Pemberian paling murah hati pun mengandung unsur pertukaran.
Pada masa rezim otoritarian Orde Baru kita mengenal istilah “Gebyar”. Kini kita disesaki riuh gemuruh hibah-hibah. Keduanya adalah panggung untuk menunjukkan bagaimana sang kuasa menunjukkan otoritas modal ekonominya.
Alegori yang menyertainya dibarengi dengan “kepedulian” terhadap kehidupan sosial budaya keagamaan yang tiada henti menjadi praktik keseharian orang Bali. Tengoklah rutinitas yang perlahan-lahan berubah menjadi beban yang ditengarai sebagai “kewajiban”. Pada momen inilah negara melalui dana-dana hibahnya “seolah-olah” hadir untuk meringankan beban ritual dan adat manusia Bali.
Di antara kepala daerah yang rutin meringankan beban masyarakat seluruh Bali itu, Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta mungkin terbilang istimewa. Bupati yang terkenal dengan bares (royal) ini rutin memberikan sumbangan pada upacara keagamaan, bedah rumah, ulang tahun sekaan teruna (organisasi kepemudaan), dan acara lainnya.
Tidak hanya di Kabupaten Badung tapi hampir di seluruh Bali. Misalnya saat menghadairi Tawur Balik Sumpah di Pura Dalem, Banjar Cengkok, Desa Adat Cengkok, Desa Baha, Kecamatan Mengwi. Bupati menyerahkan dana bantuan upakara secara simbolis sebesar Rp 1,2 miliar.
Koran Nusa Bali (13/07/2018) melaporkan pelaksanaan karya agung ini sangat sejalan dengan prioritas pembangunan di Badung dalam upaya melestarikan seni, adat, agama, tradisi, dan budaya yang berlandaskan Tri Hita Karana. Hadirnya pemerintah di tengah-tengah masyarakat sebagai bukti pemerintah membantu meringankan beban masyarakat seperti pembangunan pura maupun bantuan dana upakara.
Dengan demikian masyarakat tidak lagi mengeluarkan urunan maupun peson-peson dana. Bupati akan memback-up rencana pembangunan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Cengkok hingga tuntas. Untuk itu Bupati mengajak krama Cengkok tetap bersatu dan meningkatkan rasa segilik, seguluk, selunglung sebayantaka (Nusa Bali, 13 Juli 2018).
Tidak hanya di Badung, Giri Prasta juga memberikan bantuan dana hibah senilai Rp 1 miliar dalam Karya Pedudusan Agung, Segara Kertih Tawur Balik Sumpah Agung miwah Mupuk Pedagingan di Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk, Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Dalam sambutannya, Bupati Badung mengungkapkan, “Kami hadir di sini selain sebagai wujud bhakti kepada Ida Sesuhunan, juga untuk meringankan beban masyarakat khususnya pengempon pura dengan memberikan bantuan sebesar Rp 1 miliar.” Bupati juga memberikan dana motivasi kepada sekaa gong yang sedang ngaturang ayah di pura tersebut sebesar Rp 5 juta (Bali Post, 31 Januari 2019).
Politik Pemberian
Tak perlu waktu lama untuk saya membuktikan argumentasi tajam dari Marcel Mauss dalam karyanya yang monumental, Pemberian (The Gift), Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno (1992). Antropolog cum filsuf asal Perancis abad ke-20 itu menerjemahkan konsep “memberi” pada beberapa masyarakat yang masih ada hingga kini.
Poin pentingnya adalah pemberian paling murah hatipun di dalamnya mengandung unsur pertukaran (exchange). Pertukaran yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setiap pemberian selalu terkandung tuntutan untuk pengembalian (repayment). Mauss menegaskan bahwa tindakan pemberian itu pada dasarnya adalah sebuah transaksi.
Pemberian dengan demikian adalah sebuah transaksi yang mendasari terjadinya pembalasan selanjutnya. Seorang perempuan lanjut usia (lansia) di sebuah banjar di pesisir Kota Denpasar berkisah. Setelah sekian lama mengikuti senam lansia di banjar, ia hanya mendapat satu pakaian seragam lengkap yaitu celana training dan kaos berkerah. Seragam itu kini sudah lusuh. Lama ia menunggu seragam baru dari pemerintah.
Mendadak, seminggu sebelum pencoblosan, seorang caleg krama (warga banjar) hadir saat kegiatan senam rutin para Lansia. Baru kali ini. Di hadapan 50 lebih para lansia, sang caleg dengan tulus ikhlas memberikan seragam lansia baru. Katanya, tidak ada maksud untuk memilihnya pada 17 April 2019 nanti. Pemberian seragam ini hanya pemberian sukarela.
Sungguh gampang menebak maksud pemberian sang caleg. Meski disampaikan dengan bahasa sukarela dan tulus ikhlas, pemberian seragam tersebut menunggu pembalasan (baca: pengembalian). Pembalasannya dalam bentuk pilihan kepada sang caleg pada saat pencoblosan.
Sesederhana itu.
Masyarakat Bali kini terpapar pada kubangan berbagai jenis pemberian, yang tentunya tidak ikhlas dan sukarela seperti yang dibayangkan. Ia menuntut balasan. Bagaimana menyikapinya?
Candu Bansos dan Hibah
Jika itu masih dalam taraf seragam para lansia, yang lebih jor-joran adalah fenomena bantuan sosial (bansos) dan hibah. Menjelang Pemilu serentak 17 April 2019, masyarakat Bali “bersuka cita” dengan hadirnya guyuran dana Bansos dan hibah berbagai jenis. Masyarakat di desa-desa di Bali pastinya akan bingung. Begitu banyak aliran dana yang masuk ke wilayah mereka.
Bansos dari para anggota legislatif dan berbagai dana hibah dari pemerintah menyasar pembangunan fisik rumah, banjar, jalan, bahkan berbagai pura-pura yang ada di wilayah Desa Adat. Tidak ketinggalan, karya-karya agung, upacara di berbagai Desa Adat tidak luput disusupi dana Bansos dan hibah.
Bahkan ada anekdot tentang “Pura baru ulian hibah” atau “Pura Bansos”. Yang lebih mencengangkan lagi, karena menerima dana hibah, pura yang ada sebelumnya masih bagus pun dibongkar untuk diganti dengan model baru. Mimih…
Fenomena menyebarkan dana Bansos dan hibah menjelang Pemilu serentak memang tak terhindarkan. Para calon anggota legislatif (caleg) berebut untuk merapat ke orang kuat lokal yang mempunyai kuasa ekonomi dan politik. Tujuannya hanya satu: mendapatkan rembesan akses ekonomi politik.
Bansos dan hibah adalah modal ekonomi yang berpeluang untuk diakumulasi. Selain tentunya para caleg mempunyai persiapan modal sendiri. Dengan bermodal akses ekonomi politik inilah mereka bertarung untuk merebut simpati masyarakat.
Bansos dan hibah masuk hingga ke wilayah Desa Adat. Berita berbayar di media-media cetak lokal Bali rutin menurunkan berita gerakan bansos dan hibah yang dilakukan para elit politik dan pemerintahan. Berita berbayar pada tayangan TV lokal juga menyuguhkan tayangan uang ratusan juta berisi canang diserahkan pada upacara di pura-pura.
Pragmatis
Kehadiran Bansos dan hibah bagai candu. Pemberiannya, meski menanggung pembalasan, diinginkan oleh sebagian besar masyarakat. Adakah warga desa adat yang mandiri dan menolak bansos atau hibah bermotif politik praktis? Jarang saya dengar.
Yang jamak terjadi adalah masyarakat yang beramai-ramai membuat proposal merebutkan Bansos dan hibah melalui para caleg, elit partai dan pemerintah yang menjadi broker akses. Masyarakat pemburu Bansos dan hibah ini patut diduga berpikiran pragmatis.
Sebagaimana ditegaskan oleh Mauss (1992), transaksi yang terjadi dalam Bansos atau hibah-hibah tersebut bernuansa pragmatis: apa yang saya berikan dan apa yang kemudian bisa saya dapatkan (meskipun terselubung). Dalam pemberian itulah tersimpan politik transaksional.
Masyarakat Bali terpapar serangan bansos dan hibah. Beberapa masyarakat mensyukuri guyuran uang yang didapatkan untuk perbaikan kehidupan bermasyarakat. Banjar-banjar semakin megah dipandang, pasar-pasar desa semakin elok dan bersih, dan pura-pura pun disulap dengan ukiran mentereng.
Namun, bagaimana hubungan kita antara sesama manusia Bali saat solidaritas sosial (menyama braya) dipecah dan dikhianati oleh politik Bansos dan hibah?
Saya masih memimpikan masyarakat Bali yang mandiri dan bermartabat, yang berani menolak pragmatisme bansos dan hibah-hibah bersliweran dikomandoi para elit politik dan pemerintah. Masyarakat Bali itulah yang punya integritas dan martabat, dan bukannya pragmatis. [b]