“Tiang kari di dalem sama cucu tiang masih tidur, tembok sube megrudugan, bah kangin, tembok ne kauh bah kauh, untungne,” cerita Duduk, warga Desa Tianyar terdampak gempa magnitudo 4.8 pada 16 Oktober lalu.
Masih teringat detail kejadian dalam pikiran Duduk. Dini hari itu, Duduk tidur menemani cucunya yang berusia 9 tahun. Namun, guncangan membangunkan mereka. Tembok-tembok kamar yang juga sebagai dapur itu roboh sebelum ia mampu keluar dari bangunan. Syukur terus terucap, karena tembok kamarnya jatuh keluar sehingga ia selamat dari timpaan batako. Begitu pula posisi ia berdiri sambil merangkul cucunya. Seperti mendapat perlindungan tuhan, katanya, karena atap bangunan yang ia tempat sudah jebol. Namun, ia tak tertimpa karena berdiri tepat di bagian lubang plafon.
Sudah lebih dari satu minggu linuh itu menyisakan reruntuhan bangunan rumah milik Duduk. Beruntungnya, ada satu bangunan lagi yang mengalami kerusakan tidak begitu parah. Bersama 10 anggota keluarga Duduk lainnya, memanfaatkan setiap sudut rumah yang teduh untuk tempat tinggal sementara.
Kondisi yang lebih parah dialami Wayan Minggu, anak Duduk yang tinggal terpisah dari dirinya. Rumah Wayan sudah miring. Hanya perabotan yang berani ia tinggalkan di rumahnya itu. Wayan memutuskan untuk membangun rumah sementara di lahan ayahnya. Lokasinya hanya beberapa meter dari rumah ayahnya.
Di rumah yang sebelumnya, tanahnya sudah banyak retakan. Datarannya sudah tidak stabil. Mencari rumah sebelumnya hanya bisa diakses menggunakan sepeda motor. Karena lokasinya berada di atas, di perbukitan.
“Nanti kalau mandi di luar saja. Kalau kompor masih memungkinkan di dalam. Tapi karena terbiasa menggunakan tungku kayu bakar, itu buat di luar saja,” kata Wayan.
Kapasitas terbaik rumah segitiga bambu ini ditempati tiga orang. Hingga Selasa (26/10) rangka bagunan berbentuk segitiga dengan pondasi batako sudah terselesaikan. Bambu-bambu sudah dikumpulkan sejak kemarin. Namun, Wayan belum tahu pasti akan membuat pintu dan jendela menggunakan apa. Sementara Wayan akan memindahkan isi perabotannya ke rumah ini.
Targetnya tiga hari untuk menyelesaikan rumah segitiga bambu ukuran 5×4 m. Menutup bagian belakang menggunakan terpal. Memanfaatkan seng untuk bagian kanan dan kiri rumah bambu. Rumah dukungan Yayasan The East Bali Poverty Project (EBPP) ini dibangun di daerah cekungan bukit.
Wayan mengatakan daerah cekungan bukit lebih aman dari gempa. Hanya saja rawan terjadi tanah longsor. Namun, ia memilih lokasi saat ini karena selain dekat dengan keluarganya, akses menuju rumahnya sekarang tidak sesulit lokasi sebelumnya yang berada di atas bukit.
Sayangnya, beberapa pipa air yang menjadi sumber air di rumah barunya putus. Akibat tertekan runtuhan tanah. Gempa kedalaman 10 km itu, mengguncangkan tanah hingga menutup akses pintu dan jendel rumah Duduk. Saat ini, toilet menjadi kebutuhan yang paling diperlukan warga terdampak gempa seperti keluarga Duduk dan Minggu.
Desa Ban, desa yang bersebelahan dengan Desa Tianyar pun memperbarui keperluan-keperluan genting yang dibutuhkan warganya. Dari sisi pendidikan, anak-anak mendapatkan pendampingan dari yayasan EBPP.
Anak-anak sekolah dampingan yayasan EBPP di Desa Ban setiap harinya berkumpul di lokasi sekolah untuk berkumpul dan trauma healing. Setiap satu minggu, paling tidak mendapatkan satu kali pelajaran BK berupa sesi curhat dan yoga. Aktivitas sekolah pun dibatasi hingga maksimal 12 siang.
Perbekel Desa Ban, I Gede Tamu Sugiantara mendata kelompok rentan di Desa Ban sebanyak 23 bayi, 33 orang lansia dan 8 orang ibu hamil membutuhkan vitamin ibu hamil, alat sanitasi, selimut, alas tidur, dan bantal. Bantuan terus mengalir, sanitasi menjadi hal yang sangat dibutuhkan saat ini. Begitu juga penyalur air bersih, seperti pipa, ember tempat air dan selang.
Kotak donasi masih terus dibuka melalui kotak donasi IDEP.
Contact Person:?IDEP ER Lead: Muchamad Awal: +62 819 0429-9614, [email protected]?ER Field Team Leader: Ranggawisnu: +62 813-1602-7975 (Phone and WhatsApp)