Oleh Luh De Suriyani
Sebagian rumah tangga di Bali, termasuk warga asing mempunyai pekerja rumah tangga (PRT). Apakah Anda pernah memberikan libur dan jaminan kesehatan? Faktanya, nyaris semuanya, sekitar 200 ribu PRT di Bali tidak mendapatkan dua hak dasar itu yang kini diadvokasikan Jaringan Nasional (Jala) Pekerja Rumah Tangga.
Pada acara konsultasi publik yang digagas Jala PRT, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, dan sejumlah stakeholder Pemerintah Bali, Jumat (12/9) lalu, di aula Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bali, dibahas draft Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan PRT.
Tujuan penyusunan draft RUU ini untuk memberikan pengakuan hukum atas pekerjaan PRT, pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai nilai setara dengan jenis pekerjaan lain, mencegah segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi. Serta mengatur hubungan kerja yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Yang diakui sebagai PRT dalam draft ini adalah PRT yang berumur minimal 18 tahun. Di luar itu, dinyatakan sebagai pekerja anak yang dilarang.
I Wayan Ardita, anggota DPRD Bali Komisi I mengatakan pemerintah Bali saat ini memang tidak mempunyai kebijakan perlindungan PRT. Pekerja sektor informal ini selama ini sangat rentan mendapat kekerasan dan pelanggaran HAM. ”Masalahnya Bali masih memiliki keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya kualitas sumber daya manusia,” ujar Ardita, sehingga banyak perempuan, bahkan anak-anak menjadi PRT.
Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggreni memaparkan, dari hasil risetnya diketahui bahwa PRT tidak mempunyai kemungkinan untuk bekerja sesuai kehendak majikannya. ”Mereka memenuhi semua kewajiban, tapi sangat sedikit mendapatkan haknya sebagai pekerja,” ujarnya.
Misalnya rata-rata PRT bekerja lebih dari 12 jam karena sebagian besar tinggal di rumah majikan, tidak mendapat libur, pembayaan gaji terlambat, pemotongan gaji sepihak, larangan bersosialisasi di luar rumah majikan, dan beban kerja yang tak terhingga. ”Ini adalah bentuk pemiskinan berkelanjutan,” kata Lita.
Sayangnya, di Bali belum ada pendampingan dan pengorganisasian PRT secara intens. Di Bali, kemungkinan terjadinya kekerasan ekonomi pada PRT cukup besar karena beban pekerjaan domestik cenderung lebih besar dengan bertumpuknya ritual adat dan agama.
Hal ini dibenarkan I Nyoman Ledang Asmara, pimpinan agen penyalur PRT ”Yayasan Sejahtera Berhasil” berkantor di Denpasar. ”Saya setuju dengan pembuatan UU perlindungan PRT. Namun, harus diatur juga kewajiban-kewajiban PRT, tidak hanya haknya saja,” kata Ledang.
Makin meningkatnya permintaan PRT, membuat makin banyaknya usaha penyaluran PRT di Bali. Kini, menurut Ledang ada 28 agen resmi, dan banyak lagi yang tidak resmi.
Dalam pembahasan draft itu, yang menjadi polemik di antaranya mengenai pemberian upah lembur di luar jam kerja, kewajiban memberikan cuti tahunan, cuti hamil dan melahirkan, dan jaminan kesehatan oleh majikan.
”Hak-hak pekerja itu adalah standar pekerja pada umumnya, yang memang harus diberikan. Namun, dalam memenuhi kewajiban itu, dalam beberapa hal majikan dan PRT bisa fleksibel menentukan waktunya,” papar Lita.
”Menurut saya, peraturan ini akan sulit diterapkan. Karena di masing-masing daerah berbeda budya dan adatnya, bagaimana kita memperlakukan pembantu. Lebih baik dikompromikan saja. Peraturan ini malah membelenggu kita dalam hubungan kekeluargaan dengan pembantu,” tukas MYCH Atik, 63 tahun, seorang ibu rumah tangga.
Menurut Lita, ini adalah upaya untuk merevitalisasi peran perempuan khususnya PRT dalam meningkatkan kesejahteraannya. Lita mengatakan, di sejumlah negara seperti Philipina, pemerintahnya bahkan telah membuat regulasi untuk memberikan pendidikan bagi PRT yang putus sekolah di luar jam kerja. [b]
Mohon Info Penyalur Pembantu Wilayah Denpasar
kriteria : Jujur, mau belajar, bertanggung jawab dengan kerjaan,orang Bali
silahkan hubungi kami di : 0813-1131-8002