan merajang bumbu untuk pelengkap nampah (motong) babi.
Nah, mari kita melihat betapa chaosnya perempuan dalam rumah di kawasan Gatsu I ini. Ada empat kelompok perempuan dengan tipikal pekerjaannya. Di dapur, empat orang masak di dapur sempit itu berdesak-desakan, tanpa bicara satu sama lain. Di sebelahnya, satu kelompok lagi mejahitan (membuat prakarya janur untuk banten atau sesajen). Satu sama lain mengawasai pekerjaan temannya. Kalau ada yang sedikit saja salah menggores janur, langsung terdeteksi. “Eh, adi keto nues, sing dadi pelih,” begitu disiplinnya.
Kelompok lain merangkai banten. Wuih, kelompok ini paling panas. Saya masuk dalam kelompok ini—termuda dan tergoblok, jadi bekerja mengikuti apa yang dilakukan orang saja–. Sementara tujuh ibu setengah baya ribut-berdebat soal mekanisme perbantenan, saya melongong dengan mata nanar dan tidak berdaya sama sekali dengan dunia perbantenan yang begitu dahsyat.
Jam demi jam sang ibu-ibu pendekar banten ini merangkai buah, janur, beras, bawang, uang kepeng, benang tridatu, dan ramuan lain yang alamak…buanyak banget deh.
Tak heran perdebatan tak pernah berhenti, masing-masing banten sangat mirip ramuannya, tapi namanya beda dan peruntukannya juga beda. Ada satu ibu yang malah meminta persetujuannya dengan saya soal banten yang didebatkan. Dengan serius saya menjawab, “Hmmmmm…. (sambil manggut-manggut).” Si ibu mengira saya setuju dengan dia. Waduh, kacau juga.
Dalam seminggu, pendekar banten itu bekerja sambil berdebat selama tujuh jam sehari. Metulungan bisanya mulai jam 11 siang sampai petang. Betapa hebat energi perempuan-perempuan ini padahal, hampir semuanya sudah mulai menyiapkan dagangan dari jam 3 dini hari lalu berjualan sampai jam 11. Semua, kecuali saya yang pemalas—adalah pedagang nasi soto sapi karangasem di sejumlah pojokan Kota Denpasar. Saya adalah anak salah satu juragan soto yang termasyhur. Haha….
Oke, kita sudahi soal chaos buat banten yang menjadi latar belakang konteks tulisan ini. Di sela-sela perang banten itu, ternyata saya menyisipkan waktu untuk merenung. Ya, hanya merenung, kan tangan masih bisa nyusun sesajen. Saya perkirakan berat banten yang dibuat selama seminggu itu satu ton. Buktinya, kami butuh empat mobil pick up untuk mengirim banten ke lokasi pernikahan sepupuku.
Setiap banten dibuat dengan sangat cermat, tidak boleh ada yang menyalahi aturan dan sangat disiplin dalam hal kualitas bahan bahan yang dipakai. Misalnya, kalau pakai beras, jangan sampai beras yang jelek—walau banten ini nantinya tidak dimakan.
Masing-masing rangkaiannya memiliki nilai filosofi tinggi soal nilai-nilai gender, harapan bagi pasangan yang akan menikah, keajegan rumah tanggga, dan tentu saja kesejahteraan bagi mempelai nanti. Luar biasa, para tetua yang turun temurun mewariskan khasanah ini.
Sungguh kontras dengan kondisi psikis dan lahiriah calon pengantennya. Sepupuku dan calon istrinya menghadapi tekanan yang agak berat juga soal status mereka yang belum bekerja. Menurut saya, kedua penganten juga tak tahu apa nilai-nilai di balik banten sebagai sarana doa saat pernikahan secara agama nanti. Betapa sebenarnya harapan dan doa lewat banten yang dibuat kerabatnya dan didoakan oleh pemangku nanti adalah perenungan.
Saya sendiri baru menyadari hal ini—ketika perang banten terjadi. Kami, orang Bali sungguh perkasa di arena ritual namun tak berdaya di kancah spiritual. Kami tak pernah hirau dengan nilai-nilai dan doa yang disematkan dalam ribuan sesajen (yang dibuat dengan sangat khusyuk, mengorbankan materi dan energi melimpah). Setelah urusan ritual selesai, yang ada hanya kebingungan soal bagaimana mengelola rumah tangga. Ini yang saya temukan pada kakak-kakak saya yang telah menikah dan beranak pinak.
Waduh, kenapa kita selalu baru bisa merenung setelah perang usai ya…
yup.. sepakat.
kancah spiritual kadang lebih sering yang tersirat porsinya lebih banyak.
tapi alangkah nyamannya ketika kita tahu apa yang tersurat didalamnya.
Memang ini yang terjadi, tapi siap berani memulai perubahan?
mnyeimbangkan makna ritual (sosial budaya) dengan kenyataan menjadi panganten (nilai kehidupan alias sisi eknonmi) apa mereka sudah kerja, atau apa mereka butuh nasehat(petuah) sebagai ganti “seton banten” ?
selayaknya ritual sepadan dengan (sepi)ritual
Memang sayang jika akhirnya hanya menjadi sebuah ritual tanpa makna. Tapi perdebatan macam ini sudah sering terjadi “bahwa kalau bisa spiritualnya lebih ditonjolkan.” Tapi apa yang terjadi? Keributan! Yang tua dan muda saling berargumen dan tentu harus ada yang mengalah, kalau ‘ndak’ bisa ‘ga jadi kawin, he..he.. Ini saya saksikan dan rasakan sendiri ketika bergabung dalam kepanitiaan pernikahan kawan saya. Ternyata ini tidak hanya terjadi di tataran Hindu/Bali. Betul, memang harus ada yang memulai. Semoga saya dan calon suami saya kelak bisa memulai ini.
ya…karena bikin banten yang banyak inilah, tanah warisan orang Bali akhirnya banyak yang dijual.
memang ga bisa dipungkiri dlm hal persiapan ritual agama kita kaum perempuan begitu perkasa bekerja siang malam dgn sedikit istirahat, seandainya kita jg mengerti esensi dibalik banten & ritual yg di buat kemudian di wariskan kpd yg lbh muda tentunya tidak akan terjadi terputusnya generasi yg menguasai banten & makna spiritualnya…..
buat luh de, sudahlah, kita sama2 mengerti situasi tersebut, makanya segera sekarang ini kita formatkan banten yang sederhana tapi berat makna, gimana setuju?
Bagaimana kalo yang setuju penyederhanaan banten ketemuan dulu sebagai langkah awal.
ok, setuju dengan ita, yuk kumpul2 utk ngobrol sekalian take action…setuju?
Pada acara nubulanin, ngotonin, ngaben, dll. bantennya juga banyak dan tidak semua orang yg terlibat mengerti makna dari bebantenan.
Selain itu, saya pernah mengalami saat prosesi “mebyakaon”, masing2 ibu2 memberikan instruksi yg berbeda, akhirnya mereka ramai berdebat. Kita yg jadi bingung harus mengikuti instruksi yg mana.
Para Sulinggih perlu berinisiatif utk meminimize banten tanpa mengurangi maknanya. Coba bandingkan dgn jaman dulu, saya yakin bantennya sederhana tidak serumit sekarang. Seandainya banten bisa sederhana, maka otomatis biaya bisa ditekan, dan bisa dialihkan utk pendidikan yg lebih tinggi. Kalau pendidikan maju, niscaya ekonomi maju, maka bali menjadi sejahtera. Bagi kita, perlu kampanye utk buat banten sesuai kemampuan dan bukan berdasar ego atau kampanye mengubah paradigma kalau kurang banten bisa celaka, shg masyarakat yg ekonominya kurang merasa tidak terbebani yg akhirnya mebanten dgn cara ngutang, otomatis makna yadnya yg dilakukan terasa kurang. Semoga pikiran baik datang dari segala arah. Astungkara.
Sebenarnya gak ada yg salah pada banten / upakara yg dlm semua prosesi upacara** tsb, gak ada jg banten yg membuat tanah warisan orang bali terjual, gak ada banten yg kt persembahkan sia-sia dengan melihat permasalahan dlm keluarga, semua itu kembali ke orangnya itu sendiri. Kalau orang tsb memang berprilaku buruk dan tak mau berubah, jangankan 1 ton, 1 jt ton banten pun digunakan utk mengupacarai orang tsb sifatnya akan tetap sama seperti itu. Jadi semua kembali ke orangnya sendiri. Dan adapun banten dalam suatu prosesi upacara memang ada tingkatannya, bisa dibilang : nista, madya, dan utama, jadi itupun tergantung orangnya jg mau mengambil/memakai tingkatan yaang mana, biasanya disesuaikan dengan kemampuan, jadi tidak ada yadnya yg menyengsarakan umatnya! Semoga bermanfaat!
@made ubud : di Buleleng ngaben sampe jual tanah lo… 🙂
Gapapalah lumayan mendukung program KB, orang akan berpikir dua kali untuk menikah muda dan belum bekerja. Di Jawa modal 1 juta udah berani menikah.
Zaman dulu banten nikah kakek kumpi, ayah dan kakek saya hanya 1 meja belajar, cukup banten prayascitta, satu ekor bebek guling, beberapa banten pendukung lain, dan beberapa saksi dari kedua keluarga dan kelihan. Nah sekarang satu bale adat bantennya, nampah celeng sampai 5 ekor, dapat dimana jenis-jenis banten baru itu, mengapa banten yang turun-temurun yang seharusnya statis berubah menjadi dinamis. Apakah akal-kalan tukang banten? biar bisa dijual mahal?. Atau karena perkembangan transportasi dan komunikasi, banten daerah A dan daerah B digabung menjadi satu padahal mempunyai fungsi sama namun bentuk beda dan nama beda.
Bali emang unik.tapi keunikan itu jadi diburu dunia