Kalau sudah urusan nada, ukuran tubuh di atas rata-rata bukan jaminan manusia tidak ikut mendendangkan lagu mendayu-dayu.
Malam itu Jumat, Lalu lintas di Jl Hayam Wuruk padat. Di depan Mangsi Coffee, kendaraan melambat. Keramaian yang tak biasa di kedai kopi itu. Orang tumpah ruah sampai ke trotoar jalan. Sebagian berdiri di seberang Mangsi. Lampu gerai ritel di seberang jalan dengan jelas memperlihatkan sedang berdiri di sana sosok-sosok berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia.
Di dalam kedai, lebih banyak yang berdiri daripada dapat kursi. Banyak juga gadis-gadis muda di sana. Kalau boleh memilih tentunya mereka akan duduk di meja yang paling dekat dengan jajaran stan mikrofon. Agar bisa melihat lebih dekat para musisi yang akan tampil. Sayangnya tempat itu telah diisi oleh pria-pria yang berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia.
Karena ukuran tubuhnya yang di atas rata-rata manusia Indonesia, mungkin daya serap mereka terhadap cairan bir juga di atas rata-rata manusia Indonesia. Botol-botol bir kosong sudah menyita meja bulat yang mereka kelilingi. Seorang dari mereka berdiri dan mengangkat botol wiski dari meja, menuang isinya ke gelas. Seruput. Lalu giliran temannya, yang setelah menuang isi botol wiski menuang lagi isi dari kaleng cola ke gelasnya. Seruput. Ah sedap betul.
Botol wiski tinggal seperlima isi. Padahal suguhan musiknya belum dimulai. Tapi sebentar, sepengetahuan saya Mangsi tidak menjual wiski. Bir biasanya ada, tapi malam itu saya tidak beruntung. Habis, kata pramusaji kedai ketika saya meminta bir. Padahal saya tidak ingin memesan banyak, meski daya serap saya terhadap cairan bir mungkin di atas rata-rata manusia Indonesia.
Orang terus berdatangan ke Mangsi. Banyak gadis-gadis muda membuat keramaian malam itu jadi lebih berwarna. Setidaknya karena ukuran tubuh mereka masih rata-rata manusia Indonesia.
Ini seri ke-4 mini konser Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa yang digelar oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali). Konser sebelumnya, 20 September, terpaksa dibatalkan. Sedianya konser itu berlangsung di Twice Bar, di Poppies Kuta. Bar itu milik drummer Superman Is Dead, Ari Astina alias JRX yang ukuran tubuhnya di atas rata-rata manusia Indonesia.
Petang menjelang konser ForBali yang ke-3, anggota Polsek Kuta mendatangi Twice Bar dan menanyakan surat izin keramaian untuk konser. Pengelola Twice Bar yang merasa kawasan Kuta selalu ramai, tidak menyiapkan izin keramaian. ForBali memilih untuk membatalkan konser itu, dan menjadwalkan konser ke-4, tepat seminggu sesudahnya, di Mangsi Coffee.
ForBali juga menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Bali pada Senin (23/9). ForBali sudah beberapa kali unjuk rasa menekan Gubernur Mangku Pastika untuk mencabut surat keputusannya tentang reklamasi Teluk Benoa. Tapi aksi unjuk rasa terakhir jadi unik, karena juga dihadiri sekelompok pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia. Dengan memakai pakaian adat Bali mereka memperkuat pengamanan di kantor Gubernur Bali yang sudah ada polisi dan Satpol Pamong Praja.
Pukul 20.15 WITA, The Cletz mulai mengisi posisi penampil. Gungde, vokalis The Cletz, mencoba bersikap ramah dan menyapa penonton yang berjarak sekitar dua meter di depannya, pria-pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia. Gungde yang ukuran tubuhnya rata-rata manusia Indonesia itu tidak sedang berpura-pura ramah. Dia memang sosok yang ramah. Meski sikap ramah orang Bali seperti Gungde tidak bernilai berita karena rata-rata orang Bali selalu dicitrakan ramah dan murah senyum. Sehingga turis betah di Bali.
Tiga lagu rock n roll dalam format akustik kelar dibawakan The Cletz. Panggung diambil alih oleh Emoni dengan perangkat rindik atau gamelan bambu. Emoni mengawinkan instrumen musik tradisi seperti rindik, suling, dan kendang dengan gitar dan bass. Personil Emoni yang berukuran tubuh rata-rata manusia Indonesia selalu tampil rapi, berpakaian seragam adat Bali.
Menonton harmonisasi Emoni seperti menggiring ke suasana kampung halaman. Suasana kampung halaman yang selalu membawa orang ingin pulang, mudik. Menjenguk kembali akar dan tradisi, karena sering kali modernisasi tak memberi jawaban atas persoalan. Harmonisasi Emoni senantiasa membangkitkan rasa damai dan tentram di hati. Sungguh sangat Bali, yang harus selalu dicitrakan tentram dan damai. Stabilitas keamanan seperti harga mati. Agar turis terus datang ke Bali.
Setelah Emoni tiga lagu, giliran Nosstress. Trio akustik beranggotakan Kupit, Angga dan Cok selalu tampil penuh penjiwaan, soulful, yang paling jelas terlihat dari cari Kupit bernyanyi sambil memejamkan mata. Lagu pertama Nosstress membawakan tembang dari AA Raka Sidan, Song Brerong. Sejak bait pertama lagu, penonton sudah ikut bernyanyi. Dan yang terdengar paling keras bernyanyi dari meja paling depan, pria-pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia.
Ah, kalau sudah urusan nada, ukuran tubuh di atas rata-rata bukan jaminan manusia tidak ikut mendendangkan lagu mendayu-dayu.
Raung bunyi sirene mendekat. Saya seperti kebanyakan penonton lainnya mengalihkan pandangan ke jalan. Polisi datang?
Bukan. Mobil ambulans.
Lagu kedua, Nosstress masih membawakan tembang dari AA Raka Sidan. Personil Nosstress yang berukuran tubuh rata-rata manusia Indonesia kembali membangkitkan koor penonton. Lagu ketiga, Nosstress membawakan karya mereka sendiri, Tanam Saja. Windu, pemilik Mangsi Coffee, dokter muda yang juga personil band D’Lajang ikut memainkan harmonika. Sayangnya lagu andalan Nosstress ini belum familiar bagi pria-pria yang berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia. Potensi ancaman bagi Nosstress untuk kehilangan penggemar baru.
Sebelum lagu ke-4, Angga bicara. “Lagu ini untuk bli-bli yang di depan ini.” Lagu yang berjudul Ini Judulnya Belakangan.
Bali aku pergi sebentar ya,
pergi dari jalanmu yang mulai macet
mulai nggak nyaman, mulai
“Udah ada jalan tol,” kata seorang yang ukuran tubuhnya di atas rata-rata manusia Indonesia.
Kupit dan Angga hanya tersenyum dan melanjutkan dendangnya. Tampaknya calon penggemar baru Nosstress itu berusaha menyimak lirik lagu itu, mencari bagian mana yang disebut Angga ditujukan untuk dirinya.
Esok ku kembali semoga
Esok ku kembagi semoga pemimpin menambah prestasi
bukannya menambah BALIHO
Larik terakhir disambut gemuruh tepuk tangan dan tawa penonton. Kecuali penonton di depan, yang berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia. Terpancar mimik agak masam. Tidak segahar mimik-mimik pria-pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia di baliho yang sering terpancang di penjuru Bali.
Lagu ke-4, Nosstress kembali membawakan karya AA Raka Sidan yang mendayu-dayu, Pak Bos. Di awal lagu, Cok yang memainkan instrumen pukul cajon, memindahkan stan mikrofon mendekati seorang pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia. Sebuah ajakan untuk ikut menyanyi. Tapi mungkin orang yang diundang menyanyi tidak hapal liriknya. Atau terlampau malu untuk memegang mikrofon menyanyikan lagu mendayu.
Kembali suasana terganggu, oleh raung sirene. Sebagian penonton mengalihkan perhatiannya ke jalan. Polisi?
Lagi-lagi mobil ambulans.
Saya jadi teringat lirik single terbaru Pearl Jam, Sirens, dari album Lightning Bolt yang akan dirilis Oktober 2013. Hear the sirens, hear the sirens. Hear the sirens, hear the circus so profound. I hear the sirens more and more in this here town.
Di separo lagu Pak Bos, seorang berkaos kuning dari rombongan pria-pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia mengajak teman-temannya meninggalkan tempat. Dia memanggil Windu, pemilik kedai, entah apa yang dibicarakan. Mungkin bertanya jumlah tagihan. Beberapa di antara mereka menyalami personil Nosstress yang baru saja mengakhiri lagu Pak Bos. Pamit. Saya lihat Gungde yang paling ramah menyalami hampir semua pria-pria yang berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia. Seperti yang sudah saya sebut, Gungde memang ramah dan murah senyum, seperti umumnya sikap orang Bali yang sering dicitrakan.
Begitu pria-pria berukuran tubuh di atas rata-rata manusia Indonesia meninggalkan tempat, penonton yang sudah bosan berdiri segera menduduki bekas kursi mereka. Gemuruh tepuk tangan dan sorak penonton agak terdistraksi dengan suara gerung mesin sepeda motor yang disengaja. Suara sepeda motor yang mungkin kapasitas mesinnya di atas rata-rata sepeda motor di Indonesia.
Tapi badai saja pasti berlalu, apalagi suara knalpot motor.
Penonton tak peduli. Mereka berteriak meminta Nosstress menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi. Lagu ini direkam melibatkan 30an musisi Bali, disediakan untuk bebas unduh di forbali.org sebagai anthem untuk gerakan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Ada yang bilang, setiap revolusi memerlukan anthem. Bukan revolusi saja perlu anthem.
Nosstress dan beberapa musisi lain membawakan lagu Bali Tolak Reklamasi. Disambut koor penonton. Sudah banyak yang hapal liriknya. Menyanyikannya dengan raut wajah puas dan ceria. Sepuas dan seceria wajah mereka meninggalkan Mangsi.
Setengah jam saya duduk bicara dan menyapa beberapa teman di sana, dan memutuskan pulang. Di perjalanan saya berpapasan dengan satu mobil ambulans. Raung sirenenya membuat saya menggumamkan lagu baru Pearl Jam. Hear the sirens covering distance in the night. The sound, echoing closer, will they come for me, next time? [b]
Ingin sekali ikut berjuang bersama kalian. sayangnya,aku gk mengerti dan gk tau apa apa..dan gk punya apa apa.tp aku mencintai indonesia
Keren sekali tulisannya Bung Alfred, semakin ingin ke gym jadinya..eh :p
Sepertinya di Jakarta pun harus ada acara dan gerakan seperti ini..
ngeri banget pas baca soal ini di wasap group. udah takut aja mereka ngacak2 mini konser itu. ternyata nosstress memang sakti. mereka membuat para pria berbadan kekar ini ikut goyang. 😀
but, btw, tetap aja mereka sudah mengintimidasi. tetap ngeri. :((
tulisan ini terpotong 3 alinea terakhir. harusnya ada ini:
……
Tapi badai saja pasti berlalu, apalagi suara knalpot motor.
Penonton tak peduli. Mereka berteriak meminta Nosstress menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi. Lagu ini direkam melibatkan 30an musisi Bali, disediakan untuk bebas unduh di forbali.org sebagai anthem untuk gerakan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Ada yang bilang, setiap revolusi memerlukan anthem. Bukan revolusi saja perlu anthem.
Nosstress dan beberapa musisi lain membawakan lagu Bali Tolak Reklamasi. Disambut koor penonton. Sudah banyak yang hapal liriknya. Menyanyikannya dengan raut wajah puas dan ceria. Sepuas dan seceria wajah mereka meninggalkan Mangsi.
Setengah jam saya duduk bicara dan menyapa beberapa teman di sana, dan memutuskan pulang. Di perjalanan saya berpapasan dengan satu mobil ambulans. Raung sirenenya membuat saya menggumamkan lagu baru Pearl Jam. Hear the sirens covering distance in the night. The sound, echoing closer, will they come for me, next time?