Menolak tanpa data akurat tentu wajar dicurigai sebagai gerakan liar.
Apalagi mereka yang menolak reklamasi Teluk Benoa digawangi anak muda yang tidak jelas dasar keilmuannya. Bagaimana mungkin mampu memberikan analisis memadai tentang dampaknya.
Analisis dampak lingkungan tidak mungkin diberikan oleh mereka yang kuliahnya tidak tamat, apalagi jurusannya sastra.
Yup, I Gede Ari Astina atau Jerinx atau JRX memang tidak kuliah di jurusan lingkungan. Dia adalah anak muda yang mengisi hidupnya menurut pasion-nya. Dia mampu menjawab tantangan hidup lewat bermusik.
Sejak SMA, menurut salah satu teman sekelasnya Susanti, Jerink sudah menyatakan minatnya pada musik. Ketika ditanya cita-citanya saat pelajaran bahasa Inggris, jawabannya adalah menjadi pemusik.
Saya kebetulan pernah satu almamater saat di SMA dulu dengan Jerinx. Masih ingat dia sudah tampil menggebuk drumnya di acara-acara sekolah. Masih ingat pula ketika tahun 1995/1996 mengambil drum set di rumahnya di Kuta untuk dibawa ke kampus Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud).
Ketika itu SID tampil dalam acara musik di kampus tentunya tanpa dibayar, meskipun nama SID sudah mulai diperhitungkan saat itu.
Mungkin karena salah satu personil SID, Eka adalah anak sastra Inggris Unud juga menjadi salah satu faktor gratis itu.
Sikap Jerinx yang sangat humble ketika membantu memindahkan drum ke pick up dan begitu juga membantu kembali menurunkannya saat hendak kami kembalikan memberikan gambaran sekilas bahwa anak muda yang badannya penuh tato ini cukup baik. Dari idealisme hidup ataupun bertutur dengan orang yang tidak dikenalnya.
Tetapi mencurigai Jerinx sebagai antek asing, sebagaimana disampaikan I Ketut Wiana, begitu pula menyamakan semua anak-anak muda yang turun ke jalan menolak reklamasi Teluk Benua sebagai antek-antek asing tentu sangat wajar dicurigai dikeluarkan oleh orang yang, tidak saja dasar keilmuannya yang berantakan tetapi nurani keilmuannya pun boleh diperdebatkan.
Saya pernah bertemu dengan Wiana dan beberapa kali membaca tulisannya. Dia seorang tua yang bergelut dengan teks-teks keagamaan. Ulasannya sering muncul di koran lokal, Majalah Hindu dan memberi kuliah tentang agama di institut keagamaan di Bali. Sudah menyandang gelar akademis yang tertinggi di bidang keilmuannya.
Menulis sekaligus memberikan ceramah tentang Tri Hita Karana adalah keahliannya. Sebagai orang yang telah menyelesaikan S3, tentu berbicara apalagi memberikan pernyataan kepada media haruslah memenuhi kaidah keilmuan. Menyatakan revitalisasi berbasis reklamasi adalah sangat diperlukan oleh Teluk Benoa untuk menyelamatkan lingkungannya sangat memalukan bagi seorang doktor!
Sebelumnya ada tulisannya dalam sebuah buku yang mengulas tentang Tri Hita Karana termasuk melawan investor yang hendak merusak Bali. Tentu sangat kontradiktif dengan dukungannya terhadap perusakan alam di teluk Benoa.
Ada apakah ini?
Tidak salah kalau kemudian saya mengambil asumsi bahwa telah terjadi negosiasi yang berhasil membeli idealisme seorang Wiana. Dan ketika asumsi itu muncul di kepala saya, maka sirnalah segala hormat dan bangga saya pada seorang Wiana.
Sementara asumsi saya terhadap Jerinx semakin nyata. Salut dengan seluruh jempol. Hanya saja komparasi ini semakin meneguhkan persepsi saya, bahwa telah terjadi kesalahan besar dalam sistem pendidikan kita, nilai-nilai telah hancur berantakan.
Sebagaimana yang dipertontonkan oleh anak punk n rock dengan tubuh bertato dengan bicara yang keras dan seorang tua agamawan dengan destar putih penuh ayat-ayat suci.
Rencana reklamasi semakin memperlihatkan jati diri kita sebagai manusia-manusia Bali.
Apakah kita manusia yg rela menjual ibu pertiwi ataukah kita adalah anak-anak ibu pertiwi yang dengan sadar akan siap membela pati demi kehormatan Ibu kita!
Sesetan ada dalam barisan penentang reklamasi Teluk Benoa!!! [b]