Dua hal yang dapat diambil dari situasi pandemik, pertama banyak warga mulai melakukan aktivitas bertani. Kedua, refleksi diri karena pariwisata adalah bonus. Seharusnya kebijakan pertanian perlu digarap maksimal dan pertanian bisa berdampingan dengan pariwisata.
Para seniman Galang Kangin ini ketika merespon tema petani sebagian besar mengambil isu alih fungsi lahan. Isu ini digarap oleh Agus Mardika dalam karya mozaik dan kolasennya yang memperlihatkan Pulau Bali dalam keadaaan terhimpit. Kemudia Atmi Krisna dewi memilih presentasi toples Aquarium berisi tumpukan sampah yang menggambarkan tentang meruahnya sampah masuk ke lahan pertanian.
Problematika inilah yang dipersoalkan oleh perupa Kelompok Galang Kangin. Ada upaya mengkritisi persoalan petani ini sambil tetap berkiblat pada kesadaran lingkungan sebagai payung besarnya. Inilah topik dan pokok bahasan eco-art ala galang Kangin.
Galung Wiratmaja menghadirkan kotak yang ditutup media dengan patung kepala di atasnya. Sementara itu Made Gunawan menghadirkan ahli fungsi dalam bentuk gambar padi yang ditumbuhi besi beton. Empat seniman ini melakukan perenungan ikhwal ahli fungsi sekaligus mengkritisi persoalan yang dihadapinnya.
Sementara itu AA. Eka Putra mempersoalkan hama dengan menghadirkan burung pipit dan kantong beras. Anthok S. menghadirkan persoalan kebijakan tentang lingkungan dengan perwujudan tengkorak berdasi. Ada semacam sindiran yang dilemparkan Anthok.
Sementara itu Wayan Naya Swantha mengkritisi sampah di sawah melalui objek temuan benda-benda plastik yang dibalut kucuran resin menyerupai lendir atau pengikat. Hanya satu perupa yang menghadirkan format lukisan yaitu Wayan Setem dengan menyoal persoalan lokal global dan teknologi pertanian. Lukisan potret dengan otak dan teknologi seperti earphone menghadirkan opini tentang kecerdasan dan pertanian.
Bertani yang dilakukan masyarakat Bali lebih dari embrio kebudayaan agraris sebelum mengenal pariwisata. Aktivitas agraris sudah dilakukan sebagai profesi sejak jaman dulu oleh masyarakat Bali dengan kearifan lokalnya sebagai pondasi.
Pariwisata cikal bakal dari kebudayan pertanian yang melahirkan berbabagai intrumen kebudayaan adat dan istiadat kesenian yang berkembang. Berbicara pertanian era yang dikatakan modern ini, pengulangan masalah walaupun berupaya maksimal menyelesaikannya tetapi hasil yang didapatkan tidak sesuai harapan.
Perlahan muncul masalah baru yang bergulat di sana. Problem yang lama tertanam muncul lagi masalah baru, ketika pertanian itu terdesak perubahan itu sendiri walaupun perubahan tidak ada kesimbangan, saling tunjuk menunjuk soal kebenaran secara subjektivitas. Sektor pariwisata adalah tulang punggung kehidupan masyarakat Bali.
Petanilah yang menyangga kehidupan di atas desa. Jadi kehidupan di atas desa semuanya ditanggung oleh petani, itulah yang disebut sebagai supra village.
Tapi, kata penulis pameran Hadiman, si supra ini kini keberadaannya sungguh memprihatinkan. Saat ini jumlah petani hanya 54% dari jumlah rakyat Indonesia walau peranan petani juga begitu besar dalam kontribusi mengisi kemerdekaan. Menjadi stakeholders penting dalam pembangunan pertanian serta menjadi ujung tombak kedaulatan pangan sebagai bagian strategis dari kedaulatan negara kita.
Namun, setelah 75 tahun merdeka, ternyata nasib petani masih memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan tingkat kesejahteraan yang tidak membaik, tingkat pendidikan masih rendah, lemahnya asset ekonomi serta kapasitas SDM masih rendah.
Penguasaan lahan oleh petani juga sangat terbatas karena sebanyak 55,33% petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Keterbatasan modal membuat petani sangat sulit keluar dari jerat kemiskinan.
Belum lagi persoalan hama yang tak kunjung punah. Pupuk yang terus naik hasrganya, dan berbagai persoalan lainnya. Bahkan dalan status sosial pun, petani tetap dianggap sebagai wong cilik, betapapun ia sukses dalam bidangnya. Sang supra village itu, pada akhirnya hanya berdiri mematung di atas desa. Ia tak punya taring, ia tak punnya tenaga, ia tak berdaya. Ia ada, tapi tak dilihat.
Badan Statistik Bali mencatat Wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Provinsi Bali pada bulan Februari 2021 hanya tercatat sebanyak 12 kunjungan, dan seluruhnya masuk melalui pintu bandara I Gusti Ngurah Rai.
Jumlah wisman ke Provinsi Bali pada bulan Februari 2021 mengalami penurunan sedalam 99,997 persen (hampir 100%) dibandingkan dengan catatan bulan Februari 2020 (y-o-y). Bila dibandingkan dengan bulan Januari 2021 (m-t-m), jumlah wisman ke Bali tercatat naik, dari 10 kunjungan di bulan Januari 2021 menjadi 12 kunjungan di bulan Februari 2021.
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada bulan Februari 2021 tercatat sebesar 8,99 persen, turun 2,16 poin dibandingkan TPK bulan Januari 2021 (m-t-m) yang tercatat sebesar 11,15 persen. Jika dibandingkan bulan Februari 2020 (y-o-y) yang mencapai 45,98 persen, tingkat penghunian kamar pada bulan Februari 2021 tercatat turun sedalam 36,99 poin. Sementara itu, TPK hotel non bintang tercatat sebesar 7,70 persen, naik 1,00 poin dibandingkan bulan Januari 2021.
Rata-rata lama menginap tamu asing dan domestik pada hotel berbintang di Bali bulan Februari 2021 tercatat 2,67 hari, turun 0,83 poin dibandingkan dengan capaian bulan Januari 2021 (m-t-m) yang tercatat 3,50 hari. Jika dibandingkan dengan capaian bulan Februari 2020 (y-o-y) yang tercatat 2,82 hari, angka ini mengalami penurunan sedalam 0,15 poin.
Tanpa diundang badai besar datang “ Covid-19” merontokan segalanya mulai kesehatan menjalar semua aktivitas baik ekonomi dan aktivitas lainya. Daya beli turun, banyak terjadi PHK.
Sementara pertanian kembali menggeliat sejak pariwisata dikeplug pandemic. Pekerja yang menggantung hidup dipariwisata menganggur, mengisi kegiatan tersebut banyak dari kalangan pekerja tersebut melakukan aktivitas bertani.
Walaupun begitu, persoalan ketersediaan lahan bisa mengatasi dengan sistem pertanian modern atau lebih dikenal dengan petani milenial (memanfaatkan lahan yang ada). Ada juga yang menggarap lahan yang luas dengan komoditi harga jual menarik hati.