
Yayasan Kebudayaan Rancage kembali mengumumkan pemenang penulisan sastra dalam bahasa ibu untuk ke-37 kalinya. Kumpulan puisi Renganis karya Komang Sujana mendapatkan Hadiah Sastra Rancagé 2025 untuk penulisan dalam bahasa Bali.
Tahun ini ada lima daeerah yang memenuhi kriteria untuk dinilai dalam Hadiah Sastera Rancagé 2025, yaitu sastra Sunda (16 judul), Jawa (17 judul), Bali (14 judul), Batak (4 judul), dan Lampung (3 judul). Penilaian karya ini merujuk pada penerbitan buku yang ditulis dalam bahasa ibu sepanjang 2024.
Ketua I Yayasan Kebudayaan Rancage Etti RS mengungkapkan, pihaknya terus mencari cara agar karya sastra daerah diminati oleh masyarakat. “Bukan karena tugas dari dosen tapi dengan kesadaran sendiri? Harus ada trik, bagaimana menarik minat pembaca?” kata Etti usai mengumumkan penerima Hadiah Sastra Rancagé 2025 di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Jumat, 31 Januari 2025 lalu.
Rancagé merupakan kosa kata Sunda secara harfiah artinya kreatif. Namun dalam konteks ini bisa dibaca sebagai upaya menjadi lebih baik.
Kehadiran penulis muda seperti Komang Sujana dalam nominasi Hadiah Sastra Rancagé memberi harapan bagi panitia dalam upaya pelestarian bahasa ibu. “Usia pemenang ini masih muda, antara 20 sampai 30 tahun,” kata I Nyoman Darma Putra yang sudah dua dekade menjadi juri untuk karya sastra Bali dalam perhelatan tahunan ini.
Dosen Pasca Sarja Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana ini menilai apresiasi bagi penulis dalam bahasa ibu ini baik untuk regenerasi penulis di Bali. “Yang pertama kali dapat Hadiah Sastera Rancagé dari Bali itu usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun,” kata Nyoman mengenang penilaian bagi karya sastra berbahasa Bali pada 1998 silam.
Apresiasi seperti Hadiah Sastera Rancagé, sambung Nyoman, jadi salah satu ekosistem yang mendukung perkembangan sastra dan budaya di Bali yang sangat beragam. Mulai dari sastra tradisional seperti kakawin atau puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno hingga sastra modern. “Ini dimulai di sekolah dan lingkungan,” tuturnya.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah interaksi antara penulis yang sudah lebih dulu berkarya dengan bakal atau penulis yang baru. “Kalau ada mahasiswa datang, sastrawan merasa eksis. Ekosistem itu yang membuat kehidupan sastra di Bali cukup berlanjut dan (saya) optimis,” tegas Nyoman yang saat ini berusia 64 tahun.
Keberadaan media massa berbahasa Bali –meski jumlah dan frekuensinya tidak sebanyak dulu–, kata Nyoman, turut mendukung animo penulis untuk berkarya. Dia memberi contoh keberadaan rubrik Angripta Rum di koran Nusa Bali, rubrik Media Swari di koran Pos Bali, Ajeg Bali di koran Media Bali, dan Suara Saking Bali, sebuah majalah daring berbahasa Bali.
Ada juga majalah berbahasa Bali yang baru, yaitu Sentir (Suluh/ Lampu), tahun 2023 juga terbit untuk Vol. 2 (Oktober-Desember 2023). Majalah yang terbit tiga bulan sekali ini memuat puisi, cerita pendek, hingga profil sastrawan. Menurut Nyoman, keberadaan media ini dapat membantu penulis untuk mengumpulkan karyanya sebelum diterbitkan jadi antologi puisi atau kumpulan cerita pendek.
Salah satu tantangan dalam ekosistem itu, ungkap Nyoman, adalah terbatasnya jumlah penerbit yang menerbitkan buku dalam bahasa Bali. Seperti tahun-tahun sebelumnya, buku-buku yang terbit di tahun 2024 sebagian besar diterbitkan Pustaka Ekspresi dari Tabanan, Bali.
“Sebelas judul diterbitkan Pustaka Ekspresi, sisanya tiga judul oleh penerbit Mahima (Singaraja). Ini penting dicatat karena di satu pihak menunjukkan komitmen Pustaka Ekspresi dalam menjaga kehidupan sastra Bali modern, di lain pihak menunjukkan terbatasnya penerbit yang memperhatikan kehidupan sastra Bali modern,” kata Nyoman dalam catatan penjuriannya.
Yang istimewa dan patut dicatat adalah lima judul buku, untuk pertama kalinya penerbitan buku sastra Bali mendapat bantuan dari dana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Keunggulan Renganis
Untuk menentukan pemenang Hadiah Sastra Rancagé 2025, Nyoman harus membaca 1 buku drama, 5 antologi cerpen, dan 4 antologi puisi. Empat karya lainnya berupa antologi karya bersama tidak masuk dalam nominasi penerima penghargaan.
Antologi puisi Rengganis, yang terpilih sebagai pemenang, memuat 66 puisi dalam 90 halaman. Kekhasan dari antologi ini terletak pada orisinalitas bentuk, isi, dan ekspresi.
Dari segi bentuk, puisi-puisi dalam antologi Renganis bervariasi, tetapi umumnya pendek, dengan menggunakan rima yang terjaga indah tetapi bukan syair atau pantun. “Variasi bentuk ini membuat selera baca bebas dari kemonotonan,” terang Nyoman.
Selang-seling puisi agak panjang dan pendek juga membuat proses baca dan penyimakan jadi bervariasi.
Dari segi isi dan juga amanat, puisi- puisi Renganis yang berjumlah 66 judul ini hadir dengan tema yang heterogen, serba ada namun tidak berlebihan. Ada tema tentang panggilan untuk pelestarian kesenian seperti puisi “Renganis” seri 1-3 dan “Kanti Sastra”; tema kritik sosial seperti puisi “Punyah” (Mabuk) dan “Pesta kembang Api” yang dengan halus simbolik mengritik pejabat pesta pora dan lupa membantu rakyat kecil yang kotor dan homeless (tak punya rumah); dan tema ritual atau hari suci seperti hari raya “Galungan”, “Kuningan”, “Segehan” (sesajen), dan “Upacara Kedasa” (Ritual Purnama ke-10).
Dari segi ekspresi atau diksi, puisi-puisi Renganis tampil dengan pilihan kata yang orisinal, banyak metafora, dan kosa-kata simbolik dengan pluralitas makna yang menggairahkan keindahan puisi. Judul Renganis sendiri bisa berarti ‘irama [reng] manis’, ‘irama nis [kala atau magis] tak terlihat alias sepi’. Selain berarti ‘irama’, ‘reng’ juga berarti ‘dengarkan’, jadi renganis berarti mendengarkan (irama) yang manis atau yang nis atau magis, yang damai, yang santi.
“Secara keseluruhan, antologi Renganis ini menyampaikan berbagai rasa berbeda (memuji atau mengritik) dengan indah dan santun tetapi amanat di dalamnya tetap kuat, tajam, dan menyayat,” tulis Nyoman perihal penilaiannya.
rtp slot toto slot situs togel toto slot rtp slot slot gacor slot gacor toto slot situs gacor hari ini