Apa buku yang menunjukkan perubahan Bali dari masa ke masa? Inilah Bincang Buku di Pesta Baca hari kedua, 30 April 2023 oleh Taman Baca Kesiman bekerja sama dengan media jurnalisme warga BaleBengong.
Sedangkan Bincang Buku hari pertama bertajuk Buku yang Mengubahku. Rangkumannya di sini
Tiga pembahas buku versinya masing-masing tentang Bali dari Masa ke Masa adalah tiga warga Bali dengan beragam latar belakang dan usia. Diana Darling, penulis dan editor sejumlah buku dan penerbitan. Perempuan yang menulis buku The Painted Alphabet (2012) ini sudah mukim dan menikah di Bali sejak 1980an. Ia pernah jadi editor buku The Atheist karya sastrawan Achdiat K. Mihardja, Latitudes Magazine, menerjemahkan puluhan karya sastra Indonesia untuk Lontar Foundation, buku arsitek Popo Danes, dan lainnya.
Ia membawa 4 buku yang menurutnya menggambarkan dinamika Bali. Pertama, Island of Bali karya Miguel Covarrubias 1937 menjelaskan tentang Bali sekaligus menciptakan citra sebagai pulau eksotis dengan kesenian dan ritualnya. Buku ini kerap muncul sebagai referensi di buku-buku lain tentang pariwisata dan budaya Bali.
Berikutnya buku Bali: A Paradise Created karya Adrian Vickers sebaliknya berbicara tentang citra yang tercipta. Menurut Diana, kedua buku ini berdampak langsung pada perekonomian Bali, karena citra Bali adalah produknya. Namun citra Bali jadi juga masalah budaya yang besar. Kelanjutannya adalah Michel Picard membahas tentang itu dalam bukunya Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.
Picard seolah menyimpulkan, kini, pariwisata adalah budaya itu sendiri. Karenanya tak beralasan menyatakan budaya Bali terancam karena pariwisata. Buku keempat bertajuk Kebalian, juga dari Picard. Buku ini menelusuri kembali konstruksi dialogis identitas dari apa yang oleh para intelektual Bali disebut sebagai “kebalian”, yang mereka anggap sebagai pohon, yang akarnya adalah agama, batangnya adalah adat, dan budaya sebagai buahnya.
Diana mengingatkan kita harus khawatir dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Menurutnya harus banyak membaca untuk bisa merasa khawatir.
Pembahas berikut adalah I Made Kris Adi Astra, seorang seismolog, yang mempelajari kegempaan dan bekerja di BMKG Denpasar. Peneliti muda asal Tabanan ini belajar seismologi di dua kampus di Jerman. Buku yang dibawanya ada dua, satu berwujud buku dan satu lagi dokumen tua. Buku Refleksi 200 Tahun Gejer Bali ditulisnya pada 2015 untuk mengingatkan dua abad gempa dahsyat memicu tsunami yang terjadi pada 1815.
Menurutnya Bali memiliki potensi gempa dan tsunami lagi namun tidak bisa diprediksi waktunya. Salah satu mitigasinya adalah memperhatikan kawasan rawan misalnya di Bali selatan yang memiliki sejarah pergerakan lempeng bumi. Seorang pendengar bertanya, kenapa ada rencana pembangunan Pusat Kebudayaan baru di daerah rawan bencana di kawasan Tukad Unda, Klungkung?
“Di mana saya harus parkir agar cepat terhindar dari bencana?” tanyanya dengan sedikit sarkas. Kris juga heran karena daerah ini aliran erupsi Gunung Agung.
Dokumen lusuh yang dibawanya dengan hati-hati adalah bendelan dokumen berbahasa Jerman tentang peristiwa-peristiwa gempa bumi di Indonesia di masa lalu. Judulnya Die Erdeben Des Indischen Archipels.
Pembahas ketiga adalah musisi, frontman band Nosstress, Nyoman Angga Yudista yang akrab dipanggil Man Angga. Ia membawa beberapa jilid komik Doraemon dengan alasan memotivasi orang untuk membaca apa saja yang disuka. Dalam komik itu menurutnya ada beberapa cerita yang relevan dengan situasi saat ini.
Agung Alit mengatakan, seperti namanya, Pesta Baca adalah sebuah kegiatan untuk merayakan kesenangan dan gairah kita terhadap buku. Dalam Pesta Baca, mereka yang hadir diharapkan untuk bisa membagi tidak hanya buku-buku yang mereka baca, tetapi juga bagaimana buku-buku itu mewarnai perjalanan hidup dan cerita sehari-hari hingga saat ini.
Ketika roda-roda modernitas membawa kita ke jebakan informasi yang serba riuh ringkas, buku tetap menghadirkan kedalaman dalam kesendirian. Buku membawa kita menjelajah masuk ke dalam dunia penuh makna ketika media sosial mengasingkan kita dalam kilauan citra yang serba fana. Buku menjaga kita tetap ada betapapun manusia modern semakin jauh meninggalkannya.
Inilah yang menjadi tema Pesta Baca tahun ini, Aku Baca, Maka Aku Ada. Melalui tema ini menghadirkan kembali diri melalui buku-buku yang pernah dibaca dan mempengaruhi secara pribadi sebagai manusia maupun Bali sebagai sebuah identitas dan lokus yang selalu menarik untuk dibaca.