Sumber Press Release
Eksekutif Daerah Walhi Bali memaparkan temuan lapangan berkaitan dengan perubahan iklim di Bali. Walhi melakukan Temu Kampung di sepuluh tempat yang mewakili sektor pesisir dan nelayan, rural dan pertanian, serta sektor masyarakat hutan. Dalam temu kampung yang fokus pada empat kelompok masyarakat yaitu petani, nelayan, pinggir hutan, dan kalangan pariwisata itu, Walhi menemukan bahwa petani dan nelayan adalah kelompok yang paling terkena dampak perubahan iklim tersebut.
Nelayan Bali Barat di Pemuteran, Kabupaten Singaraja kini sangat sulit melaut karena perubahan iklim yang sulit diprediksi. Suhu udara makin panas dan suu air laut berubah-ubah. “Pendapatan nelayan menurun karena berbagai kendala termasuk biaya operasional yang tinggi,” kata Ni Nyoman Sri Widiyanthi, Direktur Walhi Bali di sela workshop Meliput Isu Perubahan Iklim di Denpasar. Workshop dua hari tersebut diadakan Walhi Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Sloka Institute.
Demikian juga dialami petani. Misalnya petani Desa Kedisan, Kintamani, Kabupaten Bangli. Difasilitatori Made Nurbawa, petani saat ini sangat sulit menentukan masa tanam bawang sehingga panen seringkali gagal.
Salah seorang petani, I Ketut Geden menuturkan, dulu ia selalu tepat menentukan musim tanam. Beberapa tahun terakhir, musim berubah dan panennya sering gagal. Pola tanam juga bergeser. Ia juga mengeluhkan curah hujan yang seddikit dari tahun ke tahun. “Sekarang menyiram tanaman dua kali sehari, kan biaya makin banyak,” kata Nyoman Rima, petani lain.
Selain soal perubahan musim, strategi pembangunan lingkungan yang tidak terkonsep di Bali juga memperburuk masa depan lingkungan Bali. Hal ini dikatakan Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu, lembaga pemerhati lingkungan.
Misalnya di kawasan Seminyak, Kuta, sebagian sawah berubah menjadi villa yang tak terkontrol. Padahal di kawasan itu adalah daerah hijau. “Jangan sampai isu global warming ini melupakan kesalahan Bali karena pemerintah lokal melalaikan kelestarian lingkungan,” kata Suar.