
“Nah, kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang bisa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu,” Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.
Sudah satu abad nama Pram tercatat di negara Indonesia ini. Lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Pram meninggal dunia di umur 81 tahun pada 30 April 2006. Meski raganya tidak lagi hadir, jiwa Pram selalu hadir dalam karya sastranya.
Pram menjadi tahanan politik selama kurang lebih 14 tahun, salah satu tempat pengasingannya adalah di Pulau Buru. Pulau Buru menjadi tempat Pram menyusun karya sastranya yang terkenal, yaitu tetralogi Pulau Buru, terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Beberapa karya Pram kerap mengkritik kondisi pemerintahan saat ini, salah satunya adalah Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer. Buku ini adalah sekumpulan catatan berdasarkan teman-teman seperjuangan Pram di Pulau Buru, serta hasil pelacakan mereka terhadap para budak seks yang ditelantarkan di Pulau Buru, setelah Jepang menyerah pada 1945.
Buku ini menjadi bahan diskusi dalam acara Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer di Taman Baca Kesiman (TBK) dengan tema Membaca Kekerasan Berbasis Gender dalam karya Pram. Tiga pemantik diskusi hadir sore itu (10/2), yaitu Desi dan Nanda dari Sanggar Puan, serta Rani dari New Naratif.
Hari itu setiap sudut TBK penuh dengan orang-orang yang ingin mengikuti bincang buku. Bagian kanan, kiri, dan depan pun penuh. Beberapa ada yang lesehan, ada juga yang berdiri.
Buku ini bukan fiksi seperti Bumi Manusia. Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer menyertakan data-data dan hasil wawancara para korban yang menjadi budak seks di masa penjajahan Jepang.
Dalam Bahasa Jepang, budak seks ini disebut Jugun Ianfu, wanita penghibur tentara. Perempuan Jugun Ianfu tidak hanya diambil dari Indonesia, tetapi juga dari negara jajahan Jepang lainnya, yaitu Australia, Burma, China, Belanda, Filipina, Korea, Timor Timur, Papua Nugini, bahkan dari Jepang itu sendiri.

Rani menjelaskan bahwa Pram menulis ini secara sadar untuk dibaca oleh perempuan-perempuan muda. “Dan kalian perlu tahu aku menulis ini berdasarkan ingatan dan pengalaman dari orang yang aku temui. Tolong kalian lanjutkan lagi kalau kalian mau cari tahu. Jadikan buku ini sebagai bukti,” terang Rani menginterpretasikan maksud Pram dalam bukunya.
Pada awalnya, para perawan remaja diambil dengan cara dipaksa dan dibohongi oleh para militer Jepang. Mereka dijanjikan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan di Jepang. Orang tua mereka yang tak berdaya terpaksa menyerahkan anak perempuannya kepada militer Jepang, bahkan banyak remaja perempuan yang berasal dari keluarga petinggi saat itu. Remaja yang dibawa berusia 14-19 tahun dan kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.
Pram mencari dan menggali memori kolektif yang dialami oleh perempuan Jugun Ianfu, serta melakukan pendekatan secara antropologis. Dalam catatan sesama tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, para tapol bersama-sama melakukan investigasi dan menjelajahi pedalaman Buru untuk menemukan perempuan yang ditelantarkan oleh Jepang.
“Pram bisa untuk melukiskan juga bagaimana dampak dari perbudakan seksual yang dialami oleh perempuan-perempuan korban Jugun Ianfu ini. Itu berdampak pada hilangnya identitas mereka,” ungkap Nanda dalam sesi diskusi.
Banyak dari perempuan yang ditelantarkan di Pulau Buru tidak berani kembali ke tempat asalnya ketika Jepang menyerah. Perempuan tersebut tidak tahu jalan pulang, mereka juga takut dengan stigma sosial yang melabeli diri mereka pelacur atau perempuan yang sudah tidak suci lagi.
Nanda juga menjelaskan yang menarik dalam buku ini adalah Pram menuntut negara dan menyatakan bahwa negara tidak memiliki itikad baik ketika masa kemerdekaan. Negara tidak mengakui ataupun tidak melakukan upaya untuk mencari korban Jugun Ianfu. “Mereka melakukan pembiaran dan mereka juga tidak memberikan pemulihan terhadap korban Jugun Ianfu,” ungkap Nanda.
Dalam catatan buku ini, beberapa korban Jugun Ianfu yang ditelantarkan di Pulau Buru terpaksa hidup berdampingan dengan masyarakat adat. Banyak di antara mereka yang menikah dan terikat adat. Penderitaan mereka seolah tidak habis mengingat masyarakat Pulau Buru dengan sistem patriarkinya sangat kuat.
Para tapol di sana menyaksikan sendiri bagaimana perempuan hanya dianggap sebagai wanita dan harta, tidak lebih dari itu. “Adat perempuan dibeli; adat orang tua menjual; kalau harta sudah tersedia apalagi akan dipersoalkan,” begitu tulisan pada halaman 225 buku ini.
Perempuan di Pulau Buru hanya dijadikan hiasan semata. Perempuan menaiki gunung membawa beban berat, sedangkan laki-laki berjalan di depan hanya berbekal parang dan tombak. Satu laki-laki Buru tidak cukup satu istri, harta banyak maka istri juga harus banyak.
Salah satu kesulitan yang dihadapi para tapol ketika mencari korban Jugun Ianfu adalah ketakutan perempuan di sana terhadap suaminya. Mereka tidak dibolehkan dekat dengan orang asing dan berbicara dengan bahasa asing (selain Bahasa Buru).
Korban Jugun Ianfu yang diduga berasal dari Jawa dengan nama Mulyati pun mengalami penelantaran tersebut. Dikirim menjadi budak seks Jepang pada usia 14 tahun dan ditelantarkan Jepang di Pulau Buru. Nasib naasnya tak sampai situ, di usia tua pun ia ditelantarkan oleh laki-laki Buru. Akhirnya ia menua terikat adat.
Setelah 50 tahun berlalu, dilakukan pengadilan kejahatan perang internasional terhadap perempuan di masa perang dunia II. “Pengadilan itu diikuti oleh delapan negara yang warga perempuannya menjadi korban Jugun Ianfu,” ungkap Rani. Dalam forum tersebut mereka memiliki visi dan misi yang sama, yaitu mencari pertanggungjawaban atas apa yang terjadi.
Akhirnya, sekitar tahun 1998, Jepang melalui yayasan Asia Women’s Fund (AWF) memberikan dana sebesar 377 juta yen kepada Indonesia untuk ganti rugi atas kejahatannya di masa lalu. Sayangnya, Menteri Sosial, Endang Kusuma Inten Soewono, yang saat itu seorang perempuan justru berada pada sistem kuasa dengan nilai-nilai maskulin.
“Dia memberikan jawaban bahwa ya kami sudah membuat panti jompo untuk para korban Jugun Ianfu. Tapi nyatanya tidak pernah jelas di mana tempat panti jompo ini. Inten Soewono itu juga menyatakan bahwa hal ini tidak perlu diperbincangkan lagi karena ini merupakan aib negara,” ujar Nanda dengan geram.
Pemilihan buku ini dalam Seratus Abad Pramoedya Ananta Toer menjadi pengingat bahwa sejak dulu negara melakukan pembiaran terhadap korban kekerasan seksual. Kekerasan yang dibiarkan oleh negara juga berdampak pada kekerasan di ranah keluarga, domestik, bahkan pada perempuan Bali.
“Karena mungkin budaya patriarki dan bagaimana negara dibangun di atas pemikiran maskulin yang sampai sekarang perempuan-perempuan hari ini masih berjuang,” ungkap Nanda.
Secara keseluruhan, buku ini memiliki alur yang lambat, membutuhkan waktu untuk membacanya. Bab terakhir adalah bab paling panjang dan kemungkinan memberikan demotivasi bagi para pembaca karena lebih banyak bercerita tentang perjalanan para tapol dalam mencari korban Jugun Ianfu. Keterbatasan ini timbul karena Pram hanya mengandalkan catatan tapol dan hasil wawancara.
Meski begitu, buku ini bisa menjadi awal untuk mengenal lebih lanjut nasib para perempuan yang menjadi korban Jugun Ianfu. Juga menjadi bukti dalam menuntut tanggung jawab negara.