Teks dan Foto Luh De Suriyani
Ada dua hal yang dipaksa berubah dari birokrasi badan publik pasca UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) ini. Pertama soal sistem dokumentasi, dan kedua tidak bisa memperlakukan informasi seenaknya. Badan publik disebut tak punya hak menyimpan informasi publik untuk kepentingannya saja, karena mereka hanya punya hak kelola.
Hal ini dikritisi Saichu Anwar, aktivis Yayasan Manikaya Kauci (YMK) dan Hendik dari LBH Bali. “Jangan sampai UU KIP ini jadi momok baru. Berpeluang menjebloskan publik karena dianggap menyalahgunakan informasi,” kata Saichu.
Ia mengharap seluruh masyarakat mengawal agar UU ini memang legitimasi dari kebebasan dan hak mendapat informasi bukan malah upaya mengkriminalkan.
Menindaklanjuti hasil diskusi Sloka Institute sebelumnya soal UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kembali dilaksanakan diskusi lanjutan dan kali ini bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, pada Jumat (7/5) lalu di Kantor AJI Denpasar.
Sementara itu Rofiqi Hasan, Ketua AJI Denpasar menjelaskan, sudah muncul beberapa salah kaprah dari pejabat pemerintah atau badan publik soal UU KIP ini di Bali. “Ada beberapa wartawan di lapangan yang diminta surat permintaan informasi ketika liputan. Katanya karena prosedur UU KIP. Ini kan salah kaprah,” ujarnya.
Birokrasi ini, menurut rofiqi berimbas ke publik. Karena pekerjaan wartawan dikejar waktu dan membutuhkan kecepatan mengakses dokumen publik. “Hati-hati kamu, sekarang ada UU KIP. Tersangka korupsi, itu masih rahasia dari Jaksa kok sudah diberitakan? Pemahaman ini yang perlu disinkronkan dengan UU Pers,” tutur Rofiqi.
“Kita menjaga akses seluasnya untuk mewakili publik. Ada anggapan salah, mereka punya kekebalan karena dianggap ada prosedur. Sementara adanya kriteria kategorisasi informasi akan membuat proses peralihan yang panjang. Saya khawatir mereka (badan publik) tak serius membuat kategorisasi, mana yang kategori cepat, dan sebagainya,” tambah wartawan Tempo di Bali ini.
Di sisi lain, wartawan tak banyak paham soal UU KIP. Dan ini menurutnya bertabarkan dengan prinsip kebebasan informasi. Ia mengharapkan ada sinkronisasi UU KIP dan UU Pers yang memberikan jaminan luas pada wartawan dalam akses mendapatkan informasi.
Inilah yang menurut Tio, pemahaman yang keliru petugas di lapangan. “Seharusnya yang takut mereka bukan publik. Yang terkena sanksi awal kan petugas. Ini akibat proses sosialisasi yang tak tuntas,” ujarnya.
Sejak 1 Mei 2010 ini UU KIP dengan resmi diberlakukan di seluruh Indonesia. Walau infrastruktur dan pelaksananya belum siap, tidak menjadi alasan bagi pengunduran implementasinya. Toh, sejak diundangkan pada 2008, UU no 14 Tahun 2008 ini sudah dua tahun menganggur menunggu kesiapan badan publik termasuk sosialisasinya.
Diskusi lanjutan usai bedah UU KIP sekitar tujuh bulan lalu, menargetkan pembahasan lebih teknis. MIsalnya apa langkah publik untuk mencoba mencari informasi ke badan publik, bagaimana mendorong keterwakilan para profesional bidang kebebasan informasi seperti praktisi media dan LSM dalam perekrutan Komisi Informasi di Bali, dan mengantisipasi ekses dari UU KIP ini.
Menurut Sulastio, Direktur Indonesia Parliamentary Center (IPC) yang menjadi narasumber pada diskusi ini mengatakan baru dua provinsi pasca UU KIP yang sudah mengangkat Komisi Informasi (KI). Yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara yang tengah menyiapkan adalah Banten, Jakarta, Bali, dan lainnya.
“Jika KI Bali belum terbentuk, sengketa informasi bisa diurus KI Pusat. Tapi melelahkan kalau harus ke Jakarta. Kami berharap KI di daerah bisa segera terbentuk,” ujar Tio, panggilan akrab Sulastio.
Nah, untuk masyarakat mulai kini bisa melakukan uji publik untuk mendapat informasi dan badan publik harus melayaninya. “ Kok anak saya tidak dapat dana BOS? Kok saya tidak dapat Jaskesmas?” demikian dicontohkan Tio.
Di Thailand, ia merunut UU KIP di negara gajah putih itu diinspirasi dari kisah seorang ibu yang anaknya tak diterima di perguruan tinggi. Akhirnya atas desakan si ibi, hasil tes-nya berhasil dibuka dan benar hasilnya jelek. Tapi si ibu puas karena ternyata pihak universitas memang melakukan tes secara jujur. Karena itu oleh publik, keterbukaan informasi ini sangat berguna.
Tio melanjutkan, di banyak negara lain juga berawal dari hal yang sederhana. DI Jepang karena berbagai kegelisahan. “Di Indonesia juga banyak. Misal kasus surat perjalanan dinas atau SKPD, kemudian terbongkar. Ada orang yang punya SKPD melebihi 300 atau hampir setahun hari kerja. Ini kan tidak mungkin. Karena itu, publik berhak mengetahui bagaimana kebijakan publik dan praktiknya,” tambah Tio.
Di sektor lingkungan misalnya, Walhi selalu kecewa karena dokumen AMDAL tak bisa diakses. Karena itulah, sejumlah LSM membuat Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi. Pada 2004, naskahnya mulai masuk DPR. Sayangnya karena UU sangat lama dibahas, pada 2004 mandeg. Lalu pada DPR periode 2004-2009 dilanjutkan atas inisiatif Komisi I.
“Perjalanan sangat panjang, teman-teman LSM yang mengawal banyak rontok di tengah jalan. Kegelisahan teman-teman yang bertahan dilakukan dengan membuat Freedom of Information (FoI) Network. Bisa dibuka website. www.kebebasaninformasi.org,” Tio menjelaskan.
Di sisi lain, yang perlu diperhatikan adalah ada roh dari draft UU Kebebasan Memperoleh Informasi (judul sebelumnya) yang hilang. UU itu lalu berubah menjadi UU Keterbukaan Informasi Publik seperti saat ini.
Padahal dua hal itu ada perbedaan yang signifikan. Kalau kebebasan memperoleh informasi, informasi hak setiap individu. Pengertian kebebasan informasi tak bisa ditawar-tawar. [b]