Mungkin ada yang hanya senyum-senyum kecil.
Atau mungkin ada pula orang yang tersinggung melihat penjor yang saya buat pada Galungan dan Kuningan tahun ini. Bahkan sempat ada pula yang menganggap penjor ini sebagai sebuah penistaan terhadap agama Hindu.
Wow… Saya tidak menyangka akan ada yang menganggap penjor yang saya buat ini sebagai bentuk penistaan terhadap agama dan kebudayaan Bali.
Tidak ada maksud melecehkan atau menghina apa dan siapa pun di balik pembuatan penjor ini.
Ini murni karena keanehan yang saya rasakan ketika Hari Raya Galungan dan hari raya lainnya tiba. Melihat keluarga saya sendiri harus berutang demi “meyadnya”. Menggadaikan harta benda untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam setiap upacara.
Padahal yang saya ketahui tentang esensi hari raya adalah hari untuk bersuka cita. Bukan hari untuk memikirkan bagaimana cara membayar utang atau di mana mencari uang untuk memperingati sebuah hari raya.
Orang Bali terkenal dengan kebudayaannya. Ya, tentu.
Siapa yang tak kenal budaya Bali? Saat Hari Raya Galungan masyarakat hindu Bali diwajibkan membuat penjor sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena hasil bumi yang mereka nikmati selama enam bulan belakangan karena kalau dikaitkan dengan musim panen.
Masalah Besar
Bali dulu memiliki dua kali musim panen sebelum masuknya Revolusi Hijau dengan bibit yang katanya unggul dan pestisidanya yang membuat panen menjadi tiga atau empat bulan sekali.
Menurut saya sendiri kebudayaan tak sekadar atau semata tentang keindahan, tapi juga tentang pesan dan fenomena sosial yang sedang terjadi.
Menurut artikel yang pernah saya baca, penjor merupakan simbol dari Naga Basukih. Sedangkan Basukih berarti kemakmuran dan kesejahteraan. Hal itu digambarkan dalam ornamen ada di penjor itu sendiri. Misalnya, pala bungkah, pala gantung dan padi sebagai hasil bumi.
Di balik ingar bingar filosofi galungan, kemenangan dharma melawan adharma, Bali dihadapi dengan masalah yang sangat besar. Hilangnya lahan pertanian, alih fungsi lahan yang menyebabkan merosotnya nilai tawar masyarakat Bali atas ruang hidupnya sendiri.
Zaman terus berganti dan berkembang. Sawah ladang kini sudah berganti menjadi ruko, toserba, hotel, vila dan akomodasi pariwisata lainnya. Alih fungsi lahan demi kepentingan pembangunan. Eksploitasi terhadap alam Bali. Privatisasi ruang hidup.
Akibatnya terasa manusia Bali begitu terasing di tempat kelahirannya sendiri. Seperti makna lagu berjudul “Krisis Pangan” oleh Made Mawut & The Stomp.
Pembangunan hanya berorientasi pada pembangunan fisik. Tidak pernah memperhatikan pembentukan mental dan karakter manusia. Maka, masyarakat Bali kini diposisikan untuk menjadi masyarakat yang konsumtif dengan menghilangnya ribuan hektar lahan produktif di Bali.
Apa-apa kini serba beli. Mulai dari beras, garam bahkan janur dan berbagai keperluan upacara yang digunakan untuk ber-yadnya.
Menghibur Belaka
Pertanyaan yang kini timbul adalah, hasil bumi apa yang kini masih dimiliki oleh Bali? Apa yang bisa dijadikan ornamen penjor sebagai simbol mensyukuri kemakmuran dan kesejahteraan atas hasil bumi Bali?
Apa sesungguhnya makna di balik Galungan ini? Apakah sesederhana itu filosofi Galungan? Tidakkah makna Galungan ini cuma untuk menghibur belaka? Agar masyarakat Bali tidak kritis, tidak menuntut, manut dan menerima apa saja yang telah dan akan terjadi.
Toh sudah menang, apa lagi yang harus digelisahkan oleh pemenang? Seperti jargon sapta pesona ala pemeritah di Bali. Aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Ya, yang terakhir sangat lucu kalau ditambahkan dengan kata “tinggal”. Hehehe..
Tetapi kita perlu kembali berkaca pada realita. Adakah masyarakat sekarang menjadi pemenang? Menghadapi persaingan di bidang ekonomi, sosial, dll?
Ah.. sudah saatnya Galungan diberi makna yang lebih luas, tidak semata dalam pemahaman kemenangan dharma atas adharma saja.
Selamat hari raya Galungan dan Kuningan. [b]