
“Apakah kita bagian dari perubahan Sanur?”. Sekilas, namun membekas. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Angga, Sanur Archive, selepas sesi pemaparan singkat tentang Sanur. BaleBengong kembali menghadirkan Kelas Jurnalisme Warga (KJW) sebagai wadah diskusi untuk berbagi kisah masa lalu dan masa depan Sanur melalui perspektif para warganya. Upaya ini dilakukan untuk menjaga Sanur tetap terakses sebagai ruang publik masyarakat.
Pada kesempatan kali ini, KJW diadakan di Desa Adat Intaran, tepatnya berada di Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA) Intaran. Menjelaskan sedikit tentang tatanan wilayah Sanur, wilayah ini terdiri dari 3 Desa Adat diantaranya yaitu Desa Adat Sanur, Desa Adat Intaran, dan Desa Adat Penyaringan. Desa Adat Intaran sendiri mempunyai 2 desa dinas yaitu Desa Dinas Sanur Kauh dan Kelurahan Sanur.
I Wayan Merta Selaku Bhaga Palemahan menjelaskan bahwa Desa Adat Penyaringan itu sangat unik sekali dan mungkin tidak akan habis jika itu dipelajari. “Kenapa dikatakan unik? Karena kadang-kadang satu desa adat pada satu banjar yang melakukan kegiatan semua pura di sana,” jelasnya. Selain itu, ia berharap supaya Desa Adat Intaran dapat menjadi maskot Kota Denpasar. “Apalagi sekarang, saat kita berbicara Sanur, uang yang dihasilkan dari Denpasar itu hampir 70% semua dari Sanur,” ucapnya.
Desa Adat Intaran selalu berusaha untuk melibatkan anak-anak muda dalam kerjanya. Salah satunya adalah Wayan Robi, Wakil Ketua BUPDA, yang mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk Desa Adat Intaran. BUPDA bertanggung jawab dalam 3 aspek meliputi keamanan, kebersihan, dan ketertiban. Robi berperan dalam mengelola dan mengadvokasi perputaran ekonomi di Internal Sanur. “Ternyata mereka (masyarakat) aware kok dengan kita menghadirkan kenyamanan, ketertiban, kebersihan,” ucap Robi. Di samping itu, ia juga mengusahakan bahwa segala keputusan yang diambil selalu mengutamakan masyarakat. “Secara ekonomi kita coba pakai subsidi silang yang langsung berdampak pada masyarakat,” katanya.
Tak kalah seru dari kegiatan sebelumnya, KJW kali ini spesial karena tidak akan ada teori menulis dan verifikasi fakta. Meski begitu, peserta diharapkan dapat menghasilkan satu luaran melalui kegiatan yang telah dilakukan pada saat itu. Acara ini dihadiri oleh pewarta warga, jurnalis muda, kreator konten, dan lain-lain. Tentunya belajar mengenai banyak hal tentang keterlibatan anak muda, ruang publik pesisir, alih fungsi lahan, dan sebagainya.
Acara ini dibuka oleh perkenalan masing-masing peserta, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi singkat dari Sanur Archive, sebuah akun instagram yang kerap membagikan foto-foto Sanur pada masa lalu. Dalam pemaparannya, dijelaskan linimasa Sanur dari tahun ke tahun. Mulai dari tahun 1906 ketika pasukan Belanda mendarat di Sanur, hingga munculnya tren pariwisata berkelanjutan dan heritage.

Angga selaku perwakilan Sanur Archive menjelaskan bahwa Sanur saat ini sedikit banyak telah bertransformasi menjadi kawasan pariwisata. Ada yang berubah menjadi mal, vila, dan masih banyak lagi. “Jadi terakhir akan muncul pertanyaan apakah kita bagian dari perubahan? jadi, tidak ada yang benar atau yang salah, apakah kita bagian dari perubahan selama ini?” tanya Angga dalam mengakhiri sesi.
Fakta menarik, seniman yang muncul pertama kali di Bali berada di Sanur, alih-alih di Ubud yang dikenal sebagai desa seni. Sedikit kilas balik sebelum Sanur menjadi destinasi pariwisata, mayoritas masyarakat setempat bekerja sebagai nelayan dan melaut menggunakan jukung (perahu tradisional). Selain nelayan, ada juga yang bermata pencaharian menjadi pencari karang laut. Karang laut diolah untuk dijadikan bahan semen melalui proses pembakaran. Bahkan, beberapa sanggah di Sanur terbuat dari karang laut.
Setelah melalui sesi diskusi yang cukup panjang, kami memutuskan untuk makan siang bersama. Perpaduan nasi putih hangat dengan lauk pauk, seperti sate lilit, ayam suwir, bumbu Bali, dan lawar menciptakan harmoni rasa yang memanjakan lidah. Suara kendaraan lalu lalang di jalan menemani obrolan hangat makan siang kala itu.
Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, mengawali inti acara dari KJW, yaitu liputan. Para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dengan isu yang berbeda. Adapun sejumlah isu yang bisa dipilih, yaitu anak muda tentang masa depan Sanur, fasilitas publik: pedestrian dan transportasi publik, upaya melestarikan pesisir, dan ruang terbuka hijau.

Kemudian, peserta berkumpul dengan pendamping kelompok masing-masing untuk membahas rancangan luaran. Seluruh kelompok berpencar untuk menggali informasi sesuai isu yang didapatkan. Ada yang menuju ke daerah pesisir, mencari ruang terbuka hijau, mencoba transportasi publik, dan lain sebagainya.
Meski liputan berjalan di bawah teriknya matahari Sanur, antusiasme peserta KJW patut diapresiasi. Liputan berlangsung cukup lama hingga pukul 16.00 WITA. Selepas itu, para peserta segera kembali menuju lokasi untuk mengolah informasi yang didapatkan di lapangan. Seiring berjalannya waktu, setiap kelompok akhirnya menyampaikan hasil dari liputan yang diselingi dengan melali bersama teman-teman kelompoknya.
Pada akhirnya, satu per satu kelompok berhasil menuntaskan masing-masing topik liputan. Liputan ini merupakan hasil kolaborasi pemikiran antar generasi karena para peserta yang hadir terdiri dari berbagai kalangan umur. Meskipun destinasi KJW kali ini berada di pusat kota, tetapi atmosfernya tetap terasa intens, hangat, dan istimewa.
monperatoto cerutu4d cerutu4d