Oleh Anton Muhajir
Kematian bisa bermakna ganda. Di satu sisi dia adalah akhir dari sebuah perjalanan. Namun bisa jadi, akhir itu adalah awal dari sebuah perjalanan lain yang lebih panjang. Begitu pula dengan kematian warga Belanda Edward Hop di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 21 tahun lalu. Akhir hidup Hop, seorang gay, membuka awal langkah penanggulangan Acquired Immune Deficiancy Syndrome (AIDS) di Bali. Sindrom akibat virus penyebab penurunan ketahanan tubuh, biasa disingkat human immunodeficiancy virus (HIV), ini sebelumnya dianggap hanya sesuatu yang di atas langit.
Sebelumnya banyak orang Indonesia, termasuk Bali, berpikir bahwa HIV/AIDS adalah sesuatu hanya ada di “tempat lain”, tidak mungkin ada di “tempat kami”. Namun, sejak 15 April 1987, tanggal di mana Hop meninggal akibat infeksi oportunistik, penyakit ikutan setelah tubuh terkena AIDS, orang-orang baru tersentak. Kumpulan gejala yang selama ini hanya di sebelah rumah itu ternyata ada di halaman kita juga. Bahkan di rumah kita. Kasus pada Hop adalah kasus kematian pertama akibat HIV/AIDS yang ditemukan di Bali, sekaligus kasus pertama di Indonesia.
Satu per satu manusia yang pergi karena HIV/AIDS pun terjadi di Bali. Tidak berkurang namun terus bertambah, meningkat dari tahun ke tahun. Menggunakan kelipatan tiap lima tahun, maka akan terlihat peningkatan secara mencolok. Pada tahun pertama ditemukan kasus ini, dua orang lagi menyusul kematian Hop. Tiga orang meninggal akibat AIDS pada 1987. Lalu bertambah jadi 21 orang (1992), 44 orang (1997), 306 orang (2002), dan 1782 orang per November 2007 lalu.
Secara global, HIV/AIDS memang menjadi ancaman biologis terbesar di dunia. Menurut Badan AIDS Dunia (UNAIDS), hingga 2004 lalu 39,4 juta orang terinfeksi HIV dengan tingkat kematian mencapai 3,1 juta orang. Jumlah ini hampir setara dengan penduduk Bali yang jumlahnya sekitar 3,5 juta jiwa. Jadi, jumah kematian akibat AIDS di seluruh dunia saat ini sudah bisa menghabiskan hampir seluruh penduduk Bali.
Sedangkan di Indonesia, ada sekitar 90.000- 130.000 orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hingga 2010 diperkirakan jumlahnya meningkat jadi 1 – 5 juta orang. Lagi-lagi, data ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk Bali saat ini.
Tapi, kematian akibat AIDS bukanlah melulu tentang angka-angka. Banyak hal lain tersembunyi di dalamnya. Satu di antaranya adalah cap buruk (stigma). Sejak awal ditemukannya kasus ini di manapun, tidak hanya di Bali, masalah yang lebih serius dalam persoalan HIV/AIDS bukanlah hanya tentang kesehatan. Ada masalah agama, budaya, dan politik yang justru seringkali menghambat penanggulangan.
Stigma ini lahir akibat penularan HIV memang pada awalnya terjadi hanya pada apa yang disebut sebagai kelompok berisiko tinggi. Mereka yang masuk kelompok ini antara lain pelaku hubungan seks sesama jenis (homoseksual) dan orang yang suka berganti-ganti pasangan seks (heteroseksual). Sejak 2000an, mulai ditemukan kasus penularan pada pengguna narkoba dengan jarum suntik (penasun) atau injecting drug user (IDU). Maka, HIV/AIDS pun kemudian dianggap hanya persoalan orang-orang yang secara sosial memang identik dengan sesuatu yang lain di luar norma atau dalam bahasa antropologi disebut liyan (others).
Pemetaan pada apa yang disebut sebagai kelompok berisiko tinggi ini pun kemudian jadi bumerang. Banyak orang masih mengidentikkan persoalan HIV/AIDS sebagai sesuatu yang “wajar” pada liyan ini. Saat ini ketika makin banyak ibu rumah tangga, anak-anak, serta kelompok lain di luar kelompok berisiko tinggi yang tertular HIV atau malah pada fase AIDS, stigma itu pun masih saja ada.
Dua puluh tahun penanggulangan AIDS di Bali, stigma ini masih saja ada meski memang tidak separah pada saat kasus ini pertama ditemukan.
Keberhasilan Penanggulangan dengan Sejumlah Catatan
Sadar bahwa masalah HIV/AIDS terkait erat dengan masalah agama, sosial, dan politik, di luar masalah kesehatan, maka program penanggulangan Acquired Immunde Deficiency Syndrome (AIDS) selalu menyertakan pula program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Program ini dilaksanakan sejalan dengan program lain seperti Advokasi dan Care, Support, and Treatmen (CST). Program-program ini pula yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali.
KIE merupakan program yang dilakukan melalui kegiatan seperti kampanye, penyuluhan, seminar, dan semacamnya. Masuk pula dalam program ini adalah konser musik hingga kesenian tradisional semacam arja muani dan wayang cengblonk. Target utama program ini adalah orang-orang yang belum mengerti masalah AIDS, atau belum banyak paham. Sebab, masalah HIV/AIDS memang lebih banyak diselingi anggapan buruk (stigma) pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) maupun anggapan yang salah (mitos).
Selama 20 tahun penanggulangan AIDS di Bali, program-program itu memang menuai hasil. Misalnya di bidang KIE. Meski masih ada yang melakukan stigma dan diskriminasi pada ODHA, namun makin banyak pula orang yang bisa menerima keberadaan ODHA dan memahaminya sebatas persoalan kesehatan. Obrolan tentang HIV/AIDS di kalangan masyarakat pun makin sering terjadi.
“Saat ini persepsi masyarakat terhadap isu HIV/AIDS jauh lebih baik. Dulu mereka melihat ODHA sebagai orang sakit. Sekarang mereka tahu bahwa ODHA juga sehat seperti mereka,” kata Putu Utami, Koordinator Bali+, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang intens mendampingi ODHA, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, salah satu ODHA di Bali, sebut saja namanya Adi, mengatakan bahwa diskriminasi pun kadang masih terjadi. “Ada teman saya yang tidak jadi diperiksa oleh dokter gara-gara teman saya buka status bahwa dia positif HIV,” kata Adi.
IGN Wahyunda, Manajer Program Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) pun menyatakan bahwa dibanding daerah lain, Bali memang termasuk berhasil. Misalnya pada program CST. “Sebelum ada lembaga funding di Bali, KPA sudah memberikan layanan ARV (anti retroviral, obat untuk menekan laju penggandaan HIV di dalam rubuh ODHA, red) gratis pada sepuluh ODHA. Itu kan bagus,” kata Wahyunda.
Bali juga masuk sebagai wilayah yang pertama kali melakukan program harm reduction atau pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba dengan jarum suntik (penasun) di Indonesia. Program harm reduction ditujukan agar penularan HIV di kalangan penasun bisa berkurang. Sebab, penggunaan satu jarum suntik secara bersama-sama oleh banyak pengguna narkoba dengan cepat menularkan HIV di antara mereka. Bali melakukan program ini bersama dengan Jakarta.
Di luar itu, secara politis, Bali juga melakukan usaha penanggulangan HIV/AIDS melalui Peraturan Daerah (Perda) No 3 tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS di Bali. Ini langkah maju Bali dalam penanggulangan AIDS dibanding daerah lain. Sayangnya, Perda ini pun masih gagah di atas kertas. Di lapangan, masih banyak hal yang perlu ditanyakan.
Ketika Peraturan Dikalahkan Kenyataan Lapangan
Tidak banyak daerah di Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanggulangan AIDS. Di Indonesia, Perda semacam ini hanya ada di Provinsi Papua, Kota Merauke, Provinsi DKI Jakarta, dan Kota Surabaya. Jadi, Bali sebenarnya selangkah lebih maju daripada daerah lain di Indonesia yang belum punya Perda Penanggulangan AIDS.
Perda No 3 tahun 2006 itu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali akhir Maret 2006 lalu. Isinya antara lain mengatur tentang penanggulangan AIDS di Bali meliputi kampanye, pencegahan, voluntary counseling testing (VCT), pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Selain Perda No 3, Bali juga memiliki Komitmen Sanur yang ditandatangani oleh Bupati dan Walikota se-Bali serta Gubernur, Kapolda, dan Ketua DPRD Bali.
Meski demikian, pelaksanaan Perda maupun Komitmen Sanur memang masih diragukan. Misalnya tentang sosialisasi Perda Penanggulangan AIDS ke berbagai daerah di Bali. Menurut beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS di Bali, sosialisasi itu terlalu menekankan kewajiban pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), bukan pada kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan.
Komitmen Sanur pun setali tiga uang, gagah di atas kertas tapi agak memble dalam penerapan. Misalnya poin bahwa cakupan kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction), salah satunya dengan memberikan jarum suntik steril pada pengguna narkoba suntik (penasun) untuk mengurangi penularan HIV, harus mencapai 75 persen pada akhir 2005.
Jangkauan dan cakupan ini diharapkan akan sampai di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang sudah diketahui bersama sebagai ssalah satu tempat penggunaan narkoba. Sayangnya sampai saat ini di penjara belum ada program pertukaran jarum suntik.
Selain itu, dalam beberapa hal, DPRD sebagai pengambil keputusan penanggulangan AIDS pun ternyata malah bersikap sebaliknya. Misalnya soal ide revitalisasi ketat lokasi transaksi seks di Bali. Meski baru sebatas wacana dari Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali, usulan ini sudah mendapat tantangan luar biasa dari DPRD. Padahal, Peraturan Daerah No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS di Bali sudah menyiratkan soal itu. Namun kesepahaman baru di atas kertas.
Padahal situasi di lapangan menunjukkan bahwa Bali memang perlu segera menerapkan langkah radikal untuk mencegah meluasnya penularan HIV di kalangan masyarakat umum ini. Salah satunya karena makin meningkatnya penularan HIV di kalangan heteroseksual. Saat ini, menurut data Dinas Kesehatan Bali, dari 1782 kasus HIV/AIDS di Bali, 53 persen di antaranya terjadi di kalangan heteroseksual (948 orang). Sedangkan dari penasun 34 persen (613 orang). Sisanya baru homoseksual (114 orang), kelahiran (20 orang), dan tidak diketahui (87 orang).
Selain peningkatan jumlah kasus di kalangan heteroseksual, penyebaran HIV/AIDS ini juga makin meluas terutama di wilayah-wilayah desa yang selama ini dianggap tidak mungkin terdampak HIV/AIDS. Inilah bahaya di depan mata yang sepertinya tidak cukup mengingatkan para anggota dewan yang sibuk beralasan dengan dalih moral.
Ketika Bandul Jam Berbalik Arah
Pada awal ditemukannya kasus HIV/AIDS di Bali 20 tahun lalu, banyak orang menilai HIV/AIDS identik dengan kelompok homoseksual. Sebab, Edward Hop, warga Belanda yang meninggal akibat AIDS itu memang seorang gay. Penanggulangan AIDS di Bali pun difokuskan pada kelompok gay dan waria.
Selain gay, kelompok lain yang paling berisiko tinggi adalah pelaku hubungan seksual berganti pasangan tanpa menggunakan kondom. Sebenarnya hubungan seks itu sendiri tidak menularkan HIV selama dilakukan dengan menggunakan kondom. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan persoalan moral. Pasangan sah pun bisa ada yang tertular HIV jika salah satu di antara mereka ada yang positif HIV.
Pada 2000, mulai ditemukan kasus penularan HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik (penasun). Mereka menggunakan jarum untuk memasukkan heroin ke darah. Penggunaan satu jarum secara bersama-sama ini dengan cepat menyebarkan penularan HIV/AIDS di kalangan mereka. Maka, kasus HIV/AIDS di kalangan penasun pun melonjak tajam. Sebagai contoh, pada November 2007 lalu, dari 1.220 kasus HIV/AIDS di Bali, 44,5 persen dari kalangan penasun ini.
Meningkatnya kasus penularan di kalangan penasun ini pun membuat berbagai pihak di Bali segera mengubah strategi penanggulangan. Salah satunya melalui harm reduction atau pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba di kalangan penasun. Program ini dilakukan melalui, misalnya, pemberian jarum suntik steril pada penasun. Maksudnya agar penasun tidak menggunakan jarum bekas yang kemungkinan mengandung HIV, virus penyebab AIDS.
Selain pemberian jarum suntik, harm reduction juga dilakukan melalui substitusi heroin dengan methadone, narkoba dalam bentuk heroin. Methadone diminum dengan tujuan agar penasun tidak lagi menyuntikkan heroin.
Hasilnya, penularan HIV di kalangan penasun memang menurun. Dari 45 persen pada November 2006, prosentase kasus di kalangan penasun jadi 34 persen.
Namun, penularan di kalangan heteroseksual justru meningkat. Sepanjang Juni hingga November tahun lalu, prosentase kasus di kalangan heteroseksual ini terus meningkat. Dari 720, (48 persen), 786 (50 persen), 832 (51 persen), 866 (52 persen), 912 (53 persen), dan menjadi 948 orang yang terinfeksi HIV. Hal yang menjadi catatan adalah karena peningkatan ini bukan hanya prosentasenya tapi juga jumlah kasus.
Bandul jam dinding pun seperti berbalik. Awalnya peningkatan kasus terjadi di kalangan homoseksual. Setelah fokus program pada kalangan gay, penularan pun berganti meningkat di kalangan heteroseksual. Namun ketika penanganan pada heteroseksual bisa diatasi, terjadi lonjakan pada penasun. Dan, ketika penasun sudah diatasi dengan baik, eh, di kalangan heteroseksual kasus malah meningkat tajam.
Penanggulangan AIDS di Bali memang tidak bisa dilakukan secara sepihak. Perlu usaha menyeluruh dan melibatkan semua pihak. Sayangnya ini masih menghadapi tembok tebal bernama moralitas.
Solusi yang Menghadapi Perlawanan
Keberhasilan penanggulangan AIDS di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik tidaklah mudah. Bahkan hingga saat ini pun masih ada tantangan. Misalnya untuk program pertukaran jarum suntik atau needle exchange program (NEP) di kalangan penasun. Pihak yang seringkali masih menentang program ini secara lisan adalah Badan Narkotika Nasional (BNN). Padahal secara formal, program ini merupakan kerjasama antara BNN dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional.
Tapi, meski mendapat tentangan, upaya KPA Bali untuk menekan laju epidemi HIV di kalangan pecandu dan homoseksual memang termasuk berhasil. Prof Dr Dewa Nyoman Wirawan, Ketua Yayasan Kerti Praja (YKP), menilai keberhasilan program ini karena cepatnya respon Bali menekan laju epidemi penularan HIV di kalangan penasun dengan segera melakukan NEP dan substitusi methadone.
Saat ini, Bali memang melaksanakan NEP dengan dukungan berbagai LSM di Bali seperti Yayasan Hatihati, Yakeba, dan Matahati. “Keterlibatan mantan IDU amat tinggi dalam penanggulangan epidemi. Di Bali saja ada sekitar ratusan mantan IDU yang ikut aktif dalam berbagai kegiatan maupun program,” kata Wirawan.
Sebaliknya dengan penanggulangan AIDS di kalangan heteroseksual. “Kami gagal dalam menekan laju epidemi melalui hubungan seksual,” ujar Wirawan. Dokter yang sering melayani pemeriksaan pada ODHA maupun pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggan PSK ini menyatakan bahwa salah satu susahnya penanggulangan AIDS di kalangan heteroseksual ini karena enggannya orang untuk menggunakan kondom untuk mencegah penularan.
Menurut data di YKP, kampanye penggunaan kondom di kalangan heteroseksual di Bali sudah dilaksanakan sejak 1995. Namun pemakaian kondom hanya naik dari 7 persen (tahun 1994) menjadi sekitar 25 persen (saat ini), lalu mentok. Sementara itu prevalensi HIV pada PSK naik dari 1 persen hingga 14 persen.
Bahkan, laki-laki yang meninggal akibat AIDS di RSUP Sanglah pun perbandingannya makin berubah. Awalnya, perbandingan antara penasun dan heteroseksual adalah 1:1. Namun saat ini berubah jadi tahun ini 1:4. Maksudnya, jumlah laki-laki ODHA yang meninggal dari kalangan heteroseksual naik empat kali lipat dibanding dengan penasun.
Kegagalan penanggulangan ini, menurut Wirawan, terjadi akibat masalah yang sangat kompleks. Pertama, penolakan PSK dan kondom oleh masyarakat di Indonesia, juga Bali, sangat tinggi. Tidak hanya masyarakat umum atau kalangan agamawan, bahkan menteri dan tokoh masyarakat pun menolak. “Ini berbeda dengan Thailand dan Kamboja di mana pemerintahnya sangat mendukung kampanye penggunaan kondom,” ujar Wirawan.
Salah satu upaya untuk memudahkan kampanye penggunaan kondom ini adalah dengan ide supervisi ketat lokasi transaksi seks. Dengan supervisi ini pemerintah dapat mengontrol kasus HIV dan infeksi menular seksual, salah satunya melalui penyediaan klinik kesehatan di lokasi transaksi seks.
Sayangnya, ide yang masih sebatas wacana ini pun masih ditentang oleh banyak kalangan. Masalah kesehatan ini selalu saja dilawan dengan alasan moral dan agama. Sementara di luar sana, ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak tidak pernah dilihat sebagai pihak yang telah menjadi korban. Pihak yang menolak ide supervisi ini, mungkin perlu sekali-kali turun ke lapangan. Tidak hanya sibuk menyalahkan tanpa pernah tahu bagaimana HIV/AIDS mengancam Bali. Menyalahkan saja tidak pernah cukup. [b]
Catatan: Tulisan ini dibuat atas permintaan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali dalam rangka refleksi 20 tahun penanggulangan AIDS di Bali. Tulisan ini dimuat di Bali Post secara bersambung pekan ini sebagai iklan.
salam buat Mas Anton Muhajir yang baik.
sebelumnya saya mengucapkan terimakasih terlebih dahulu, karena sudah mendapatkan pengetahuan baru dari hasil tulisan Mas Anton. dengan melihat semakin berkembangnya isu HIV-AIDS di sumatera utara khususnya medan, kiranya ini menjadi tanggung jawab kita semua dalam penanggulangannya agar jenis penyakit ini tidak merebak luas. kami dari Kelompok Studi Peduli HIV-AIDS yang berdomisili di Medan selalu mendapatkan kendala dalam menjalankan kegiatan sosial ini, berupa tidak adanya sumber dana yang dapat menyokong atau membantu kita dalam melakukan kegiatan sosial tersebut. oleh karena itu saya coba meminta petunjuk dari Mas Anton yang baik agar kiranya dapat membantu lembaga kita dalam menjalankan visi-misi kita, dengan memberikan rekomendasi atau menjembatani lembaga kita dengan lembaga donor yang konsen dengan penanggulangan HIV-AIDS sebagai wujud kepedulian lembaga kita dalam penanggulangannya. saya berharap kirannya Mas Anton dapat membantu kita. akhir kata saya ucapkan terima kasih banyak buat Mas Anton Muhajir yang baik.
saya tunggu responnya . . .