Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) meluncurkan dokumen kebijakan kesehatan atau Health Outlook 2023: Saatnya Berubah di Jakarta pada Rabu, 22 Februari 2023. Dokumen ini berisi pemetaan isu dan rekomendasi untuk reformasi sistem kesehatan di Indonesia.
“Pandemi COVID-19 menguak masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan di Indonesia, pandemi juga menunjukkan permasalahan kesehatan publik selalu bersifat struktural. Analisis kami menunjukkan, setidaknya terdapat tiga tantangan kesehatan struktural pada 2023, yakni mundurnya ketahanan sistem kesehatan, mengendurnya komitmen politik untuk sektor kesehatan di tengah gemuruh Pemilu 2024, dan terbatasnya anggaran untuk sektor kesehatan,” kata Founder dan Chief Executive Officer CISDI Diah Satyani Saminarsih dalam peluncuran tersebut.
Untuk merespons perkembangan tersebut, CISDI menekankan urgensi reformasi sistem kesehatan nasional. “Upaya transformatif tidak selalu berupa hal yang baru dan bombastis. Memanifestasikan gagasan lama yang belum mewujud, menyelesaikan pekerjaan rumah dengan pendekatan baru, dan membangun pondasi perbaikan sistem jangka panjang adalah bagian dari transformasi,” kata Diah.
Untuk mewujudkan perubahan transformatif, CISDI merumuskan tiga pilar sistem kesehatan nasional. Pilar pertama, transformasi layanan kesehatan primer. Jauh sebelum pandemi, layanan kesehatan primer sudah tidak berfungsi sebagai garda terdepan sistem kesehatan. Transformasi yang ideal adalah mewujudkan akses layanan kesehatan primer yang merata dan berkualitas layak bagi semua kalangan. Penting juga untuk mengintegrasikan layanan kesehatan primer, baik antara fasilitas kesehatan publik-swasta maupun aktivitas unit kesehatan perorangan (UKP), dan unit kesehatan masyarakat (UKM).
“Layanan kesehatan primer sebagai kontak pertama populasi dalam sistem kesehatan harusnya menjadi yang paling tangguh dari keseluruhan sistem kesehatan,” kata Diah. Transformasi ini dapat diwujudkan melalui empat intervensi kebijakan strategis.
Pertama, mendefinisikan ulang makna sistem kesehatan nasional dan partisipasi masyarakat serta menempatkannya dalam hierarki perundang-undangan tertinggi. UU Kesehatan dapat menjadi policy window untuk meredefinisi Sistem Kesehatan Nasional dari urusan pemerintah menjadi urusan bersama, dari urusan sektor kesehatan menjadi lintas sektor.
Kedua, melalui pembentukan rencana pengelolaan sumber daya manusia kesehatan (SDMK) komprehensif mulai dari pendidikan hingga penempatan untuk memastikan ketersediaan SDMK dari segi kuantitas dan kualitas secara berkelanjutan, termasuk di dalamnya kader kesehatan.
Ketiga, mengelola efektivitas belanja kesehatan, tidak hanya untuk mendorong pengumpulan dana publik, tetapi juga pengalokasiannya yang adil dan efisien.
Keempat, memenuhi standar kualitas layanan dan memastikan kepatuhan pada standar praktik klinis dan pedoman penyelenggaraan layanan.
Pilar kedua, transformasi sistem kesehatan digital. Perlu ada inovasi teknologi dan integrasi sistem informasi kesehatan yang berkeadilan. Orientasinya harus berfokus pada perbaikan kualitas dan akses layanan kesehatan bagi semua, tanpa mengabaikan kelompok rentan.
“Beragam tantangan menanti di depan, mulai dari fragmentasi data, kurangnya infrastruktur pendukung, kurangnya kapasitas layanan kesehatan, keterbatasan SDM ahli, tata kelola, dan kepemimpinan, hingga keterbatasan regulasi,” kata Diah.
Transformasi ini dapat diwujudkan melalui empat intervensi kebijakan strategis. Pertama, menyediakan infrastruktur kesehatan dan non-kesehatan yang merata, mencakup pengadaan infrastruktur telekomunikasi dan ketersediaan listrik.
Kedua, pemangku kebijakan khususnya Kominfo harus mengejar gap regulasi mengenai standar bagi-pakai data untuk mempercepat integrasi data kesehatan yang bersifat lintas-sektor. Selain itu, peran Kementerian Kesehatan sebagai Pembina Data di Tingkat Pusat harus diperjelas melalui revisi Perpres Satu Data Indonesia.
Ketiga, di tingkat hulu, Indonesia, jumlah pilihan jurusan informatika kesehatan di perguruan tinggi dan akademi masih terbatas. Harus ada kerjasama bermakna antara pemerintah, pendidikan tinggi, dan swasta untuk mendesain jalur karir yang lebih jelas untuk pemenuhan SDM Kesehatan bidang IT.
Keempat, Perbaikan Tata Kelola Data Kesehatan yang harus segera dilaksanakan mengingat fragmentasi data kesehatan masih nyata, mulai dari tingkat layanan, kabupaten/kota, provinsi, hingga kementerian/lembaga pusat.
“Digitalisasi seolah menjadi obat paling mujarab yang walaupun rasanya pahit harus ditelan. Bila perlahan dikerjakan dengan prinsip kesetaraan, transformasi ini bisa menyembuhkan,” ujar Diah.
Pilar ketiga, transformasi tata kelola kesehatan global dan teknologi kesehatan. Indonesia perlahan mulai terlibat aktif dalam diplomasi multilateral untuk kesehatan global.
“Sejumlah posisi strategis di berbagai kerja sama multilateral telah diisi. Komitmen pembiayaan telah disepakati dan ditandatangani. Tetapi, gaungnya di dalam negeri belum senyaring di luar negeri. Kita jelas butuhkan aksi konkrit berupa kebijakan inklusif dan partisipatif, serta memetakan prioritas aksi diplomasi untuk memperkuat sistem kesehatan nasional,” kata Diah. Transformasi ini dapat diwujudkan melalui empat intervensi kebijakan strategis.
Pertama, dibutuhkan aksi yang beyond showcase. Artinya, posisi Indonesia dalam diplomasi kesehatan, semestinya dapat melampaui posisi kepemimpinannya di tingkat global. Objektif dari kepemimpinan ini sudah jelas untuk memperkuat Sistem Kesehatan Nasional.
Kedua, diperlukan penguatan koordinasi lintas sektor yang kuat khususnya antara Kemenkes RI, Kemenkeu RI, Kemenlu RI, dan Bappenas agar perencanaan, penyusunan indikator, hingga pelaksanaan diplomasi kesehatan Indonesia dalam arena multilateral sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.
Ketiga, peningkatan kualitas tata kelola pembiayaan kesehatan global berdasarkan pada pengukuran dampak terhadap sistem kesehatan. Selain itu, diperlukan skema country coordinating mechanism agar penyusunan prioritas di dalam negeri berdasarkan prinsip inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Keempat, penyelarasan pandemic treaty dengan hak kekayaan intelektual untuk memperkuat posisi teknologi kesehatan (vaksin, obat-obatan, dll.) sebagai barang publik disertai penyelarasan pandemic treaty dengan fasilitas pembiayaan kesehatan global. Ini untuk memastikan komitmen berkelanjutan investasi teknologi kesehatan hingga di tingkat nasional.
Menutup kegiatan, Diah mengingatkan kembali pentingnya penguatan sistem kesehatan. “Melalui catatan Health Outlook 2023, kami meyakini sistem kesehatan yang adil, setara, berkualitas, responsif, efisien, dan resilien hanya dapat diwujudkan melalui reformasi kebijakan tata kelola (governance), pembiayaan kesehatan (health financing), dan pelayanan kesehatan (service delivery).” (siaran pers)