Hari pertama Pesta Baca 2023 di sesi Bincang Buku mengusung tema Buku yang Mengubahku di Taman Baca Kesiman, 29 April 2023. Sesi sharing mengajak tiga penulis, Eve Tedja, Sonia Piscayanti dan Juli Sastrawan. Masing-masing bercerita buku-buku yang mempengaruhi bagaimana tiga penulis ini berkarya.
Dibuka dengan berbagi cuplikan cerita buku bacaan yang berjudul Rumah Kertas dari I Gusti Agung Dewi Widyastuti, moderator sesi ini. Dari buku itu ia mendapatkan cerita bagaimana buku itu berbahaya. Dalam cerita di buku itu, diandaikan beberapa tokoh mati karena karena buku.
Ewik merefleksikan bacaannya pada pengalaman-pengalamannya. Buku bisa menjadi sebuah gagasan. Ewik mengajak kita mengingat ketika masa-masa orde baru. Tidak terhitung berapa orang hilang dan lenyap karena hanya membaca sebuah buku.
“Kita punya daftar panjang buku yang dilarang beredar di negara kita. Seberapa bahaya buku bisa mempengaruhi sikap hidup dan keputusan yang kita ambil sehari-hari,” kata Ewik memantik diskusi.
Eve seorang jurnalis kuliner, dengan latar belakang pendidikan interior desain, ia berbagi karya Anthony Michael Bourdain. Salah satu karya yang membawanya menekuni pekerjaannya di bidang jurnalis kuliner.
“Aku sembunyi-sembunyi nonton film dokumentarnya karena ditayangkan cukup malam. Buku ini yang membuat saya mencintai jurnalisme kuliner,” ungkap Eve.
Karya itu membuka wawasan tentang makanan. Lebih jauh dari makanan, ia melihat karya ini bisa mengenal belajar budaya lebih baik ke orang. Dari karya dokumenter itu Eve bisa memaknai bahwa pangan dan cerita tetang kuliner itu tidak cuma soal rasanya yang enak, tapi lebih dari itu.
“Dari karya tentang kuliner itu saya menemukan cara untuk balajar budaya orang lain. Menulis itu juga seni, di baliknya itu ada proses,” katanya.
Karya jurnalis lain yang juga memberikan Eve perspektif lain adalah karya jurnalis senior Kompas, Ahmad Arif tentang masyarakat adat dan kedaulatan pangan. Ia melihat penulis di Indonesia jarang menulis tentang hulunya.
“Darimana makanan yang kita makan, siapa yang nanam, siapa yang ambil manfaat dari situ? Fair trade juga. Wacana di luar banyak bilang makanan dari bali, lokal nyatanya tidak. Banyak makanan seafood tidak ada yang dari Bali. Karena perairan Bali sudah tidak ada ikan yang bisa ditangkap dan jumlahnya tidak memenuhi kebutuhan kita di Bali. Biodiversitas kita yang katanya akan selalu tumbuh tapi masih ada stunting, ironi dan timpang. Padahal sumber karbohidrat masih banyak ada di sini,” paparnya membagikan isi buku yang ia baca.
Karya-karya itu banyak mempengaruhi bagaimana Eve membuat tulisan saat ini. Ia dikenal seperti karya-karya yang dikonsumsinya. Penulis kuliner yang mengenalkan kuliner lebih dari pangan.
“Buku-buku itu mempengaruhi saya dalam menulis jadi lebih inklusif. Saya akan lebih banyak prioritaskan keberpihakan ke petani dan yang bermanfaat untuk banyak orang. Artikel babi hitam jadi artikel memuaskan yang aku buat. Karena banyak hal yang tidak diceritakan tentang babi hitam di Bali. Ini hewan lokal, sustainable, babi ini kuat, dagingnya lebih enak,” ceritanya.
Menyoal tempat mengakses buku, menurut Eve di Bali tidak banyak tersedia. Ia merasa terbantu adanya Pesta Baca. Dari komunitas pecinta buku ini ia mendapatkan banyak rekomendasi buku di Bali. Buku tetap menarik dalam bentuk cetak atau digital.
“Tapi cetak buat aku lebih menarik. Itu caraku untuk melawan. Hidup kita yang sudah dibombardir digital marketing dan ads (iklan), polarisasinya kencang. Kalau kita pilih buku fisik, tidak ada yang bisa kita akan baca apa dan gimana. Itu yang menarik,” cetusnya.
Bagi Juli Sastrawan ia terinspirasi buku lusuh yang diterbitkan tahun 1984 di Komunitas Mahima, Singaraja. Ia banyak mendapat pengetahuan tentang proses kreatif. Mendapatkan alasan mengapa dan bagaimana mengarang.
“Buku itu yang ngasi banyak hal soal mengarang. Ada 4 seri, yang terbaru diterbitkan tahun 2009. Halaman pertama yang aku temui, ada 1 sajak judulnya “Malam Lebaran, Bulan di Atas Kuburan”. Untuk kritikus sastra banyak yang memperdebatkan, bulan itu artinya keindahan dan kuburan itu kesedihan. Ada kebahagiaan di atas kesedihan,” Juli menceritakan.
Diulik lebih jauh, maksud penulis menulis judul ini ingin bercerita pegalamannya tahun 1953. Cerita tentang penulis yang batal menemui temannya di sebuah perjalanan. Sesederhana si penulis ketika di jalan pulang menemukan tembok berukir, dia lihat ada gambaran bulan di atas kuburan.
“Udah gitu aja, sesederhana itu. Aku lanjut membaca. Karena menarik. Yang masih aku ingat bagaimana pesannya Budi Dharma di buku itu. Soal mengarang itu seperti membatik,” katanya.
Mengarang atau membuat karya kreatif harus selalu ditekuni. Dunia sastra itu suram, tidak jelas. Kalau ngomongin duit lebih baik di dunia lain. Buku itu yang meyakinkan Juli apa keasyikan mengarang, kenapa penting mengarang. Buku “Proses Kreatif” itu yang mengingatkan sampai sekarang. Kalau menulis itu untuk pencerahan.
Menulis persoalan yang paling dekat dengan kita menjadi referensi yang didapatkan Juli Sastrawan ketika membaca karya-karya terkenal Amerika Latin. Begitu juga perspektif itu ia lihat dari karya buku berjudul “Jangan Mati di Bali,” terbitan tahun 2011 oleh Aryantha Soetama. Ada banyak hal tentang Bali. Merekam banyak persoalan sosial seperti sawah yang dijual, pariwisata kini, tulisannya kadang lucu, kadang sedih.
Di sisi lain, Sonia Piscayanti seorang penulis, pengarang dan dosen mendalami dunia puisi dan teater. Sejak bangku sekolah berkenalan dengan puisi dan dunia menulis ia menyadari puisi benar-benar bisa masuk dalam kehidupan.
“Ternyata ada kehidupan seorang penyair. Karya sastra bisa membuat terkesima,” katanya.
Ada 19 buku yang mempengaruhi sosoknya menjadi seperti saat ini. Latar belakangnya sebagai dosen juga berpengaruh pada bacaannya. Salah satu buku yang mengubahnya adalahEnglish Literature. Buku yang membantunya mempertajam intuisi dalam penulisan. Tiga buku yang dibawakan pada sesi diskusi saat ini, yaitu: Laurance, yang ia baca ketika mahasiswa.
“Puisi itu betul ada dan mempengaruhi kehidupan seseorang,” katanya.
Buku kedua, Anatomi of Prospection. Buku yang lebih ilmiah, ada teori dan exercise. Ketiga buku pegangan berkarya di dunia teater yaitu The Theatre Experience. Sonia banyak belajar tentang karakter di buku itu. Bahwa selalu ada layer setiap peran. Dalam dunia panggung atau teater, yang paling penting dalam pertunjukan adalah audiens.
Seni adalah sesuatu yang Sonia pilih. Intensitas karya membuatnya berbeda.
“Saat saya galau, saya ambil 1 buku, saya jadi lebih galau dan merayakan itu. Kemudian termotivasi buku yang saya baca. Buku menjaga saya agar tidak galau berkepanjangan dan terus produktif,” tutupnya berbagi tentang manajemennya sebagai seorang ibu untuk konsisten membaca dan berkarya.