Bagaimana menyuguhkan sebuah film hasil pertunjukan langsung dari musik, tari, dan teater?
Tidakkah banyak video-video yang merekam hal tersebut hanya menjadi sekadar dokumentasi dan cenderung kelihangan sisi estetiknya? Beragam problematik tersebut akan dibahas secara lebih mendalam pada Sinema Bentara: Tayang Film Live Music, Tari, dan Teater.
Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Bentara Budaya Bali (BBB), Goethe Institut, dan Udayana Science Club. Acara ini akan diadakan pada Sabtu-Minggu (22-23/3) pukul 17.00 di Jalan Prof. Ida Bagus Mantra No. 88 A Ketewel-Gianyar. Menurut Putu Aryastawa, salah satu penata acara di Bentara Budaya Bali Sinema Bentara pada Maret ini terbilang berbeda. Bukan hanya menayangkan film-film cerita atau dokumenter seperti biasanya, melainkan menghadirkan sejumlah karya yang secara khusus mengabadikan pertunjukkan musik, tari, teater secara live.
“Agenda sinema kali ini mengacu kepada kenyataan bahwa sering kali video pertunjukan tari, pentas teater atau pun musik secara live cenderung tergelincir menjadi sekadar dokumentasi. Akibatnya, yang terekspresikan di dalamnya hanya sejumlah informasi umum saja dan kehilangan kekuatan estetik atau sukma dari peristiwa tari, musik, juga teater dimaksud,” ujar Putu Aryastawa.
Beragam film terpilih akan diputar selama acara ini sebagai referensi pada penyelenggaran diskusi dan workshop berikutnya, seperti film pertunjukkan musikal Chris Botti Live in Boston 2008 (meraih nominasi Grammy Award tahun 2010 kategori Best Pop Instrumental), Celine Dion, David Foster, Josh Groban, juga film-film dari pertunjukkan yang berangkat dari musik tradisi, semisal live performing gamelan atau musik etnik lainnya.
Akan ditampilkan pula sejumlah film yang merangkum secara penuh kedalaman pertunjukan –pertunjukan teater atau tari, semisal garapan dari teater di Jerman, Pina Bausch (sutradara Anne Linsel), Café M?ller (sutradara Peter Schäfer), Mary Wigman – Mein Leben ist Tanz (sutradara Ulrich Tegeder), dan Rhythm Is It !(sutradara Thomas Grube, Enrique Sánchez Lansch). Salah satu film yang akan ditayangkan, Pina Bausch (sutradara Anne Linsel) mengisahkan perihal rahasia keberhasilan Pina Bausch dan grupnya (Tanztheater Wuppertal) di panggung dunia. Film ini memperlihatkan potongan-potongan pertunjukan dan wawancara yang menunjukan bagaimana ketekunan mereka membawa mereka menjadi terkenal dan film ini juga menerangkan dengan jelas cara kerja koreografer besar Jerman ini. Pada hari kedua (23/2) akan diselenggarakan juga sebuah sesi diskusi yang membahas lebih jauh terkait berbagai teknik sinematografi dalam pembuatan film pertunjukkan termasuk di dalamnya bagaimana proses pembuatan film untuk pertunjukkan musik, teater serta tari secara live, berikut problematik dan tantangan yang menyertainya. Narasumbernya Agung Bawantara, penggiat film di Bali serta penggagas Festival Film Dokumenter Denpasar. Agung Bawantara lahir di Klungkung, 30 Januari 1968. Semula aktif sebagai pekerja sosial di Lombok, NTB, lalu menetap ke Jakarta pada tahun 1993 dan bekerja sebagai wartawan tabloid “DeTIK”. Tahun 1995 terjun ke dunia audio-visual dimulai dengan menjadi periset pada pembuatan Film “Soero Boeldog” yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot.
Peraih Taraju Award 1995 ini turut merintis lahirnya tabloid “DeTAK” dan menjadi redaktur di sana. Namun setahun kemudian ia kembali mengecimpungi dunia audio-visual sebagai penulis skenario dan sutradara.
Kini, nominee penulis skenario terbaik pada FFI 2004 ini kembali ke Bali untuk berkiprah memajukan sinema di pulau ini, termasuk menyelenggarakan kompetisi dan festival film dokumenter tingkat nasional.
“Melalui kegiatan ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dan generasi muda perihal bagaimana menyuguhkan film-film pertunjukkan musik, tari, dan teater dengan baik, mengingat di Bali, banyak sekali peristiwa kesenian dan kebudayaan yang terjadi dan patut didokumentasikan secara audio-visual menjadi film-film yang berkualitas,” ujar Juwitta K. Lasut, salah satu staf di Bentara Budaya Bali. [b]