Pekan lalu ada seminar bertajuk Pro Kontra Reklamasi Teluk Benoa.
Tapi tak ada perwakilan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) maupun penolak lain yang hadir. Padahal kursi-kursi di ballroom Hotel Inna Bali Jl Veteran Denpasar tampak penuh.
Hadir tiga tim ahli yang mendukung rencana reklamasi hampir 700 hektar ini. Juga ada presentasi dari investor, PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Mereka yakin reklamasi akan menguntungkan Bali dan alam sekitarnya.
Heru Budi Wasesa, Direktur PT TWBI dengan nada gusar sampai mengumbar pernyataan. “Suatu saat jika diizinkan dan melakukan perusakan lingkungan, marjinalkan warga, saya orang pertama kali menggantung TWBI dan gantung diri di pulau Pudut,” serunya.
Ia mengaku ada sejumlah tuduhan bagi pihaknya. “Ada tuduhan warga tak boleh masuk, jadi kawasan eksklusif. Ndak mungkin, kami bangun kanal biar nelayan bisa masuk 24 jam. Tidak mungkin kami eksklusif,” ujarnya.
Penolakan warga dengan alasan persaingan usaha, menurutnya tak benar. TWBI menurutnya tak akan membuat bisnis watersport seperti yang selama ini sudah ada di Tanjung Benoa, tetangga Teluk Benoa.
Dia juga kesal dengan sinisme pada bosnya. “Emang kenapa pak Tommy Winata, apa salahnya? Apa yang sudah kami lakukan di Bali? Kami punya hotel yang sudah balik modal. Kalau tiap keuntungan tak boleh dibawa ke Jakarta harus diaplikasikan ke warga. Saat bom Bali kami membangun Discovery Mall,” ujar Heru yang sebelumnya Direktur Eksekutif Artha Graha Peduli ini.
Sebelum mulai proses konstruksi, setelah mengantongi izin lokasi, investor harus menyelesaikan rangkaian proses analisis dampak lingkungan. Kemudian mendapat penilaian dari pemerintah dan harus diketahui warga.
Marvin Lieano, komisaris PT. TWBI mempresentasikan rencana pembangunan di Teluk Benoa. Dia memperlihatkan belasan model pulau buatan yang diklaim setara bintang 5 dan 6. Di antaranya pusat perdagangan produk Bali dan nasional ke seluruh dunia, pusat konvensi dan selebrasi dunia, botanical garden, pusat akomodasi dunia, taman rekreasi, ikon bangunan dan jembatan, sarana pelabuhan yacht, eco resort, dan lainnya.
“Kalau memakan usaha lain, apa yang dimakan? Konsep waterfront yang kita jual, yang kita jual bukan pantai tapi air, mangrove,” jelas pria ini.
Ia menambahkan akan dibangun sekolah, universitas dan rumah sakit bertaraf internasional. “Saat APEC semua bawa tim medis, orang internasional tak percaya dengan kualitas kita,” kilahnya. Ia juga menyebut kawasan mewah di Teluk Benoa akan berbeda dengan kebanyakan resor yang dibangun mewah tapi di belakangnya kumuh.
Marvin menjelaskan pihaknya tak mungkin buang-buang uang triliunan dalam reklamasi ini. “Kita tak buang 30 triliun ke laut nanti semua digantung Tommy Winata,” tepisnya.
Proyek ini menurutnya untuk 50 tahun ke depan. Menurutnya, pajak daerah yang bisa didapat Bali juga besar. Misalnya pajak pertambahan nilai (PPN) dari Rp 30 triliun atau sekitar Rp 3 triliun maupun pajak hotel dan restoran, dan lainnya.
Sebelumnya di awal seminar, tiga akademisi mempresentasikan dan meyakini revitalisasi berbasis reklamasi ini menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.
Prof. Dietriech Geoffery Bengen, bidang pengelolaan pesisir dan guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi tim ahli TWBI memulainya. Presentasinya sama dengan penjelasan-penjelasan sebelumnya tentang perlindungan bakau dan biota laut di teluk.
Di sekitar Teluk Benoa ada 1.373 hektar kawasan mangrove dengan dominan Sonneratia alba atau prapat yang kondisinya harus mendapat air laut. Eustaria yang menurutnya kaya karena dapat air laut dan darat. Biotanya juga kaya ada benthos, plankton, tumbuhan laut.
Abrasi dan erosi pulau Pudut di dalam area teluk menurutnya makin keras. Keluar masuknya perahu nelayan makin sulit karena pendangkalan makin besar. “Air laut makin susah ke mangrove, perlu flushing atau limpasan. Salinitasnya makin jauh ke mangrove karena makin dangkal,” ujarnya.
Revitalisasi dengan membuat pulau penyangga ia klaim sebagai mitigasi kalau ada arus kencang atau evakuasi. “Paling optimal 700 ha, harus ada ruang terbuka hijau 40%,” kata Bengen.
Kalau reklamasi bisa jalan, menurutnya banyak kenikmatan seperti nelayan jadi guide wisata mancing.
Sementara Prof. Herman Wahyudi bidang geoteknik Institut Teknologi Surabaya (ITS) menuding masyarakat baru mendengar revitalisasi berbasis reklamasi sudah alergi. “Dulu memang sebelum Perpres lahir reklamasi keliru, asal nimbun. Pasirnya lari ke mana-mana rusak lingkungan,” terangnya.
Ia mengaku sudah memperhitungkan teknis dan dampak timbunan. Karena itu reklamasi disusun berbentuk pulau-pulau kecil. Herman mengklaim tak ada potensi banjir, erosi, dan sedimentasi.
“Direncanakan dengan timbunan pulau dan bangunan yang cukup tinggi beserta fasilitas penunjangnya sebagai area tempat pelarian masyarakat menghindar dari gelombang tsunami. Karena memang masuk zona rentan tsunami,” sebut Herman.
Stabilitas pada keruntuhan juga disebut sudah diperhitungkan. Kalaupun ada peristiwa longsor akibat material timbunan, menurutnya tidak mengenai tiang eksisting jalan tol dan area hutan bakau.
Terakhir ada Dedi Tjahjadi Abdullah bidang sumber daya air ITB dari teknik sipil. Limpasan air dari sejumlah daerah aliran sungai di teluk diklaimnya tak mungkin membuat rob atau banjir kawasan sekitarnya. Kenaikan air juga menurutnya sangat rendah sekitar 14 sentimeter menurut hitung-hitungannya.
“Kalau ada pulau-pulau (hasil reklamasi) pasti ada yang bersihkan sedimennya,” katanya.
Ia mengakui kawasan ini masuk area rentan tsunami. Namun akan terlimpasi karena tinggi gelombang sekitar 4 meter sementara timbunan reklamasi akan lebih tinggi dari itu.
Balai Pemberdayaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Ikram M. Sangaji yang mengaku murid Prof Bengen juga menjadi pembicara dan menyatakan belum ada satu kesepahaman konservasi kawasan.
“Sumber daya harus punya nilai ekonomi. Amed dan Tulamben tak ada penetapan status (zonasi) tapi banyak perputaran uang. Lingkungan harus dikelola agar memberi nilai tambah,” ujarnya.
Ia mengaku mendorong tiap perencanaan wilayah mengacu ekonomi berkelanjutan tanpa abaikan ekologis dan sosial. Setelah reklamasi, ia berharap penghasilan warga lebih besar.
Perspektif lain
Perspektif berbeda tahun lalu dipaparkan oleh I Ketut Sarjana Putra, vice president Conservation International (CI) yang membuat studi awal mengenai dampak reklamasi di Teluk Benoa. Riset yang dirilis lembaga ini tahun lalu menarik perhatian banyak pihak karena membuat modelling.
“Kami ingin melanjutkan studi ini karena memang belum sempurna untuk mengetahui dampak sebuah proyek dan bagaimana kita harus mengantisipasinya,” kata pria yang sudah bekerja di bidang lingkungan lebih 30 tahun ini.
Ia mengatakan studi ini sebagai bagian mewujudkan pembangunan Bali yang lebih sustainable dan komprehensif. “Studi ini adalah pengetahuan yang harus kita bagi. Kita tak ingin dampak buruk reklamasi Serangan kembali terjadi dan tidak tahu solusinya,” tambah Sarjana.
Jika terjadi hujan, ada sejumlah DAS yang airnya mengalir ke teluk. Sekitar 7,9 juta kubik meter mengalir ke sini, sehingga risiko rob sangat besar. Air diperkirakan akan naik 4 meter di dalam teluk jika reklamasi 80 persen.
Modelling yang dibuat CI Indonesia ketika itu reklamasi 80 persen wilayah teluk karena dalam surat izin pemanfaatan yang dikeluarkan Gubernur Bali untuk TWBI, tertulis lebih dari 800 ha.
Ia menyebut ada 2 spot diving yang hilang di Sanur karena reklamasi Serangan. “Padahal dulu orang tak perlu pakai speedboat untuk ke spot diving, sehingga mahasiswa dengan mudah bisa akses tanpa biaya mahal,” kata Sarjana. Sebaran terumbu karang di pesisir selatan sampai timur termasuk Sanur, Nusa Dua, Benoa, sampai Teluk Benoa menurtnya harus dilindungi.
“Sebagai pulau kecil harus hati-hati mengelola Bali,” katanya. Harus membangun Kawasan Konservasi Perairan. Karena banyak spesies yang belum ditemukan. Misal Euphyllia Baliensis yang baru-baru ini ditemukan, menurutnya turis harus bayar untuk melihat ini. Dari sisi ekologi, area teluk disebut sebuah sistem yang tak stabil. Dia selalu mencari bentuk, di mana titik seimbang.
Sejumlah pihak lain juga sebelumnya meragukan klaim investor seperti kemampuan pulau buatan jadi area mitigasi bencana seperti tsunami.
Di sisi lain publik yang menolak reklamasi juga terus melakukan aksinya. Terakhir pada akhir November lalu, dikoordinir ForBALI, ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali untuk minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan.
Mulai dari proses pemberian izin dan rekomendasi sampai Perpres yang merevisi kawasan konservasi di teluk Benoa oleh mantan presiden SBY. “Penolak reklamasi seperti yatim piatu karena Gubernur dan DPRD-nya tak peduli,” teriak I Wayan Suardana, Koordinator ForBALI. [b]
Jika, reklamasi/revitalisasi memang baik tujuannya, mengapa kesannya mereka tergila-gila, sangat berambisi akan revitalisasi tersebut, seakan-akan sangat menguntungkan bagi mereka, mereka menerima 70% dari hasil reklamasi, dan 30% sisanya akan ditunjukkan kepada masyarakat bahwa revitalisasi menguntungkan semuanya. Ini terlihat seperti tipu daya mereka, sampai sampai membawa tim ahli.
Selain itu, mengapa mereka meminta dukungan dari masyarakat lain dengan membuat iklan/situs di dunia maya untuk mendukung mereka, jika revitalisasi memang untuk demi kebaikan bersama?
Mereka hanya menutupi keinginan mereka yang sebenarnya dengan memberi janji revitalisasi akan menguntungkan semuanya.
🙂