Teks Christian Supriyadinata, Foto Ilustrasi Luh De Suriyani
Seperti pagi dan sore di antara malam dan siang, begitu pula gay, waria, dan lesbian.
Dalam warna, ada hitam dan putih. Di antara dua warna itu, ada juga warna pelangi. Sementara manusia dilihat dari jenis kelamin hanya ada, laki-laki dan perempuan. Tetapi, di antara laki-laki dan perempuan ada kehidupan lain, yaitu ada gay, waria dan lesbian.
Sebenarnya tidak ada satu pun bayi lahir ke dunia ini untuk menjadi gay, waria atau lesbian. Juga tidak seorang pun orang tua, ibu atau ayah, yang menginginkan anaknya jadi gay, waria maupun lesbian. Tetapi semua ini adalah karunia Tuhan yang telah diberikan pada umat-Nnya. Kodrat itu harus diterima dan dijalaninya.
Jika semua orang bisa memahami, menerima dan menghargai perbedaan ini, alangkah indahnya dan damainya hidup.
Tetapi, kenyataan tidak seindah yang diharapkan. Masih ada sebagian orang belum bisa menerima keberadaan orang-orang minoritas seperti gay, waria, dan lesbian ini.
Sejak mulai menemukan identitas gender dan orientasi seksualnya pada masa kanak-kanak atau remaja, waria sering mendapat kekerasan baik psikis maupun fisik. Mereka diolok-olok, diejek dan bahkan dipukuli anggota keluarganya sendiri karena kewariaannya. Kekerasan juga datang dari lingkungan bermain, sekolah, dan keluarga yang semestinya menjadi tempat aman.
Dalam situasi seperti ini, akhirnya gay, waria, dan lesbian kabur dari rumah tanpa dibekali pendidikan dan keterampilan cukup. Mereka masih usia remaja dan mereka mencari kehidupannya sendiri.
Kalaupun ada waria bertahan dengan kekerasan yang diterimanya sampai berhasil menyelesaikan pendidikan, mereka juga tidak bisa diterima bekerja di sektor formal karena pilihanya menjadi waria. Walaupun berpendidikan sarjana, ketika waria melamar di sektor formal tetap tidak diterima karena penampilannya sebagai waria. Begitu juga kalau kerja di perusahaan dan semacamnya.
Pilihannya, banyak waria terjun ke dunia kecantikan (salon).
Begitu juga halnya dengan gay maupun lesbian. Mereka juga sering mendapatkan perlakuan tidak jauh beda dengan waria jika diketahui orientasi seksualnya. Akhirnya, sebagian besar komunitas ini menutup diri terhadap perilaku seksualnya.
Kalau pada waria sebagian besar tingkat pendidikannya rendah, maka pada gay tingkat pendidikannya menengah ke atas. Gay lebih mudah mencari pekerjaan.
Agar gay, waria, dan lesbian bisa lebih diterima masyarakat, muncul pikiran di benak beberapa teman gay di Bali untuk membuat suatu organisasi. Tujuannya agar ada tempat berbagi dalam segala hal terkait kehidupan gay. Pada hari Valentine 14 Februari 1992 terbentuklah organisasi Gaya Dewata oleh beberapa orang dari komunitas gay di Bali.
Organisasi ini akhirnya menjadi yayasan sejak Desember 1999. Gaya Dewata juga telah terdaftar di Departemen Hukum dan HAM RI pada 21 Agustus 2009.
Yayasan Gaya Dewata bukan hanya untuk tempat berbagi dan memberi dukungan kepada sesama, tetapi juga dalam program penanggulangan infeksi menular seksual, termasuk HIV dan AIDS.
Pada tahun 2010 ini, Gaya Dewata telah memberikan layanan kepada 325 Waria dan 1684 gay. Sebanyak 44 orang waria telah melakukan test HIV. Lima orag, atau 11,36 persen, positif HIV. Untuk komunitas gay, 313 orang melakukan test HIV dengan 28 orang, atau 9 persen, positif HIV.
Jumlah orang dengan HIV dan AIDS (Odha) yang pernah didampingi Gaya Dewata sampai Desember 2010 sebanyak 94 orang, 28 orang meninggal dan 15 orang telah mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV).
Berikut perkembangan data kasus HIV dan AIDS pada gay dan waria di Bali yang didampingi Gaya Dewata sepanjang 2008 hingga 2010. Pertama, gay. Pada tahun 2008 ada orang 108 test HIV dengan 7 orang (6,48 persen) positif HIV. Pada tahun 2009, 155 test HIV, 10 positif HIV (6,45 persen). Pada tahun 2010 ada 313 test HIV, 28 positif HIV (8,94 persen).
Kedua, waria. Pada 2008, 59 orang test HIV, 11 di antaranya positif HIV (18,64 persen). Pada tahun 2009, 62 test HIV, 13 positif HIV (20,97 persen). Pada tahun 2010, 44 test HIV, 5 positif HIV (11,36 persen).
Pada ulang tahun tahun yang ke-19 ini, Gaya Dewata mengadakan kegiatan sosial berupa potong rambut gratis kepada masyarakat umum. Kegiatan gratis ini bertempat di Museum Bali pada Senin kemarin sejak pukul 09.00 hingga 12.00 wita.
Kegiatan ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa komunitas gay, waria, dan lesbian ini juga bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat seperti masyarakat umumnya. Kami juga bisa berbaur dengan masyarakat luas.
Kegiatan ini dilakukan juga dengan harapan bisa menciptakan strategi komunikasi baru dengan pesan-pesan lebih positif. Kami berharap, kegiatan ini dapat mengurangi stigma dan diskriminasi pada kami. Menggunakan saluran-saluran lebih bervariasi, kami ingin daya jangkau penyampaian pesan akan menjadi lebih luas. [b]
Penulis adalah Direktur Gaya Dewata.